Indonesia akhir tahun 2015 jumlah penduduknya
sudah melebihi 250 juta jiwa,[2] dengan jumlah penduduk sebanyak itu,
Indonesia termasuk kedalam negara dengan populasi terbesar di dunia. Meskipun dengan jumlah penduduk 250 juta
jiwa, tingkat ‘kebersihan’ dari korupsinya terbilang masih rendah. Menurut laporan terbaru dari Transparency International (TI) yang menyebut
bahwa rangking Indonesia masih menempati posisi bawah untuk negara terbersih
dari korupsi. Tahun 2014, Indonesia berada diperingkat 107 dari 177 bersama
Argentina. Menempati peringkat ke-107, artinya Indonesia memiliki skor 34
dengan skala 0-100. Bahkan tahun 1999, Indonesia pernah menempati 5 besar negara
paling korup didunia. Sedangkan 3 besar negara dengan predikat paling bersih
korupsi adalah Denmark (92), Selandia Baru (91), dan Finlandia (89).[3]
Fakta tersebut menunjukan bahwa tantangan
bangsa Indonesia untuk membrangus
korupsi masih terus berlajut. Saat ini, sadar atau tidak sadar, korupsi sudah
merasuk kesegala sendi-sendi kehidupan bangsa kita. Perilaku dan tabiat ini
sangat susah luar biasa ditanggulangi, perlu upaya luar biasa juga untuk membrangusnya dari bumi Indonesia. Salah
satu langkah awal Indonesia untuk menanggulangi korupsi dengan membentuk Komisi
Pembrantasan Korupsi (KPK) tahun 2002. Lembaga ini sudah memberikan harapan
besar pada rakyat Indonesia untuk membrantas korupsi. Dari eksekutif,
legislatif hingga yudikatif pernah merasakan ‘baju khas’ KPK itu, meskipun
begitu, KPK tidak bisa bekerja sendiri, karena lembaga ini hanya terfokus pada
korupsi puncak ‘Gunung Es’. Untuk korupsi yang ‘recehan’ belum tersentuh.
Kita pasti sepakat bahwa para foundingfather kita untuk
mengumandangkan proklamasi tidaklah mudah. Pengorbanan harta benda, jiwa dan
raga sudah tidak terhitung jumlahnya. Kini sudah 70 tahun Indonesia menghirup
udara kebebasan, pertanyaan dibenak kita adalah mau sampai kapan kita akan
menunggu negara Indonesia ‘hancur’ karena korupsi? Dimana letak kesalahan kita
sampai Indonesia menempati negara terkorup nomor 107 dari 177 negara didunia? Pembrantasan
korupsi yang dilakukan harus mengena semua, tidak hanya kelas ‘kakap’, tapi juga
korupsi kelas ‘teri’. Memang pekerjaan yang maha berat, tapi bukan tidak
mungkin, bila upaya preventifnya kita temukan, maka ‘bibit-bibit’ korupsi akan
tertanggulangi. Apa usaha preventifnya? Usaha preventif itu justru ada disekitar
kita, yaitu terletak dirumah dan sekolah kita.
Mengasuh
Antikorupsi di Rumah
Keluarga
adalah tempat pertama seorang anak mengenyam pendidikan dan pondasi awal dalam
pembentukan karakter anak. Ibarat sebuah rumah, bangunan yang pertama kali dibuat
adalah pondasi rumah, pondasi yang kuat akan membuat rumah tidak mudah roboh
meski diterjang angin kencang. Dirumah juga merupakan penanaman ideologi
seseorang terbentuk pertama kalinya. Oleh karena itu, keluarga menjadi alat
yang sangat efektif dan sangat fundamental dalam menumbuhkan budaya antikorupsi
di Indonesia.
Bila melihat peran keluarga dalam membentuk
karakter seseorang, maka semua anggota keluarga mempunyai andil yang sama.
Peran ayah dan ibu sebagai otoritas tertinggi dalam rumah tangga menjadi sangat
sentral, terutama peran ibu, karena sebagian waktu anak dihabiskan dirumah.
Dari keluarga, penanaman nilai-nilai karakter termasuk didalamnya nilai kejujuran
dan antikorupsi diteladani anak dari perilaku orang tuannya. Seperti cerita yang
dituturkan oleh Ketua KPK non aktif, Abraham Samad, yang ‘mencuri’ kapur tulis
berjumlah 5 batang, tapi ketika ibunya tahu, kapur yang ‘hanya’ berjumlah 5
batang itu harus dikembalikan karena untuk membelinya memakai uang negara.[4] Bagi generasi muda sekarang mungkin hal itu sepele, tapi hal-hal sepele
itulah yang membentuk karakter orang-orang besar didunia.
