“Sistem
pendidikan harus diarahkan untuk membantu membangun identitas bangsa Indonesia
yang berbudaya dan beradab, yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang hidup
di negara ini”. Kutipan yang diambil dari tulisan Presiden Joko Widodo ini menegaskan,
bahwa pentingnya jati diri untuk membangun identitas bangsa Indonesia yang
berbudaya dan beradab. Konsep ini lebih familiar ditelinga kita dengan Revolusi
Mental.
Masih menurut Presden Joko Widodo, Revolusi Mental ini dapat
terealisasi dengan konsep Trsakti Bung Karno, yaitu (1) Indonesia yang mandiri
secara ekonomi, (2) Indonesia yang berdaulat secara politik, dan (3) Indonesia
yang berkepribadian secara sosial-budaya.
Point ketiga Trisakti diatas,
yaitu membangun kepribadian sosial dan
budaya memang sangat urgen untuk dilakukan, karena sifat ke-Indonesia-an
semakin pudar dari kalangan anak muda saat ini, hal ini tidak terlepas dari
derasnya arus globalisasi yang menyerbu dari berbagai sisi. Indonesia tidak boleh
membiarkan bangsanya larut dalam arus budaya yang belum tentu sesuai dengan
nilai-nilai luhur bangsa ini.
Sistem pendidikan yang ada
sekarang harus ditujukan untuk membantu membangun identitas bangsa Indonesia
yang berbudaya dan beradab, yang juga menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan
agama. Akses pendidikan dan layanan kesehatan masyarakat yang terarah dan
sampai pada lapisan masyarakat yang paling bawah dapat membawa kita untuk
memahami dan mau membangun kepribadian sosial dan budaya Indonesia.
Kalaupun Indonesia melakukan
Revolusi Mental, tentunya kita harus memulai dari hal yang terdekat disekitar
kita, dari lingkungan keluarga dan lingkungan tempat tinggal, serta lingkungan
tempat kita beraktifitas sehari-hari, hingga akhirnya merambah kedalam lingkungan
kota dan akhirnya berimbas ke negara kita. Tujuannya menjadikan Revolusi Mental
ini sebuah gerakan massal yang bersifat nasional.
Karakter sebagai Jati Diri
Pendidikan karakter dengan
strategi kebudayaan nasional bisa sebagai langkah awal untuk menjalankan
Revolusi Mental ini. Karena memang banyak tokoh yang sudah mengingatkan betapa pentingnya
karakter untuk memajukan Indonesia. Salah satunya para founding father, termasuk didalamnya proklamator kita, sejak
jauh-jauh hari sudah sadar akan pentingnya karakter untuk menjadikan perjalanan
bangsa ini menjadi lebih terhormat dimata dunia.
Ir. Sukarno, Presiden
pertama kita pernah memberikan konsep tentang pembangunan karakter dan bangsa
dalam beberapa pidatonya, beliau selalu menekankan akan pentingnya national and charakter building. Dalam
beberapa pidatonya, Bung Karno menyatakan bahwa pembanguna karakter bangsa
tidak bisa dibatasi waktu, namun harus dilakukan kontinyu secara konsisten dan
berkesinambungan mengingat kemajemukan Indonesia yang sangat beragam.
Selain Bung Karno, Wakil
Presiden pertama, Bung Hatta juga menyatakan hal yang sama tentang pentingnya
pendidikan karakter, menurut Bung Hatta, untuk memajukan ilmu pengetahuan dan
kejayaan bangsa maka karakterlah yang menjadi hal utama. Apabila kurang
kecerdasan, maka bisa diisi dan dipelajari, namun kalau hancurnya karakter maka
akan sangat sulit diperbaiki.
Selain kedua tokoh
Proklamator diatas, tidak kalah penting konsep dari Bapak Pendidikan Nasional,
Ki hajar Dewantara, tentang pentingnya sebuah pendidikan karakter. Hal ini dikarenakan
pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti
(karakter), pikiran (intelektual) dan tubuh anak (kebugaran fisik). Menurutnya,
tiga elemen itu tidak bisa dipisahkan dalam upaya memajukan kehidupan para
anak-anak kita.
