Karya bersama Osi Krismonika dan Lintang Kumalasari |
Dunia sastra, hingga saat ini masih menjadi dunia
yang ‘terasing’ bagi kebanyakan generasi muda zaman sekarang, saat ini mereka
lebih disibukan dengan aktivitas ke alay-an
dan gadget nya. Mereka terjebak dalam
rutinitas yang tanpa batas, yaitu rutinitas keseharian yang membuat mereka
‘malas’ berkarya, apalagi untuk bersastra. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai
aspek, salah satunya persoalan masa lalu yang banyak membelenggu sebagian
sastrawan. Diluar itu, kaum elit dianggap tidak menanggapi kritik para
sastrawan dan cenderung tidak mau bergaul dengan mereka. Akibatnya, kebijakan
kebudayaan dan terutama kesastraan tidak dapat perhatian yang serius.[1]
Perkembangan dunia sastra bisa dikatakan sedang
menemukan momentum baru, apabila kita melihat toko-toko buku disekitar,
tentunya akan dengan mudah melihat berbagai karya sastra yang dihasilkan oleh
para sastrawan hebat. Karya sastra ini berupa roman percintaan,puisi-puisi dan
novel-novel yang ber-genre ramaja.
Selain media cetak, media online
manjadi tempat yang subur bagi pecinta sastra untuk menuntaskan dahaganya. Pada
masa ini, kita sering melihat karya-karya sastra diangkat kedalam layar lebar,
sebuah kenyataan yang tidak bisa dinikmati oleh sastrawan sekaliber Chairul
Anwar sekalipun. Dalam dunia pesantren,
banyak sastrawan yang bermunculan dari kalangan santri yang mashur, hal ini
bisa dilihat dari karya-karya penyair Emha Ainun Najib, sastrawan Ahmad Tohari,
atau puisi dari K.H Mustofa Bisri.
Dibalik menggeliatnya dunia sastra sekarang, sastra
tidak betul-betul menjadi bagian dari kehidupan bangsa Indonesia secara umum.
Dalam dunia pendidikan misalnya, para pelajar hanya memandang sebelah mata dan
menganggap dunia sastra tidak penting. Hal ini sudah dikatakan oleh Taufik
Ismail sebagai ‘generasi nol buku’. Taufik Ismail membandingkan pelajar lulusan
13 Negara, termasuk didalamnya Indonesia, bahwa pelajar kita tidak diwajibkan
membaca buku apalagi mewajibkan untuk menulis. Generasi inilah yang disebut
Taufik Ismail sebagai ‘generasi yang rabun membaca, dan pincang menulis’.[2]
Kenyataan ini diperkuat oleh fakta tentang karya Ahmad
Fuadi, sastrawan muda Indonesia produk pesantren, bahwa novel karyanya yang
berjudul Negeri Lima Menara menjadi
bacaan wajib bagi beberapa sekolah yang ada di Australia.[3]
Pertanyaanya, sudah berapa lembaga pendidikan di Indonesia yang mewajibkan
peserta didiknya untuk membaca karya lulusan Pondok Pesantren Modern Gontor
tersebut?
Budaya Literer
untuk Pendidikan Karakter
Bila dilhat, pendidikan kita lebih mengarah kepada
sebuah tujuan untuk tidak memanusiakan manusia secara utuh, lahir maupun batin,
tetapi lebih diorientasikan pada hal-hal yang bercorak materialistik, ekonomis,
dan teknokratis, kering dari sentuhan moral, kemanusiaan, dan kemuliaan budi.
Akibatnya keluaran dari nilai-nilai keagungan budi dan keluhuran pekerti jadi
tidak tersentuh. Mereka jadi kehilangan kepekaan nurani, seperti melontarkan
kata-kata barbar dan bahasa tubuh yang kasar dan vulgar. Nilai-nilai estetika
dan etika ini telah terkebiri dan terkerdilkan oleh gaya hidup yang hedonis dan
konsumtif.