Kisah pendidikan antikorupsi yang
dilakukan dirumah juga diceritakan oleh Mutia Hatta, anak sulung Bung Hatta.
Beliau mengisahkan kalau mobil RI-2 hanya dipakai oleh ayahnya, termasuk ibunya
pun tidak diperbolehkan menaiki mobil RI-2, kecuali untuk acara kenegaraan.[5] Selain itu sikap jujur dan menepati janji juga harus menjadi pondasi dalam
pendidikan antikorupsi di rumah. Seperti kelanjutan kisah dari Mutia Hatta
tadi, bahwa Bung Hatta mengajarkan kejujuran dan selalu menepati janjinya,
karena Bung Hatta tidak pernah menjanjikan sesuatu kalau memang hal itu tidak
dapat direalisasikan.
Pola asuh antikorupsi ini lebih lengkap
bila diimbangi dengan sikap hidup sederhana meskipun serba ada. Kesederhanaan
ini yang menjadi ‘benteng’ bila diserang dengan serangan-serangan uang, karena
bila orang bersikap sederhana tentu akan berimbas pada rasa syukur dan cukup
terhadap rezki yang sudah diberikan Tuhan yang Maha Esa. Tentu kita tidak
meragukan besarnya gaji-gaji birokrat tingkat pusat, dari ratusan juta hingga
milyaran[6] tapi kenapa mereka masih saja mau menerima uang hasil korupsi? Jawabanya
karena mereka tidak mempunyai rasa syukur dan rasa cukup terhadap gaji dan
penghasilan yang sudah mereka dapatkan sebagai abdi negara.
Hal ini bertolak belakang dengan
pendidikan yang dilakukan oleh orang-orang besar didunia, misalkan kisah dari
Soichiro Honda, pendiri dari Honda Motor Jepang, yang tidak mau memberikan
warisan pada anak-anaknya, kecuali memberikan bekal kepada anak-anaknya untuk
sanggup berusaha sendiri. Padahal Soichira mempunyai 43 perusahaan di 28
negara, dan yang lebih mencengankan lagi adalah, Soichiro lebih memilih untuk
tinggal dirumah yang sederhana. Hal ini bisa dimaklumi, karena masa kecil
Soichiro penuh dengan kerja keras dan kesederhanaan, ayahnya saja hanya seorang
pandai bersi yang mengelola bengkel reperasi sepeda.[7]
Sayangnya, di Indonesia masih banyak
keluarga yang tidak menerapkan pola asuh antikorupsi dan kesederhanaan dalam
rumahnya. Hal ini terlihat sangat jelas dari budaya korupsi berbagai ‘versi’,
budaya korupsi versi lain ini justru diajarkan orang tua yang mungkin tanpa
mereka sadari, mereka mendahului dengan seringnya mengajari berbohong terhadap
anak-anaknya, misalkan, ketika ada tamu yang datang kerumah, si anak disuruh
untuk mengatakan bahwa ‘ayahnya tidak dirumah’ padahal jelas-jelas ayahnya ada
dan bersama anaknya dirumah. Contoh yang lain, misalkan anak sedang menangis,
maka orang tuannya akan berbohong untuk menghentikan tangisannya, mereka
berbohong ada ‘orang gila’ atau ‘ada hantu’. Perilaku dan kebohongan-kebohongan
kecil ini yang justru mengajarkan kepada anak bahwa bohong itu hal yang biasa
dan diperbolehkan.
Setelah melihat contoh-contoh kejadian
nyata diatas, kunci keberhasilan dari penanaman antikorupsi di rumah adalah
dengan sifat ketauladanan, kesederhanaan dan kejujuran dari orang tuanya.
Sifat-sifat ini sangat penting diimplementasikan dirumah, karena tidak semua
orang tua ‘mampu’ melakukannya. Kebanyakan orang tua bila memberikan nasihat
yang baik untuk anaknya mungkin semua orang tua bisa melakukan itu, tapi
memberikan contoh yang nyata dari perilaku orang tua memang sangat berat tapi
hal ini merupakan keharusan dan jurus yang ampuh untuk mendidik anak sejak dini
mengenal kejujuran dan keteladanan sehingga secara tidak langsung mengajarkan anak
prilaku antikorupsi.
