Dalam konstelasi dunia modern saat ini, kompetisi antar negara tidak
mungkin dihindari. Pada akhirnya, negara super
power lah yang akan memegang supremasi. Untuk menjadi negara maju, kita
bisa menguatkan salah satu faktor penting untuk membentuk peradaban yang
beradab demi menuju kejayaan bangsa. Salah satu faktor penunjangnya yaitu kuatnya
nilai-nilai moral/karakter dan kokohnya budaya dalam masyarakat.
Menurut Francis Fukuyama (1995) dalam
bukunya Trust: The Social Virtues, and the Creation of Prosperity, menyebut kemajuan nilai-nilai karakter dan budaya ini dinamakan “modal
sosial atau social capital”. Fukuyama
menegaskan bahwa persaingan antar bangsa saat ini bukan lagi benturan antar
ideologi, namun persaingan peradaban dan pasar bebas yang mempunyai modal
sosial tinggi.
Negara yang mempunyai modal sosial tinggi adalah mereka yang mempunyai
jiwa kebersamaan dan rasa saling percaya yang kuat, selain itu modal sosial ini
dibuktikan dengan minimnya konflik horizontal dan vertikal antar warganegaranya.
Pertanyaanya, apakah Indonesia sudah termasuk kedalam negara yang mempunyai
modal sosial tinggi itu? Mari kita refleksi diri.
Generasi Penentu
Apabila kita melihat kondisi pemuda Indonesia saat ini, optimisme harus
selalu tertanam. Mekipun tidak bisa dipungkiri, problematika remaja saat ini menjadi
perhatian kita bersama. Hal ini bisa kita lihat dari banyaknya “serbuan-serbuan”
luar yang menggempur pola pikir dan perilaku generasi muda. Contohnya, seperti pengkebirian
norma-norma sosial dengan maraknya suara melegalkan kelompok LGBT, lebih miris
lagi, ada siswa yang diduga masih duduk dibangku SMP dengan bangganya
memposting foto tidak senonoh dimedia sosial.
Degradasi moral ini bisa mengindikasikan kekhawatiran akan
keberlangsungan masa depan generasi muda kita. Kalau kita mau jujur, di negara
ini tidak kurang orang-orang ber-IQ tinggi, namun banyak pihak sepakat, bahwa
krisis kita sekarang adalah krisis moral. Krisis moral ini berkorelasi dengan
pendidikan dan aspek sosial setiap individunya. Semua institusi sosial, menjadi
tempat yang sangat penting, karena lewat institusi ini pembentukan karakter
individu dibentuk.
Hal ini sesuai dengan pendapat Lord Channing bahwa The great hope of society is individual character (harapan
besar masyarakat adalah kualitas karakter setiap individunya). Kualitas akhlak
individu ini tidak bisa terlepas dari peran sentral keluarga. Hal ini sesuai
dengan teori dalam sosiologi, yaitu “keluarga adalah unit terpenting dalam
masyarakat”. Artinya, apabila pondasi pendidikan dalam keluarga lemah, maka
bahan “bangunan” dalam masyarakat juga akan lemah.
Pembangunan karakter ini berkaitan erat dengan pola asuh yang dilakukan
oleh orang tua terhadap kepribadian individu-individu sejak kecil dari dalam
keluarga. Keluarga yang kokoh merupakan keluarga yang dapat menciptakan
generasi-generasi penentu yang berkarakter kuat. Kita harus merenungkan
kata-kata bijak, “walaupaun jumlah anak-anak hanya 25 % dari jumlah total
penduduk, namun akan menentukan 100 % perjalanan masa depan Indonesia”.
Begitu besar kontribusi anak-anak untuk masa depan Indonesia, karena dari
merekalah masa depan Indonesia sebagai sebuah bangsa akan ditentukan. Lalu
bagaimana karakter generasi penentu ini dibentuk? Mari mulai dari hal kecil
disekitar kita, yaitu dengan strategi meja makan.
Strategi Meja Makan
Apa hubunganya meja makan dengan pembentukan
peradaban? Meja makan merupakan wahana yang tepat untuk berkumpul keluarga
selama seharian beraktifitas dengan kegiatan masing-masing. Jangan menyepelekan
kegiatan makan bersama ini, karena kegiatan sederhana ini mempunyai dampak
positif yang sangat besar bagi perkembangan psikologi anak.
Hal ini pernah dibuktikan dari
penelitian pada tahun 2013 oleh peneliti dari University of Agder di Norwegia, penelitian
itu mengambil 8.000 anak di 8 negara Eropa sebagai sempel penelitian. Hasil
penelitian ini menegaskan, ternyata dengan rutin makan bersama bisa menurunkan perilaku
negatif dari anak, seperti kenakalan remaja, minum-minuman keras, dan penyalahgunaan
obat-obatan terlarang.
Dari hasil peneltian diatas, ternyata makan
bersama mempengaruhi perilaku anak dalam kehidupan. Dengan makan bersama, semua
elemen keluarga sedang mempererat dan mengaitkan antar anggota. Selain itu, dengan
makan bersama, anak bisa mengungkapkan curahan hati yang dialami seharian.
Lewat percakapan yang ringan di meja makan, secara tidak langsung, orang tua
memberikan bekal modal sosial kepada anaknya.
Relasi orang tua yang maksimal dengan
anak akan memperkokoh pondasi masyarakat. Artinya, relasi ini akan menimbulkan
kedekatan psikologis yang sangat penting untuk membangun kepercayaan anak pada
orang lain. Merasakan diri diperhatikan oleh orang tua sehingga memunculkan
perasaan yang nyaman dan aman bagi anak. Sehingga akan membentuk kepribadian yang
berkarakter kuat.
Memang tidak 100 % kepribadian anak
ditentukan di meja makan, pembentukan karakter anak yang maksimal membutuhkan
waktu, pikiran, tenaga, pengetahuan, kesabaran, dan konsistensi jangka panjang dalam
mendidik. Namun, dengan hal kecil yang mempunyai dampak besar ini, kita harus
menyempatkan minimal satu hari sekali untuk berkumpul di meja makan. Pilihan waktu
yang paling tepat untuk makan bersama adalah pagi hari ketika sarapan dan
ketika makan malam.
Kita tidak mau peran penting keluarga ini gagal, karena imbasnya terhadap
masa depan Indonesia. Seperti kata seorang pakar pendidikan, William Bennett, “apabila keluarga gagal dalam memberikan modal-modal sosial ini, maka akan
sangat sulit bagi lembaga-lembaga lain untuk memperbaiki kegagalan-kegagalan
tersebut dikemudian hari”. Oleh karena itu, kita semua harus berusaha
memaksimalkan peran keluarga ini bersama-sama.
Dengan segala elemen-elemen sosial
memaksimalkan perannya, terutama keluarga, maka kejayaan peradaban bangsa ini akan
terrealisasi secepatnya. Oleh karena itu, mari kita mulai pembentukan peradaban
bangsa ini dari keluarga, salah satunya bisa dibentuk di meja makan. Sehingga nantinya
para generasi muda mempunyai pondasi yang kuat dalam membangun peradaban
bangsanya.