Rendahnya tingkat apresiasi generasi muda terhadap
sastra hingga kini masih menjadi problematika dikalangan pengamat dan pemerhati
sastra. Kalau keadaan ini berlanjut, bukan mustahil pengajaran apresiasi sastra
didunia pendidikan semakin terpuruk dan terasingkan dari hiruk pikuk persaingan
antar bangsa. Menghadapi persaingan global ini, dunia pendidikan menempati
peran yang sangat penting untuk bisa mengoptimalkan fungsinya sebagai pusat
pendidikan nilai yang tidak hanya berbasiskan aspek kognitif, namun juga
merambah kedalam aspek afektif dan psikomotor.
Dari sinilah muncul kesadaran, bahwa pendidikan
karakter yang berbudaya literer berbasis sastra menjadi sebuah keniscayaan.
Dunia sastra dan tradisi literer merupakan sarana untuk membentuk karakter
suatu bangsa. Bahasa dan kata adalah tubuh dari pikiran dan gagasan manusia,
imajinasi, dan proyeksi sebuah masyarakat dan kebudayaannya.[4]
Buku tetralogi Buru karya Pramudya Ananta Toer misalnya, menggambarkan gambaran
mengenai mentalitas baru insani pribumi yang sedang mengalami perubahan dan
menanti sebuah momentum kebangkinan kesadaran nasional. Selain itu, novel
Andrea Hirata berbicara tentang sebuah perjuangan hidup mengejar kesuksesan
ditengah kehidupan yang serba terbatas. Novel ini memberikan inspirasi kepada
penikmatnya agar kesulitan bukanlah akhir, namun proses permulaan untuk menuju
sebuah kesuksesan.
Dalam dunia pesantren, tradisi sastra sangat kaya.
Salah satu model kekayaan tersebut adalah model pendidikan 24 jam, yaitu model
pengasramaan yang mengutamakan pendidikan karakter. Dalam prosesnya, dunia
pendidikan dipesantren berakar dari intelektualise tokoh-tokoh yang mengarang
dan menulis kitab-kitab. Ciri-ciri penting itu adalah tradisi menghafal
puisi-puisi berbahasa Arab. Dalam dunia pesantren, sastra menjadi media untuk
mengolah rasa, mengolah batin dan mengolah budi, sehingga diharapkan santri
memiliki perilaku positif. Melalui karya sastra, santri akan mendapatkan sebuah
pengalaman baru dan unik yang belum tentu bisa didapatkan dalam kehidupan
nyata.[5]
Selain dapat menjadi media pembentukan karakter,
secara umum sastra juga dapat menjadi saluran bagi terbangunnya budaya literer
dalam masyarakat. Budaya literer tidak hanya berkenan dengan kemampuan teknis
membaca dan menulis. Seorang yang terbebas dari tunaaksara tidak dengan
sendirinya dianggap sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki budaya
literer. Hanya mereka yang memiliki kemampuan baca-tulis lah yang secara teknis
serta menjadikan aktifitas baca-tulis sebagai kebutuhan sehari-harilah yang
dianggap sebagai cerminan masyarakat yang berbudaya literer.
Sihir Sastra
Pesantren dengan Syi’ir
Dalam dunia intelektual pesantren, tradisi keilmuan
berbasis agama berakar dari tanah Arab (Hijaz, Baghdad dan lain-lain). Oleh
karena itu, hampir semua sumber sastra pesantren menggunakan bahasa Arab. Di
pesantren, para santri mempelajari sastra dengan cara menguasai bahasa Arab
agar para santri bisa mempelajari langsung dari sumber aslinya. Dunia sastra
pesantren sudah menyumbangkan tokoh-tokoh yang tidak hanya diakui di Indonesia,
namun juga didunia (baca: dunia Arab), sebut saja Syekh Abdus Shamad Al-Falimbani (Palembang) dan Syekh Nawawi al-Bantani (Banten) dan masih banyak ulama-ulama lainnya.[6]
Bila ditelisik, dunia sastra pesantren lebih dekat
dengan tradisi sastra puisi (syi’ir).
