Jeni Rahmawati XI IPS 3 SMA Negeri 2 Purbalingga 2016/2017 |
Desa Pandansari merupakan salah satu nama desa yang
ada di Kecamatan Kejobong, Kabupaten Purbalingga
Provinsi Jawa Tengah. Nama Pandansari mengandung cerita sejarah. Sumber dalam penulisan artikel
ini ada dua, yang pertama dari wawancara dengan Mboke dan yang kedua dari
makalah yang ditulis oleh Ngabas pada tahun 1997 yang berjudul “Nyi Pandansari”.
Berikut ulasan tentang asal usul Desa
Pandansari, Kecamatan Kejobong.
Pada
zaman dahulu ada sepasang pengembara dari daerah Dieng, mereka menuju arah Barat menyusuri aliran sungai. Mereka habis bertapa
dari dalam Gua yang sangat dalam dan kering. Jarang sekali manusia yang masuk
Gua itu bisa hidup, tetapi tidaklah demikian keadaannya bagi sepasang petapa tersebut. Dengan kehendak
Dewa-Dewi (Allah), selama bertapa dalam Gua, mereka mendapatkan aji-aji (jimat dalam bahasa Jawa)
berupa baju Antakusuma dan Teken, bagi pertapa putera memiliki tumbak Kyai Wilis dan bagi petapa puteri mendapatkan Lampu. Karena mereka bisa selamat didalam Gua tersebut, maka Gua tersebut diberi nama “Gua Si Rahayu”.
Disamping jimat berupa pusaka-pusaka diatas, mereka
juga mendapatkan pakaian-pakaian.
Pertapa pria mendapatkan pakaian
berupa sehelai kain latar ireng, sikep kupluk (blangkon) dan sehelai iket
wulung serta benik emas. Pertapa puteri mendapatkan pakaian berupa “jarit parang rusak, kebaya gadhungan dan
ciutan-ciutan batik conthing kalung soca emas”. Pakain-pakaian tersebut menjadi pali bagi rakyat dimana pertapa menetap
sampai tutup usia. Mereka bertapa di Gua Si Rahayu dengan maksud ingin
mendapatkan kehidupan yang mulia dunia akhirat. Itulah sebabnya mereka menekung puja pasrah kepada Hyang Akaryo
Jagat dialam Gua yang sepi dan lengang.
Mereka merasa yakin bahwa dirinya
dikodratkan tidak bisa mendapatkan anak karena kedhi/mandhul keadaannya. Mereka sadar dan ikhlas
akan nasib dirinya, itulah yang mendorong sepasang pertapa untuk banyak-banyak
berbuat kebajikan. Mereka menjadi manusia yang sangat sabar, tongat, adil dan jujur,
suka menolong, ramah, penuh pengabdian, cinta tanah air dan bangsa, sepi ing pamrih, ikhlas ing pewaweh. Mereka menangis kepada Sang Pencipta, tidak
putus asa, sederhana hidupnya. Setelah mereka mendapatkan kelebihan-kelebihan
berupa jimat-jimat, mereka tambah terang, hatinya suci, tahu bahwa ada dzat
yang Maha Kuasa, adalah pencipta alam semesta dan seisinya.
Dalam hidupnya mereka selalu giat dan rajin mengolah bumi ciptaan Hyang Widi Wasesa dengan tidak lupa
mohon kemurahan kepada Hyang Pencipta.
Malam
hari mereka banyak bersujud kepada Tuhan sebelum Dewa tidur menguasainya.
Mereka mengajarkan ilmu-ilmu pertanian pada sesama hidup yang dijumpainya, juga
ilmu-ilmu bela diri serta cara-cara menyembah kepada Sang Hyang Tunggal. Sang
pertapa pria tanpa nama, namun karena dia memiliki ilmu yang bermanfaat bagi
kehidupan, sehingga dia dikeramatkan oleh orang-orang yang mengenalnya, mereka
menyebut Mbah Kramat kepada sang pertapa pria. Adapun sang pertapa puteri
walaupun ia punya nama, jarang dia menyebutkan namanya.
Bila perlu-perlu saja dia menyebutkan namanya.
Nama yang indah dan
penuh kesederhanaan adalah “Nyi Pandansari”.
Nyi Pandansari juga memiliki
ilmu-ilmu yang utama. Dia selalu mengajarkan kepada kaumnya tentang
kewajiban-kewajiban ibu yang baik, dia juga mengajarkan bagaimana cara bercocok tanam,
menuai dan memasak, mendidik anak juga olah keprajuritan wanita. Oleh karena itu, tempat tinggal
yang dia tempati diberikan nama “Desa
Pandansari” sesuai dengan nama Nyi Pandansari yang
membuka desa ini.
Pandansari
juga berasal
dari dua kata, yaitu Pandan dan
Sari. Pandan adalah tumbuhan untuk alas (tikar) dan Sari
berarti bunga abadi yaitu jenis bunga yang tumbuh di hutan-hutan berwarna putih dan tak layu/rontok, walaupun
sudah diputus dari pohonnya. Tanaman itu konon katanya disenangi oleh Nyi Pandansari walaupun baunya hanya sedep (wangine ora ngambar-ngambar). Pandansari
mengandung arti dasar “pranataning urip kang bisa gawe aruming bangsa”, menata hidup untuk membangun bangsa dan Negara. Hingga saat ini, makam Nyi
Pandansari masih terjaga.
Sumber Referensi
Wawancara dengan Mboke pada tanggal
24 Agustus 2016 bertempat di Desa Pandansari Kecamatan Kejobong.
a Makalah dari
Ngabas, yang berjudul “Nyi Pandansari” pada tahun 1997.