Sekolah
Antikorupsi di Sekolah
Sekolah merupakan
rumah kedua bagi anak-anak, karena dalam kurun waktu 6-10 jam sehari mereka berada dilingkungan sekolah. Selain
rumah, sekolah bisa menjadi tempat berseminya budaya antikorupsi, hal ini bisa
dilakukan dengan pendidikan karakter melalui pembentukan soft sklills para peserta didik. Robert K Cooper, mengatakan bahwa
apa yang mereka tinggalkan dibelakang dan acapkali mereka lupakan adalah aspek
‘hati’ atau kecerdasan emosi (EQ) dan aspek ‘ilahi’ kecerdasan spiritual (SQ).[8] Keseimbangan antara aspek IQ, EQ bahkan SQ ini yang menyebabkan Finlandia
menjadi negara percontohan dalam dunia pendidikan didunia.
Sistem pendidikan yang dilaksanakan di
Finlandia tidak mengenal anak ‘pintar’ dan anak ‘bodoh’. Mereka tidak pernah
dipaksa untuk menguasai materi tertentu, tapi mengarahkan potensi dan bakat
yang ada pada seorang anak tanpa ada pemaksaan apapun. Disana juga tidak pernah
ada perangkingan, selain itu, setiap kelas harus terisi maksimal 16 peserta
didik, sehingga pembelajaran lebih intensif dan maksimal. Dan yang terpenting
di Finlandia adalah pendidikan disemua jenjang gratis, benar-benar gratis tanpa
dipungut biaya apapun. Lalu bagaimana dengan dunia pendidikan kita?
Bila melihat fakta dunia pendidikan kita
sekarang, rasanya masih jauh api dari panggangnya untuk menjadikan EQ dan SQ menjadi
prioritas utama dalam pembentukan karakter peserta didik. Dari sistem pendidikan
saja, Indonesia menempati salah satu peringkat terendah di dunia. Berdasarkan
tabel liga global yang diterbitkan oleh firma pendidikan Pearson, sistem
pendidikan Indonesia berada disalah satu posisi bawah bersama Meksiko dan
Brasil. Tempat pertama dan kedua ditempati Finlandia dan Denmark.[9]
Itulah kenapa, negara Finlandia dan Denmark termasuk tiga besar negara
terbersih dari korupsi didunia.
Data diatas membuktikan bahwa dunia pendidikan kita masih tertinggal dan dalam
keadaan yang stagnan. Bahkan Mendikbud, Anies Baswedan mengatakan “Peserta didik hidup di abad ke-21,
guru-gurunya hidup dan memperoleh pendidikan dari abad ke-20, tapi ternyata,
cara mengajar dan setting sekolah masih menggunakan pola abad ke-19”.
Artinya, masih banyak guru-guru yang mengajar dengan cara konvensional dan
hanya berorientasi pada nilai-nilai angka dan meninggalkan makna. Termasuk
didalamnya budaya ‘kolonial’ yang masih ditemui, yaitu budaya korupsi.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa dilingkungan sekolah pun korupsi masih
tetap dengan mudah ditemui, dari penerimaan peserta didik baru sampai lulus,
dari guru hingga peserta didik. Contoh kecil
korupsi yang dilakukan oleh guru yaitu ‘korupsi waktu’ yang dilakukan ketika
bel sudah masuk, tapi guru masuk kekelas 10-20 menit setelah bel. Belum lagi ‘korupsi
nilai’, demi untuk memudahkan peserta didiknya lolos SNMPTN pihak sekolah rela ‘merevisi’
nila-nilai rapotnya. Sedangkan korupsi yang dilakukan oleh peserta didik misalkan dengan ‘korupsi mencontek’. Mereka rela melakukan
segala sesuatu asalkan nilainya bagus, tanpa melihat proses memperoleh nilai
itu didapat dari mencontek ataukah kejujuran. Dunia pendidikan kita (masih) tidak
menghargai proses, sehingga para pelakunya pun lebih mementingkan sifat pragmatisme,
kemudian yang baik dan yang kurang baik akan tercampur, dan pastinya yang baik
lama-lama akan terseret kedalam kondisi yang kurang baik.