Karakter adalah sebuah watak
untuk mengembangkan jati diri manusia, dengan demikian, karakter seseorang
lebih menggambarkan jati diri seseorang. Sikap santun pada orang yang lebih tua
akan lebih menunjukan karakter seseorang daripada hanya sekedar kegagahan
fisik. Jadi karakter menempati posisi tertinggi dalam kepribadian manusia,
sedangkan aspek intelektual, ketramplan dan lain-lain merupakan bagian dari
kepribadian manusia.
Kekuatan Keteladanan
Pendidikan karakter bangsa bisa diimplementasikan dengan
berbagai cara pendekatan sekaligus, salah satu kekuatan yang paling efektif
dalam menumbuhkan karakter adalah kekuatan keteladanan karakter tokoh yang
baik. Keteladanan itu bisa diambil dari orang-orang besar, juga dari keteladanan
orang-orang kecil yang berasal dari masyarakat bawah.
Keteladanan
Sukarno-Hatta misalnya. Sukarno-Hatta merupakan pahlawan proklamator dan
dwitunggal dalam membawa bangsa menuju pintu gerbang kemerdekaan. Kedua tokoh
ini merupakan sosok pribadi yang berbeda, kalau Sukarno dalam pendidikannya
bercirikan ke-Timur-an, yang mengutamakan pengaruh kepemimpinan dan kuatnya
kepribadian. Sedangkan Hatta merupakan tokoh yang mengenyam pendidikan Barat
dan lebih mengutamakan pentingnya kompetensi dan profesionalisme.
Kedua
tokoh ini mempunyai pribadi yang berbeda, bahkan kadang bertentangan, tapi atas
nama bangsa Indonesia, kedua tokoh ini mau meleburkan egonya untuk
memperjuangkan bangsa Indonesia dalam cengkraman penjajah. Seandainya kedua
tokoh ini saling menonjolkan egonya masing-masing, tentu akan menimbulkan
kontradiksi dan mungkin akan menimbulkan konfrontasi yang berakibat buruk bagi
sejarah bangsa Indonesia. Sukarno-Hatta adalah contoh keteladanan dalam hal
meleburkan ego demi kepentingan bangsa.
Sosok
tokoh lain yang patut menjadi teladan adalah Hoegeng Imam Santoso, Menteri
Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak) / Kapolri era tahun 1966-1971.
Keteladanan Hoegeng tidak hanya didalam institusinya saja, namun diluar
intstitusi kepolisian sudah menunjukan komitmenya dalam menjaga integritas diri
dan menjauhan dari segala sesuatu yang akan menyebabkan tercemarnya nama baik
dirinya dan lembaganya.
Contoh
kecilnya yaitu, Hogeng tidak menggunakan kekuasaannya untuk memperlancar karir
anaknya, beliau tidak memberikan surat ijin bagi anaknya untuk masuk menjadi
taruna TNI Angkatan Udara sehingga akhirnya anaknya masuk ke Seni Rupa di ITB.
Dalam karirnya beliau tidak memanfaatkan kekayaanya untuk mengumpulkan
pundi-pundi rupiah, hingga meninggal, Hoegeng tidak memiliki tabungan deposito
atau tabungan milyaran. Beliau hanya menerima uang pensiunan tiap bulannya.
Hoegeng menjadi contoh keteladanan dalam hal kejujuran dan mengedepankan
integritas dalam mengemban tugasnya sebagai abdi negara.
Sebenarnya
masih banyak sosok teladan dari bangsa kita yang patut diteladani. Selain sosok
besar bangsa Indonesia, banyak sosok disekeliling kita yang patut kita tiru,
semisal orang tua kita. Jadi Revolusi Mental yang di ‘bangunkan’ lagi oleh
Presiden Joko Widodo seharunya menjadi momentum bagi kita untuk mulai
merealisasikannya. Tidak usah terlalu jauh, kita mulai dari diri kita sendiri,
dari hal-hal terkecil dengan meneladani tokoh-tokoh yang sudah terbukti
karakternya dalam memajukan bangsa Indonesia. Semoga Revolusi Mental ini tidak
hanya berakhir menjadi opini dan wacana saja, namun bisa direalisasikan dan diimplementasikan
kepada seluruh rakyat Indonesia.
Dimuat di Satelitpost tanggal 22 Juni 2016, klik link artikel koran Satelitpost
Arif Saefudin
Guru Sejarah SMA Negeri 2 Purbalingga