Dalam hal ini, puisi bahkan menjadi ruh bagi hampir seluruh aktivitas keilmuan
didunia pesantren. Puisi-puisi ini tidak hanya dipelajari, namun juga harus
dihapalkan oleh para santri, kebiasaan menghapal ini tidak bisa dilepaskan
dengan kebiasan puisi yang menjadi satu kesatuan. Sehingga jika santri belajar ‘amrithi atau alfiyah, maka sejatinya dia sedang belajar ilmu nahwu melalui puisi-puisi ‘ilmi itu dengan cara menghapalkannya
sekaligus. Hapalan bukanlah tujuan utama, namun dengan menghapal bisa menjadi
dalil argumen suatu saat bila dibutuhkan.
Salah satu tradisi
pesantren yang lain adalah dibacakannya ‘diba,
sebuah antologi puisi karya Abdurrahman Ad-Dayba’i yang setiap minggunya akan
dibacakan dilingkungan pesantren. Antologi puisi ini biasanya dibacakan pada
acara penting, bahkan diba’ ini
dianggap ‘magis’ sebagai doa utuk kepentingan penyembuhan dan keselamatan. Bila
dicermati, membacakan puisi untuk sebuah kesembuhan dan keselamtan, bukankah
itu sesuatu yang luar biasa?
Pertanyaan diatas nampaknya bisa dijadikan sebuah refleksi diri, bagaimana signifikannya hubungan kedekatan orang pesantren/santri dengan tradisi sastra, khusunya puisi dalam bingkai keilmuan. Selain itu, orang-orang pesantren juga mempunyai sebuah kompetensi yang mumpuni untuk membuat karangan, baik itu sastra maupun non sastra. Para Kiai dan juga sebagian santri biasa menyusun kitab, baik itu berupa syi’ir/nadham (puisi) atau natsar (prosa). Meskipun tidak semua karya-karya yang mereka hasilkan (sebagian besar) tidak dipublikasikan secara luas, namun terbatas dan tersebar dilingkungan pesantren tersebut.
Namun, tidak jarang karya ulama pesantren yang melampaui lingkungannya, nama mereka sudah dikenal ke luar negeri. Sebut saja nama Kiai Hasyim Asy’ari dengan karyanya At-Tanbihat al-Wajibat, juga ada Kiai Ma’shum Ali dengan karyanya Amtsilat at-Thashrif. Dalam dewasa ini ada karya-karya Shohib Khaironi El Jawy yang menulis kitab panduan tata bahasa Arab dengan metode skema dan diagram yang memudahkan pembaca yang ingin belajar ilmu nahwu-sharaf. Karangannya yang berjudul, Audhlahul Manahij, bahkan sudah diakui di negara-negara Arab.[7] Bukti diatas membuktikan, karya-karya pesantren telah banyak menyebar, terutama syi’ir atau puisi.
Pertanyaan diatas nampaknya bisa dijadikan sebuah refleksi diri, bagaimana signifikannya hubungan kedekatan orang pesantren/santri dengan tradisi sastra, khusunya puisi dalam bingkai keilmuan. Selain itu, orang-orang pesantren juga mempunyai sebuah kompetensi yang mumpuni untuk membuat karangan, baik itu sastra maupun non sastra. Para Kiai dan juga sebagian santri biasa menyusun kitab, baik itu berupa syi’ir/nadham (puisi) atau natsar (prosa). Meskipun tidak semua karya-karya yang mereka hasilkan (sebagian besar) tidak dipublikasikan secara luas, namun terbatas dan tersebar dilingkungan pesantren tersebut.