Sebetulnya
pemerintah sudah berusaha untuk memasukan ‘doktrin’ antikorusi disekolah sejak
tahun 2004 lewat Instruksi Presiden No 5/2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi, pada bagian Diktum ke-11 (Instruksi
Khusus) poin ke 7 pemerintah sudah menginstruksikan kepada Menteri Pendidikan
untuk mengadakan pendidikan yang berasaskan semangat dan sikap antikorupsi. Dari
Kurikulum 2006 hingga 2013 yang sekarang diimplementasikan sebetulnya sudah
mengarahkan peserta didik untuk mengarah kedalam pendidikan antikorupsi, tapi
sebagus apapun kurikulum kalau guru yang menjadi ‘ujung tombak’ pendidikan
tidak mau merubah mindset nya maka
kurikulum yang sekarang akan percuma. Kita harus sedikit belajar dari
negara-negara yang berhasil menurunkan angka korupsi dengan cara pendidikan.
Selain
Finlandia, contoh ‘negara’ yang telah melaksanakan pendidikan antikorupsi di
sekolah dan telah menunjukan hasil yang signifikan adalah Hongkong.[10]
Hongkong melaksanakannya semenjak tahun 1974 dan menunjukan hasil yang luar
biasa. Jika tahun 1974 Hongkong adalah ‘negara’ yang sangat korup dan korupsi
dideskripsikan dengan kalimat from the womb to tomb, maka saat ini
Hongkong adalah salah satu kota besar di Asia dan menjadi kota terbersih ke-15 di
dunia.[11]
Keberhasilan ini tidak terlepas dari efek simultan dan upaya pemberantasan
korupsi dari segala segi kehidupan, termasuk pendidikan antikorupsi yang
dilaksanakan di sekolah-sekolah secara formal dengan didukung oleh kualitas
guru yang memadai. Indonesia sendiri pada tahun 1999 menempati posisi 5 besar
negara terkorup, sedangkan tahun 2014 indonesia menempati posisi 107 dari 177
negara, artinya bangsa kita bisa berubah kearah yang lebih baik. Terlebih bagi
seorang pendidik, tugas kita untuk melanjutkan perubahan itu, dengan cara
membumikan budaya antikorupsi disekolah-sekolah.
Menyemai
Generasi Antikorupsi
Bulan November kemarin rakyat Indonesia
dengan bangga merayakan hari pahlawan, kita bisa merefleksikan diri tentang
perjuangan para patriot bangsa untuk mengusir para penjajah. Mereka rela
berkorban nyawa demi menegakan panji-panji kemerdekaan ditanah Indoenesia.
Sudah tidak terhitung berapa jumlah korban jiwa yang jatuh dari pihak
Indonesia. Maka tidak heran, sebagian pahlawan nasional merupakan mereka yang
berani mengangkat senjata untuk menentang penjajah, dan rata-rata pahlawan
nasional Indonesia berasal dari kalangan militer. Sekarang tentu bukan zamannya
lagi mengangkat senjata, lalu versi pahlawan seperti apa yang dibutuhkan untuk
Indonesia saat ini?
Pahlawan versi modern adalah mereka yang
berani untuk mengatakan TIDAK pada korupsi, itu yang sangat dibutuhkan oleh
Indonesia saat ini. Budaya antikorupsi di Indonesia
memang masih rendah, kita harus mengakui itu. Peningkatan peringkat posisi
Indonesia dari tahun 1999 hingga 2014 tidak menjadi jaminan. Secara umum,
masyarakat kita belum sepenuhnya melakukan pola asuh antikorupsi di rumah dan
sekolah, tercermin dari perilaku para orang tua dirumah dan guru disekolah. Perbaikan
terhadap situasi ini harus kontinyu dan sinergis antara semua stakeholder, seperti pemerintah,
lembaga-lembaga yang terkait serta masyarakat sekitar. Orang tua selaku peletak
pondasi karakter anak harus menanamkan pola asuh antikorupsi dan pihak sekolah
yang merupakan rumah kedua harus mengimplementasikan kurikulum-kurikulum yang
sudah memberikan ruang untuk mengajarkan antikorupsi dengan benar dan tepat
sasaran.
