Bangsa kita adalah bangsa yang besar. Negara lain didunia
mengakui itu, justru kita yang tidak percaya diri terhadap kemampuan kita untuk
mengelola kekayaan kita sendiri. Pola pikir ini yang harus dirubah, karena
tanpa sadar kita merasa sebagai bangsa bermental “jongos”. Pola pikir ini diakibatkan
karena bangsa ini dijajah ratusan tahun dan hingga saat ini dibeberapa sisi
kita “menikmati” situasi ketergantungan pada bangsa lain.
Kekayaan sumber
daya alam yang ada seperti keindahan fatamorgana yang indah ditelinga namun
pahit didalam realita. Sumber daya dinegeri ini hampir ludes dikuasai oleh pihak asing, ditambah dengan moral pejabat yang
bobrok. Kasus terbaru yaitu “papa minta saham” menjadi tontonan dimedia setiap
harinya. Betapa hal itu memalukan kita sebagai sebuah bangsa.
Pertanyaanya,
bagaimana cara merubah mental bangsa kita? Tidak berlebihan bila Revolusi
Mental dengan pendidikan menjadi sebuah jawaban problematika bangsa ini. Hal
ini setidaknya langkah pertama sebelum kita melangkah ketahapan yang lebih
konkrit, yaitu mengambil manfaat sumber alam kita untuk bangsa sendiri.
Sistem Penuh Sandiwara
Sistem penuh dengan sandiwara, kata ini sadar atau tidak
sadar sistem ini yang diaplikasikan oleh elite politik kita saat ini, mereka
tidak (belum) berani merombak total sistem lama yang dipenuhi dengan kepalsuan.
Sehingga implikasinya kalau sistem ini tidak direformasi, maka jangan harap
republik ini akan menghasilakan elite-elite politik yang berkualitas.
Benar yang dikatakan oleh Ir. Soekarno, bahwa “revolusi kita belum selesai”, bila dulu kita
menghadapi imperialisme senjata, sekarang kita menghadapi imperialisme dalam
semua segi kehidupan. Kita bisa melihat imperialisme itu sekarang, meski kasat
mata tapi sangat terasa dampaknya, seperti keterbelengguan aspek ekonomi,
sosial, dan budaya. Ironisnya, justru dibeberapa kasus hal itu dilakukan oleh
bangsa sendiri yang bersekongkol jahat dengan bangsa lain untuk memperkaya
kantong pribadinya.
Drama ilahi tentang kebersamaan membangun bangsa yang
amat kuat pudar karena aktor pengisi kemerdekaan tidak pernah sadar bahwa usaha
untuk membangun bangsa selalu dilakukan secara kolektif, bukan satu orang atau
kelompok. Revolusi fisik ’45 yang sudah menghasilkan kemerdekaan secara politik
sulit untuk dilanjutkan menuju kemerdekaan secara sosial, ekonomi, dan budaya
sebagai cita-cita founding father
secara hoisitik.
Kita
harusnya merefleksi kemerdekaan yang diletakan dan mengulang pertanyaan dibenak
kita masing-masing, sejauh mana kita sebagai sebuah bangsa mencapai cita-cita
kemerdekaan yang mendasar?
Merdeka dengan Pendidikan
Pendidikan merupakan sarana untuk memerdekakan dan dengan demikian
diikuti dengan tindakan-tindakan yang mendukungnya. Menurut Paulo Freire,
pendidikan merupakan alat membebaskan untuk memanusikan, yang terpenting adalah
memanusiakan manusia, menghilangkan jejak de-humanisasi yang merasuki dunia
pendidikan.
Pendidikan bukan hanya menuntut ilmu secara formal,
tetapi lebih mendasar yaitu setiap orang menjadi “gelas kosong” sehingga
pengetahuan kita akan saling mengisi dari satu orang keorang lainnya (kemanusiaan)
yang merupakan hak dari semua orang. Inilah esensi dari pendidikan yang
membebaskan dan kemudian berimplikasi memanusiakan manusia.
Prinsip ini dijabarkan dalam perjalanan untuk menuju
manusia yang merdeka. Manusia yang membangun empati dan menjauhi ego, manusia
yang berani membantu orang lain dan lingkungan sosialnya. Proses ini bisa dilampaui bila ada kesadaran
bersama bahwa kesejahteraan diraih untuk semuanya bukan untuk sebagian apalagi
segelintir orang. Jadi pendidikan bukan proses untuk menonjolkan karakter individualisme
saja, namun esensi yang utama adalah menumbuhkan karakter sosial.
Namun karakter sosial kita kadang terganggu jusru oleh
ruang publik. Ruang publik kita hanya dihiasi oleh orang-orang berwajah ganda.
Polemik terus menerus ditampilkan dan menghiasi diberbagai media, bahkan hampir
setiap hari kita disuguhi tontonan yang tak patut dijadikan tuntunan. Realita ini justru membuat kita selalu
berfikir kerdil dan miskin cinta apalagi cita-cita.
Akar permasalahan bisa dilacak sampai keakar-akarnya,
setidaknya dari bagaimana sistem pendidikan diselenggarakan. Kita bisa melihat
pendidikan dinegeri ini kadangkala dijadikan sebagai alat legitimasi kekuasaan
politik. Pendidikan distrukturalkan dibawah hegeomoni politik, sehingga
menghasilkan manusia yang setia pada mayoritas dan tidak mau beranjak dari zona
nyamannya.
Sistem pendidikan seperti ini ibarat seperti mainan mobil
dengan remote control, yang tidak
akan bisa sampai kesuatu tempat tanpa dikendalaikan oleh remote control. Remote control yang dimaksud adalah pemegang hegeomoni
dan para kapitalis yang menyeragamkan ideologi mereka. Hal ini hanya akan
membuat mereka menunggu titah dari
raja nya, sehingga dapat dipastikan tidak ada kreatifitas apalagi inovasi baru.
Implikasinya birokrasi menjadi lambat dalam merespon
perubahan. Ketidakmampuan ini disebabkan ketidakberdayaan untuk keluar dari
lingkaran kultur lama. Dimana kemandirian individu direduksi menjadi ketaatan
buta yang dikendalikan oleh sistem penyeragaman. Hal ini membuat perjalanan
reformasi hingga sekarang terpincang-pincang, yang disebabkan oleh
ketidakberdayaan dan ketidakmampuan merespon perubahan yang begitu cepat.
Solusi dari permasalahan ini adalah sebuah
transformasi budaya lewat transformasi paradigma pendidikan. Paradigma
pendidikan yang dibutuhkan untuk membuat bangsa ini cerdas adalah paradigma
pendidikan dengan visi jelas, yaitu memanusiakan manusia dan menjadikan pribadi
mereka sebagai seorang pribadi yang merdeka.
Merdeka yang mempunyai definsi mendalam, yaitu
mereka yang tidak tergantung kepada hal yang melekat pada dirinya, baik itu
harta atau tahta. Melekatnya akan harta serta tahta membuat orang secara
mendasar tidak merdeka secara hakiki. Kemerdekaan
yang hakiki akan melahirkan keluhuran budi serta empati terhadap penderitaan
orang lain. Kemerdekaan hakiki akan membuat manusia Indonesia tidak berfikir
hanya untuk dirinya, melainkan berorientasi bagi lingkungan, bangsa dan
negaranya..
Arif
Saefudin
Guru
SMA Negeri 2 Purbalingga