Namun, tidak jarang karya ulama pesantren yang melampaui lingkungannya, nama mereka sudah dikenal ke luar negeri. Sebut saja nama Kiai Hasyim Asy’ari dengan karyanya At-Tanbihat al-Wajibat, juga ada Kiai Ma’shum Ali dengan karyanya Amtsilat at-Thashrif. Dalam dewasa ini ada karya-karya Shohib Khaironi El Jawy yang menulis kitab panduan tata bahasa Arab dengan metode skema dan diagram yang memudahkan pembaca yang ingin belajar ilmu nahwu-sharaf. Karangannya yang berjudul, Audhlahul Manahij, bahkan sudah diakui di negara-negara Arab.[7] Bukti diatas membuktikan, karya-karya pesantren telah banyak menyebar, terutama syi’ir atau puisi.
Pondasi dengan
Antologi Puisi: Salah Satu Solusi?
Harapan itu selalu ada. Tidak sedikit generasi muda
yang mau dan berani untuk bersastra, sebab masih banyak serpihan ‘mozaik-mozaik’
anak muda yang masih menjunjung tinggi dunia sastra. Bila dilihat, tanpa sadar
mereka sebenarnya sering bersentuhan dengan dunia sastra. Salah satu contohnya
adalah ketika kita melihat status dimedia sosial. Sebagian dari mereka, entah
itu di facebook, twitter, path dan media
sosial yang lainnya, status mereka rata-rata puitis dan penuh ‘mistis’, karena
banyak dari mereka menuangkan alam pikiran distatus sosialnya, dan banyak kata
sajak-sajak mengalir tanpa mereka merasa.
Dari semangat itu, penulis ‘menantang’ mereka untuk
menyatukan puisi-puisi kedalam sebuah buku kecil. Untuk mengumpulkan itupun
tidaklah mudah, karena membutuhkan waktu yang sedikit menguras tenaga dan
pikiran. Hanya mereka yang mau berdamai dengan masalah-masalah dikelas, mereka disatu
sisi harus berkutat pada pelajaran dan tugas yang jelas segudang jumlahnya,
namun harus mengumpulkan dan membuat karya sastra berbentuk puisi.
Mereka mencoba berolah sastra, belajar membuat dan menuliskan
puisi serta mengapresiasikannya lewat bentuk sebuah antologi. Mereka memadukan
dan mengimajinasikan, hal ini seusuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Shahnon
Ahmad bahwa sebuah kata dipadukan, maka akan mendapat garis-garis besar tentang
pengertian puisi yang sebenarnya. Unsur-unsur tersebut berupa emosi, imajinasi,
pemikiran, ide, nada, irama, kesan pembaca, kiasan dan perasaan yang bercampur
baur menjadi sebuah rangkaian kata.[8]
Untuk membuat sebuah puisi saja membutuhkan waktu
dan suasana yang mendukung terutama harus mempunyai sebuah tema atau ide.
Faktor tersebut harus ada dalam proses pembuatan sebuah puisi, karena untuk
mencari tema dan ide itu sifatnya hanya sepintas terfikirkan. Pertanyaanya
bagaimana menumbuhkan ide? Ide itu datangnya tiba-tiba, maka kita perlu menyediakan
catatan kecil, semisal buku harian atau catatan di smartphone. Ide-ide yang datang tiba-tiba itu, setelah ditulis dalam
bentuk catatan-catatan kecil tersimpan maka dibuka lagi ketika kita dalam
keadaan yang tenang, dari hasil perenungan ini bisa digali terus menjadi sebuah
puisi.
Apalagi dalam kondisi anak muda yang sedang menyemai
jati diri mereka. Mereka sedang menumbuhkan apa yang terpendam dalam diri
mereka, entah itu tentang pertemanan maupun masalah cinta. Biasanya tema-tema
seperti itu yang terlintas dibenak para anak muda. Puisi mereka biasanya
merupakan media yang paling tepat untuk terus menuangkan perasaan mereka yang galau ataupun baper (terbawa perasaan). Hal ini bisa berdampak positif, karena
secara tidak langsung mereka menumbuhkan budaya menulis bagi sekitarnya.
