Eksotisme Kebhinekaan Kita., Koran Cetak Satelit Post, 12 Januari 2016. |
Setiap
akhir tahun, biasanya aparat keamanan selalu sibuk dengan pengamanan perayaan
natal bagi umat kristiani dan tahun baru. Hal ini dikarenakan ada sekelompok
oknum yang dengan bangganya mengacungkan senjata mereka atas nama agama.
Perlakuan represif ini merupakan langkah yang naif, karena sikap ini justru merupakan
sikap blunder bagi para oknum yang
katanya “para pejuang agama” itu.
Padahal
tidak ada satupun agama didunia ini yang mengajarkan kekerasan apalagi
pembunuhan. Bahkan agama resmi yang diakui oleh Indonesia mengajarkan kepada
kita bahwa perbedaan itu harus dihormati sehingga akan timbul situasi toleransi
yang harmonis.
Salah
satu empat pilar kebangsaan kita adalah Bhinneka Tunggal Ika. Namun apa
kabarnya dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika dizaman ini? Masihkah kita
mempraktekan tidak hanya sekedar lisan, namun juga diresapi melalu hati dan
diamini melalui perbuatan? Rasanya kita perlu berkaca kejayaan kerajaan
Majapahit dulu.
Nusantara Dulu dan Kini
Bhinneka
Tunggal Ika merupakan frase klasik yang sudah 70 tahun dijadikan fondasi bagi
negara kita. Semboyan ini justru lahir dari zaman Majapahit sebagai pemersatu
tanah air yang bertajuk “Nusantara”. Pada zaman Majapahit, keharmonisan bisa
terjalin meski bercokol dua agama besar saat itu, yaitu Hindu dan Budha. Hal
ini membuktikan kemajemukan atau pluralitas dari tanah air kita justru sudah
ada sejak kerajaan Hindu dan Budha.
Dalam
catatan sejarah, kerajaan Majapahit merupakan kerajaan yang menggoreskan tinta
emas. Hal ini karena sudah Majapahit sudah melahirkan dan mempersatukan konsep Nusantara
hingga kewilayah-wilayah yang sekarang sudah tidak lagi menjadi wilayah
teritorial Indonesia.
Presentase
toleransi antara Hindu dan Budha yang sangat tinggi membuat kedua agama
superpower pada masanya itu dapat saling berdampingan, hal ini menjadi salah
satu indikator suksesnya kerajaan tersebut mencapai kehidupan yang tentram dan
makmur. Namun saat ini, banyak kita temui konflik justru muncul dari masyarakat
kita sendiri yang berujung pada “kalah jadi abu, menang jadi arang”.
Isu-isu
konflik semacam ini tidak terlepas dari perbedaan konflik yang disebabkan oleh
perbedaan suku, agama, ras dan antar golongan. Konsep Bhineka Tunggal Ika saat
ini memasuki musim paceklik, hal ini dikarenakan beberapa dari kita ada yang
menganggap dirinya superior dan mayoritas. Ini memperihatinkan, bila melihat
lebih jauh lagi justru akar permasalahannya adalah karakter masyarakat kita
yang mudah tersulut provokasi oleh oknum tertentu.
Beberapa
dari kita tidak sadar bahwa telah diadu domba oleh egoisme kita sendiri. Kita
lebih gemar mengibarkan bendera golongan kita dibandingkan dengan bendera merah-putih.
Karakter egositis seperti ini seharusnya dieliminasi dari kehidupan berbangsa
dan bernegara, seharusnya usia kemerdekaan kita yang sudah berumur 70 tahun
menjadi bekal dalam menghadapi berbagai macam konflik kedewasaan bernegara. Lalu
bagaimana caranya mengimplementsikan nilai-nilai kebhinnekaan itu?
Menyemai dengan Pendidikan
Implementasi
nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika salah satunya bisa menggunakan pendidikan.
Pendidikan bisa membuat pla pikir generasi muda sadar dan mengetahui betapa
pentingnya nasionalisme dibandingkan dengan egoisme kelompok yang selama ini
dibungkus dengan kata “solidaritas” menurut versi mereka.
Pendidikan
tidak hanya dilakukan oleh guru disekolah, namun juga oleh orang tua
dirumah-rumah. Mereka adalah penggerak roda pendidikan dalam perkembangan anak
menuju sebuah fase kedewasaan. Orang tua dan guru diharapkan menjadi filter
psikis yang membuat pengawasan terhadap psikologi anak-anak mereka. Mereka
harus menyaring berita dan informasi yang masuk, jangan sampai hama-hama
radikalisme tumbuh dan menghambat bibit-bibit toleransi.
Bila
pendidikan ini dilakukan oleh berbagai komponen, maka langkah primer ini akan
menumbuhkan sikap gotong royong bagi masyarakat Indonesia. Saat terdengung kata
dan sikap gotong royong, mau tidak mau kita akan menemukan interaksi sesama.
Selanjutnya, keharmonisan akan berjalan ditengah perbedaan latar belakang kita
masing-masing.
Tujuan hilrnya
ada pada rasa nasionalisme yang tumbuh subur, sehingga presentasi kemungkinan
terjadinya konflik akan dapat ditekan dan diminimalisir dan potensi toleransi
antara warga negara jauh bisa dieksplorasi dan secara konsisten
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Maka dari
itu, kita sebagai warga negara harus berjibaku dan saling membantu dalam usaha
konservasi nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika. Jangan sampai eksotisme kebinekaan
kita akan punah dan tidak dinikmati oleh anak-cucu kita kelak. Oleh karena itu,
kita harus mengawasi dan mengawalnya bersama-sama!
Sampai
pada akhirnya kejayaan dan kemakmuran tanah air kita seperji zaman Majapahit
bisa diraih. Itulah impian kita bersama, dimana tanah air kita bisa dikecup
mesra oleh semua warga negara Indonesia tanpa terkecuali. Oleh sebab itu, mari
amalkan dan pertahankan eksotisme Bhinneka Tunggal Ika.
Perbedaan
yang sering terjadi karena berdekatannya hari-hari besar agama seharusnya
menjadi momentum bagi kita untuk menguji kedewasaan bernegara kita. Bukannya
dijadikan kesempatan untuk menunjukan superioritas kelompok mayoritas terhadap
kelompok minoritas. Kita seharusnya belajar untuk saling belajar, dibandingkan
dengan saling menghajar. Pelangi indah bukan karena satu warna, tapi karena
banyak warna yang menghiasinya..