Indonesia
merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, alamnya sangat dikagumi oleh
berbagai bangsa, hingga kekayaan ragam budayanya. Misalkan dalam dunia kelautan,
orang Indonesia punya banyak budaya dan pegangan hidup yang sudah dilakukan
oleh nenek moyang sejak turun-temurun untuk menjaga dan melestarikan kekayaan
laut. Salah satu masyarakat Indonesia yang mempunyai falsafah hidup itu adalah
orang Jawa. Falsafah ini adalah Memayu
Hayuning Samudro. Pertanyaanya, apa hubungan falsafah ini dengan
kelestarian laut?
Glokalisasi
Pengaruh kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat
ini sangat besar perannya dalam membentuk wajah Indonesia. Pengaruh globalisasi
ini akan membentuk identitas lokal menjadi identitas nasional hingga global,
atau yang sering disebut glokalisasi. Konsep glokalisasi ini dipopulerkan oleh
Roland Robertson pada tahun 1977.
Menurut Roland Robertson, glokalisasi adalah penyesuaian produk global dengan
karakteristik lokal. Dalam glokalisasi, akan memunculkan interpretasi produk
global dalam konteks lokal yang dilakukan oleh masyarakat dalam berbagai aspek
wilayah budaya. Memang pada dasarnya glokalisasi timbul dan merupakan efek dari
globalisasi, namun substansi dari glokalisasi tetap mempunyai gen cita rasa lokal untuk mempertahankan
identitas nasional.
Identitas
masyarakat Jawa pada umumnya mengetahui akan pentingnya sumber daya alam untuk
kelangsungan hidup manusia. Untuk itulah, para nenek moyang kita telah
menentukan hari penyelamatan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup
beserta isinya. Orang Jawa menyebutnya dengan Memayu Hayuning Bawana, menurut
Suwardi Endraswara falsafah ini
mempunyai arti penyelamat keseimbangan alam dan lingkungan tempat manusia
hidup.
Revitalisasi Tradisi
Salah satu caranya untuk menjaga dan
menyelamatkan keseimbangan laut yaitu dengan kembali pada kearifan lokal kita (local genius), dengan lebih spesifik
falsafah kearifan lokal Memayu Hayuning
Bawana menjadi Memayu Hayuning
Samudro yaitu menyelamatkan keseimbangan laut. Biasanya orang Jawa
melakukan falsafah Memayu Hayuning
Samudro dengan membuat ruwatan atau
sedekah atau slametan.
Tindakan nyata dari falsafah ini diwujudkan dengan upacara
tradisional Sedekah Laut.Upacara ini dilakukan untuk masa awal musim
penangkapan ikan setelah masa paceklik, sehingga kalau melaut lagi, tangkapan
ikan akan sangat banyak. Oleh karena itu, upacara ritual Sedekah Laut ini dilaksanakan sebagai wujud rasa syukur para nelayan
kepada Tuhan karena nelayan telah diberi rejeki barupa hasil tangkapan ikan
yang melimpah. Dalam upacara ini biasanya nelayan tidak diperbolehkan melaut,
hal ini sebetulnya memberikan kesempatan ikan untuk berkembang biak.
Sekarang momentum yang tepat
untuk melihat kembali peradaban bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim dan sebagai negara
kepulauan terbesar didunia, serta
merupakan negara agraris yang
memiliki pertanian dan kehutanan
bagi penduduknya. Seperti falsafah Jawa, Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara
artinya manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan
kesejahteraan, serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak.
Selain itu mari kita
terus membuka mata kita, awasi selalu setiap usaha yang berpotensi menghancurankan
laut Indonesia. Pemerintah sudah mulai melakukan perubahan paradigma
pembangunan nasional, dari orientasi pembangunan darat menjadi orientasi pembangunan laut.
Dengan begitu, harapannya seluruh kebijakan publik dan sumberdaya finansial
secara terintegrasi diarahkan untuk menunjang pembangunan kelautan tanpa
menghilangkan warisan lelulur kita. Perubahan paradigma ini bukan berarti kita melupakan pembangunan didarat, justru harus diintegrasikan
pembangunan ekonomi di darat dan di laut.
Sejuta harapan pada negara
kita untuk menjadi poros maritim dunia tidak akan menjadi khayalan semata dalam
beberapa tahun kedapan jika kita bersama dan saling bersinergis. Dengan falsafah
Memayu
Hayuning Samudro, mari jaga
dan kelola kekayaan laut kita bersama-sama.
Daftar
Pustaka
Endraswara, Suwardi. 2013. Memayu
Hayuning Bawana. Yogyakarta: Narasi.
Kelompok
Kerja Penyelarasan Data Kelautan dan Perikanan. 2011. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2011.
Dimuat di Satelitpost 12 Juli 2016.