Meskipun budaya membaca mereka masih sedikit lemah, karena bisanya puisi yang
mereka buat bukan karena dari membaca, namun disebabkan karena pengalaman
pribadi mereka yang sudah dialami.
Hal ini meskipun belum lengkap, budaya menulis ini
akan diimbangi dengan sendirinya karena mereka setelah mau menulis, biasanya
akan ‘terpaksa’ membaca, sehingga budaya yang timbul akan lengkap dengan budaya
membaca dan menulis. Kedua aspek ini tentunya akan menumbuhkan karakter mereka
menjadi karakter-karakter yang berpotensi membangun bangsa. Namun apabila bakat
terpendam mereka tidak di ‘bangunkan’ maka hal ini bisa melayukan semangat
budaya membaca dan menulis.
Ada dua hal yang mengancam budaya membaca dan
menulis ini, yaitu pertama,
vokasionalisme baru, dimana lembaga-lembaga pendidikan hanya menekankan aspek
ketrampilan teknis. Semisal, banyak jurusan disekolah-sekolah yang hanya
menjuruskan minat siswa namun tidak melihat sisi-sisi yang lain, atau bakat
yang ‘tertidur’ mereka. Dan yang kedua,
terpaan luas dan intens dari multimedia, khususnya media televisi yang
menampilkan budaya-budaya konsumtif dan pragmatis, semisal sinetron-sinetron
yang sama sekali tidak ada nilai pendidikannya, yang ada hanya pihak televisi
hanya mengejar rating dan pemasukannya, sehingga secara tidak langsung televisi
akan membunuh budaya menulis dan membaca.[9]
Oleh karena itu, semangat untuk melawan dari serangan-serangan untuk
mengkerdilkan semangat anak muda ini harus terus dikobarkan.
Melalui semangat ini, kiranya penulis berusaha terus
menjaga tradisi bersastra untuk kaum muda. Sebab, seperti yang sudah dibahas,
kebiasaan membaca dan menulis merupakan indikator majunya sebuah peradaban bangsa.
Misalkan di negara Jepang, penggunaan media kertas ternyata lebih banyak
dibandingkan dengan penggunaan tisu toilet. Tradisi bersastra ini akan
(setidaknya) menjaga agar sedikit usaha menyemai jatidiri mereka terabadikan
oleh karya puisi. Sehingga diharapkan generasi sekarang tidak menjadi generasi
yang menurut Taufiq Ismail sebagai generasi yang ‘rabun membaca dan pincang
menulis’ itu.
Sekarang banyak tersedia berbagai penerbit-penerbit
yang mau menerbitkan berbagai tulisan
kita. Hal ini mendorong penulis dan siswa bersama-sama untuk membangunkan
budaya literer ini kedalam sebuah buku antologi
puisi. Penerbit yang sudah menerbitkan buku antologi ini adalah Mer-C
Publising yang berada di Jakarta Selatan. Cetakan pertama pada bulan Februari
2016, dan ber ISBN 978-602-71073-2-8 dengan judul buku “Retorika Cinta dalam Senja: Antologi Puisi Menyemai Jati Diri”.
Sebuah langkah awal dan pemicu bagi bibit-bibit yang berbakat untuk
mengembangkan dan mendorong supaya lebih semangat untuk menuangkan semua ide
kedalam bentuk tulisan.