Mengacu
pada tujuan dan target pendidikan antikorupsi diatas, maka pembelajaran antikorupsi
hendaklah didesain secara moderat dan tidak indoktrinatif. Pembelajaran yang
dialami peserta didik merupakan
pembelajaran yang memberi makna bahwa mereka merupakan pihak atau warga negara
yang turut serta memikirkan masa depan bangsa dan negara ini kedepan, terutama
dalam upaya memberantas korupsi sampai keakarnya dari bumi Indonesia. Hanya
dengan menempatkan peserta didik pada posisi inilah pendidikan antikorupsi akan
mempunyai makna penting bagi mereka, jika tidak mereka akan cenderung
beranggapan bahwa pendidikan antikorupsi hanyalah urusan politik semata, sebab
mereka bukanlah orang-orang yang melakukan korupsi dan belum tentu juga akan
berbuat korup dimasa depannya.[12]
Dunia
pendidikan kita dilapangan kadang hanya mengejar angka-angka tanpa melihat
nilai-nilai karakternya. Kita sepakat, bahwa orang Indonesia tidak kalah pintar
dengan bangsa lainnya, tapi yang membedakan bangsa lain punya karakter yang kuat
sehingga negara mereka maju. Tapi pendidikan karakter kita justru menjadi nomor
dua, yang terpenting nilai angka-angka bagus diatas kertas tanpa melihat
prosesnya. Selain itu, hal yang paling berpengaruh terhadap keberhasilan
pendidikan antikorupsi dirumah dan sekolah adalah sikap ketauladanan, bahkan sikap
ketauladanan orang tua terhadap anaknya diabadikan dalam Al-Qur’an Surat Lukman
surat ke-31.[13]
Sebagai orang tua dirumah, tentunya kita
harus terbiasa dengan sikap ketauladanan. Anak-anak tidak akan membutuhkan
nasihat yang terlalu banyak, mereka akan menilai sendiri apakah nasihat orang
tuannya itu. Justru anak-anak akan lebih ‘kena’ dengan ketauladanan
dibandingkan dengan nasihat tanpa tindakan. Kita biasakan untuk menanyakan
kepada anak ‘nak, tidak apa-apa mendapat nilai 6, asalakan didapat dari
kejujuran’ kita tinggalkan kebiasaan kita yang selalu menuntut kepada anak
harus mendapatkan nilai bagus, tanpa melihat proses usaha mereka
mendapatkannya. Kita harus belajar dari orang-orang besar dalam mendidik
anak-anak mereka, atau belajar dari negara-negara besar dalam membenahi sistem
pendidikan dan pemerintahannya, tapi harus tetap di ‘bumikan’
ke Indonesia. Seperti ucapan Tan Malaka, ‘Belajarlah dari Barat,
tetapi jangan peniru Barat. Melinkan jadilah murid dari Timur yang cerdas’.
Akhirnya, setelah bangsa Indonesia jatuh bangun
dan bertranformasi sejak Orde Lama, Orde Baru hingga reformasi, sekarang
keputusan ada dipundak kita untuk membersihkan bangsa Indonesia dari korupsi
yang merajalela, dimulai dari diri kita, keluarga sampai sekolah demi menegakan
pondasi yang kokoh dalam membangun dan memperjuangkan tegaknya Indonesia bersih
dari korupsi. Kita harus tetap optimis untuk menuju pada perubahan ditengah
kondisi yang bobrok, kita harus belajar tidak hanya memberikan nasihat terhadap
anak tapi juga memberikan ketauladanan dan perilaku yang nyata.
Dan yang terakhir, kita harus terus mendukung
KPK dalam perjuangannya menghadapi ‘tikus-tikus berdasi’, sehingga kita menjadi
masyarakat yang dengan setulus jiwa raga memvisualisasikan nilai-nilai antikorupsi
dirumah dan sekolah. Mari kita menjadi pahlawan versi modern (terlebih saya
mengingatkan pada diri saya sendiri) dan terus mengobarkan semangat antikorupsi
dari diri kita, dari rumah hingga sekolah dan sekarang juga. Dan kita juga
harus mendukung KPK dari ‘serangan-serangan yang sehalus sutra’ untuk
melemahkan KPK!!!
tulisan ini mendapatkan juara 2 festival antikoruspi 2015, silahkan bisa berkunjung ke web KPK di https://acch.kpk.go.id/id/artikel/amatan/pendidikan-dan-budaya-antikorupsi-di-rumah-hingga-sekolah
atau ke https://www.kpk.go.id/id/berita/berita-kpk-kegiatan/3162-ini-pemenang-lomba-karya-tulis-dan-foto-acara-festa-2015
tulisan ini mendapatkan juara 2 festival antikoruspi 2015, silahkan bisa berkunjung ke web KPK di https://acch.kpk.go.id/id/artikel/amatan/pendidikan-dan-budaya-antikorupsi-di-rumah-hingga-sekolah
atau ke https://www.kpk.go.id/id/berita/berita-kpk-kegiatan/3162-ini-pemenang-lomba-karya-tulis-dan-foto-acara-festa-2015
Daftar Pustaka
Agustian, Ary
Ginanjar. 2007. Rahasia Sukses Membangun
Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ. Jakarta: Arga Publising.