Meskipun buku antologi ini masih terbatas
penulisnya (3 orang penulis), namun setidaknya penulis mencoba menyumbangkan
pikiran dan tenaga, untuk tetap membuat ‘lilin kecil tetap menyala dan berubah
menjadi kobaran api yang besar’ lewat generasi muda yang berpotensi untuk bersinggungan
secara langsung dengan dunia sastra. Akhirnya penulis menyadari bahwa dunia
sastra pada umumnya dan sastra pesantren khusunya akan ‘bangun’ dari tidurnya
selama masih ada pena-pena anak muda yang berani menerobos dan menuangkan buah
pikirannya meski hanya sekedar antologi puisi sederhana. Semoga dunia sastra
pada umumnya, dan sastra pesantren khusunya akan terus menggeliat dan
mengeluarkan taringnya. Esai ini penulis tutup dengan sepenggal puisi dalam
antologi buku Retorika Cinta dalam Senja:
DIMANA CINTA SESUNGGUHNYA?
Cinta, bila kau datang tiba-tiba
Kedekatan jiwa, kecantikan mesra
Rindu nan penuh khayal merajut jiwa
Seisi hati menggenap untuknya
Asa mencinta tuk menyatu sepenuh tenaga
Rasa menjadi hidup hampa
Jika tanpa dia
Cinta, sekarang bila kau tahu
Dasar niat itu dibawah pusarmu
Nafsu raga jadi tujuanmu
Keduannya bersama cinta
Pasangan cinta itu idaman, alasannya
Cinta, sesatkah kamu cinta?
Sesat,! Jika sekumpul alasan akan pecinta
Pola tata krama dianggap tercela
Asal haram jadi halal, cinta untuk pecinta
Cinta, sekarang belum waktunya?
Siksaan adzab selanjutnya
Neraka akibatnya
Apa??? Neraka? Belakang urusannya
Itu masih lama
Cinta, sekarang kamu siapa?
Syariat, dihantam alasan apa saja
Lingkungan, berdukung berduyun mengiya
Keluarga, bila sudah ‘ada’, pasti setuju diterima
Apa??? Neraka? Masih kasat mata
Itu masih lama
Cinta, dimana kamu cinta yang sesungguhnya?
Hanya lewat jalan restu-Nya
Yang bisa memborgol modus cinta
Minta restulah pada-Nya
Semoga petunjuk-Nya
Datang untuk cinta yang sesungguhnya
Purbalingga, 8 November 2013
[1] Lihat Wildan
Yatim. 1979. “Tidak didukung Situasi Politik”., dalam rubrik dialog dengan tema
“Sastra Kita: Tetapkah Terpencil?”, Jurnal
Prisma edisi April 1979.
[2] Lihat makalah
dari Taufiq Ismail.
2009. “Dari Pasar Djohar ke Djalan Kedjaksaan”, Makalah pada Seminar Nasional Pengembangan Model Pembelajaran
Sastra yang Komunikatif dan Kreatif, Universitas Negeri Semarang, Ahad, 7 Juni
2009.
[3] “Bacaan Wajib”,
Rubrik Nama dan Peristiwa, Harian Kompas, 28 November 2015.
[4] Lihat buku Yudi
Latif. 2009. Menyemai Karakter Bangsa:
Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan. Jakarta: Kompas.
[5]
Ahmad
Baso. 2012. “Kembali ke Pesantren, Kembali ke Karakter Ideologi
Bangsa”, dalam Jurnal KARSA, Vol. 20 No. 1 Tahun 2012, hlm 1-20.
[6]
Lihat
buku Mastuki HS dan Ishom El-Saha (eds). 2003. Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era
Pertumbuhan Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka.
[7] Em Syuhada, Secercah Sinar dari Lirboyo, Jawa Pos 20 April 2008, online melalui http://www.ronas.sch.id/2015/11/secercah-sinar-dari-lirboyo.html,
diakses tanggal 12 Mei 2016.
[8]
Lihat
Larlen. 2012. “Nilai Estetika Puisi Dua Pintu Kita dan Batu Pelangi”., dalam Jurnal Pena Vol. 2 No. 3 Desember 2012.
Hlm 97-117.
[9] Yudi Latif. 2009.
ibid.., hlm 19.