Saefudin, Arif dan Suyoko,
Dwi. 2015. Pemuda dan Tawaran Solusi
Problematika Bangsa. Wonosobo: Gema Media.
Harahap,
Krisna. 2009.”Pemberantasan Korupsi Masa reformasi (Suatu Tinjauan Historis)”. Historia:
Journal of Historical Studies X. Hlm 130 -140.
http://www.indonesia-investments.com/id/budaya/demografi/item67, diakses tanggal 2 Desember 2015.
http://www.dream.co.id/news/indonesia-masuk-daftar-negara-terkorup-di-dunia-141208l.html, diakses tanggal 2 Desember 2015.
http://nasional.tempo.co/read/news/2013/04/23/078475291/samad-pendidikan-antikorupsi-dimulai-di-keluarga, daikses tanggal 5 Desember 2015.
http://www.pesona.co.id/relasi/keluarga/cara.sederhana.mengajarkan.anti.korupsi/003/001/90, diakses tanggal 5 Desember 2015.
http://edukasi.kompas.com/read/2012/11/27/15112050/Sistem.Pendidikan.Indonesia.Terendah.di.Dunia, diakses 5 Desember 2015.
Montessori, Maria. 2012.
Pendidikan Antikorupsi Sebagai Pendidikan Karakter di Sekolah. Jurnal Ilmiah Politik Kenegaraan. Vol
11, No 1. Hlm 293-301.
[1] Guru Sejarah SMA Negeri 2 Purbalingga. Kontak email
penulis: ahrifsay@gmail.com
atau no HP 0817535878.
[2] http://www.indonesia-investments.com/id/budaya/demografi/item67, diakses tanggal 2 Desember 2015.
[3]
http://www.dream.co.id/news/indonesia-masuk-daftar-negara-terkorup-di-dunia-141208l.html, diakses tanggal 2 Desember 2015.
[4] http://nasional.tempo.co/read/news/2013/04/23/078475291/samad-pendidikan-antikorupsi-dimulai-di-keluarga, daikses tanggal 5 Desember 2015.
[5] http://www.pesona.co.id/relasi/keluarga/cara.sederhana.mengajarkan.anti.korupsi/003/001/90, diakses tanggal 5 Desember 2015.
[6] Bila melihat gaji pokok para petinggi negara mungkin tidak terlalu besar,
tapi itu belum termasuk tunjangan-tunjangan yang jumlahnya berlipat-lipat dari
gaji pokok mereka.
[7] http://indonesiaindonesia.com/f/50549-kisah-hidup-kegagalan-pendiri-honda/., diaskes tanggal 5 Desember 2015.
[8] Padahal EQ berkontribusi
sebanyak 80 persen pada kesuksesan seseorang, sementara kecerdasan intelektual
(IQ) hanya memiliki kontribusi 20 persen. Lihat Ary Ginanjar
Agustian. 2007. Rahasia Sukses Membangun
Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ. Jakarta: Arga Publising., hlm 5.
[9] http://edukasi.kompas.com/read/2012/11/27/15112050/Sistem.Pendidikan.Indonesia.Terendah.di.Dunia, diakses 5 Desember 2015.
[10] Hongkong merupakan kota khusus bagian dari Tiongkok dengan asas ‘satu
negara, dua sistem dan merupakan salah satu kota utama pusat keuangan dunia.
[11] Harahap, Krisna. 2009.”Pemberantasan Korupsi Masa reformasi (Suatu Tinjauan Historis)”. Historia: Journal
of Historical Studies X. Hlm 130 -140.
[12] Maria Montessori.
2012. Pendidikan Antikorupsi Sebagai Pendidikan Karakter di Sekolah. Jurnal Ilmiah Politik Kenegaraan. Vol
11, No 1. Hlm 293-301.
[13] Arif Saefudin dan Dwi Suyoko. 2015. Pemuda
dan Tawaran Solusi Problematika Bangsa. Wonosobo: Gema Media., hlm 105.