Bulan November rakyat Indonesia dengan bangga merayakan hari pahlawan, kita
bisa merefleksikan diri tentang perjuangan para patriot bangsa untuk mengusir para
penjajah. Mereka rela berkorban nyawa demi menegakan panji-panji kemerdekaan ditanah
Indoenesia. Sudah tidak terhitung berapa jumlah korban jiwa yang jatuh dari
pihak Indonesia. Maka tidak heran, sebagian pahlawan nasional merupakan mereka
yang berani mengangkat senjata untuk menentang penjajah, dan rata-rata pahlawan
nasional Indonesia berasal dari kalangan militer. Sekarang tentu bukan zamannya
lagi mengangkat senjata, lalu versi pahlawan seperti apa yang dibutuhkan untuk
Indonesia saat ini?
Pahlawan versi modern adalah mereka yang berani untuk mengatakan TIDAK pada
korupsi. Itu yang sangat dibutuhkan oleh Indonesia saat ini, karena kita tahu
bahwa banyak sekali pejabat dari eksekutif, legislatif hingga yudikatif pernah
merasakan ‘baju khas’ KPK itu. Meskipun begitu, kita sebagai rakyat awam, tidak
bisa sepenuhnya tergantung pada KPK untuk membrantas korupsi. Karena korupsi
dinegeri ini sudah sangat menggurita disemua lini kehidupan. Bisa kita lihat
dari laporan
terbaru Transparency International
(TI) yang menyebut bahwa rangking Indonesia menempati posisi bawah untuk negara
terbersih dari korupsi. Pada tahun 2014 saja, Indonesia berada diperingkat 107
dari 177 negara dengan skor 34 skala 0-100.
Pribumisasi Tradisi
Antikoruspi
Dari mana kita memulai untuk
mendukung gerakan antikorupsi? Tidak perlu jauh-jauh, lihat sekeliling kita
saja. Kita bisa berperan dilingkungan sekitar kita, yaitu dirumah dan sekolah
(bagi guru). Dirumah, kita yang berposisi sebagai orang tua harus membuat rumah
menjadi tempat penanaman kejujuran, dengan berani memberikan ketauladanan
kepada anak-anak kita. Dari hal yang tekecil saja, yaitu dengan mensinkronkan
ucapan dan tindakan kita. Misalkan, kisah yang dialami oleh Mantan Ketua KPK,
Abraham Samad saat masih kecil, yaitu kisah ‘mencuri’ kapur tulis berjumlah 5 batang.
Padahal teman-temannya sudah terbisa dengan pengambilan kapur tulis tersebut.
Dan ketika ibunya tahu, kapur yang ‘hanya’ berjumlah 5 batang itu harus
dikembalikan karena membelinya memakai uang negara.
Bagi generasi muda sekarang mungkin hal itu sepele, tapi hal-hal sepele
itulah yang membentuk karakter orang-orang besar didunia. Orang tua yang hebat
adalah mereka yang berani untuk memberikan pendidikan kejujuran dan kesederhanaan
dalam setiap usahannya. Seperti kisah dari Soichiro Honda, pendiri dari Honda
Motor Jepang, yang tidak mau memberikan warisan pada anak-anaknya, kecuali
memberikan bekal kepada anak-anaknya untuk sanggup berusaha sendiri. Padahal
Soichira mempunyai 43 perusahaan di 28 negara, dan yang lebih mencengankan lagi
adalah, Soichiro lebih memilih untuk tinggal dirumah yang sederhana. Hal ini
bisa dimaklumi, karena masa kecil Soichiro penuh dengan kerja keras dan
kesederhanaan, ayahnya saja hanya seorang pandai bersi yang mengelola bengkel
reperasi sepeda.
Saya merending mendengar kisah seorang pemilik dari pabrikan Honda diatas, pelajaran
yang bisa diambil adalah seorang yang besar berasal dihasilkan dari proses
pendidikan yang ‘keras’ dan dimulai dirumah. Oleh karena itu, rumah menjadi
tempat yang ampuh untuk membentuk generasi-generasi pahlawan versi modern yang
dibutuhkan Indonesia saat ini. Dimulai dari kelauladanan dan kesederhanaan. Selain
rumah, tempat yang sangat penting lainnya adalah sekolah. Kenapa sekolah? Karena
sekolah merupakan rumah kedua bagi anak-anak, dalam satu hari, mereka
menghabiskan waktu 5-9 jam disekolah.
Disekolah, pendidikan yang harus ditanamkan adalah pendidikan yang
bersinergi dengan pendidikan karekter peserta didik, yang tidak hanya berkutat
pada nilai-nilai angka tapi lebih mengarah untuk mengambil makna-makna. Contoh negara
yang menjadi kiblat pendidikan dunia adalah negara Finandia, negara yang menempati
3 (tiga) besar negara paling bersih dari korupsi. Artinya, kualitas pendidikan
disekolah juga merupakan faktor terpenting untuk menumbuhkan budaya antikorupsi.
Di Finlandia, sistem pendidikan di negara Finlandia tidak mengenal anak
‘pintar’ dan anak ‘bodoh’. Mereka tidak pernah dipaksa untuk menguasai materi
tertentu, tapi mengarahkan potensi dan bakat yang ada pada seorang anak tanpa
ada pemaksaan apapun. Setiap kelas harus terisi maksimal 16 peserta didik,
sehingga pembelajaran lebih intensif dan maksimal. Dan yang terpenting, di
Finlandia adalah pendidikan disemua jenjang gratis, benar-benar gratis tanpa
dipungut biaya apapun. Lalu bagaimana dengan dunia pendidikan kita?
Sebetulnya
pemerintah sudah berusaha untuk memasukan ‘doktrin’ antikorusi disekolah sejak
tahun 2004 lewat Instruksi Presiden No 5/2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi, pada bagian Diktum ke-11 (Instruksi
Khusus) poin ke-7 pemerintah sudah menginstruksikan kepada Menteri Pendidikan
untuk mengadakan pendidikan yang berasaskan semangat dan sikap antikorupsi. Dari
Kurikulum 2006 hingga 2013 yang sekarang diimplementasikan sebetulnya sudah
mengarahkan peserta didik untuk mengarah kedalam pendidikan antikorupsi, tapi
sebagus apapun kurikulum kalau guru yang menjadi ‘ujung tombak’ pendidikan
tidak mau merubah mindset nya maka
kurikulum yang sebagus apapun akan percuma.
Dunia
pendidikan kita dilapangan kadang hanya mengejar angka-angka tanpa melihat
nilai-nilai karakternya. Kita sepakat, bahwa orang Indonesia tidak kalah pintar
dengan bangsa lainnya, tapi yang membedakan bangsa lain punya karakter yang
kuat sehingga negara mereka maju, sedangkan kita?? Pendidikan karakter kita
justru menjadi nomor dua, yang terpenting nilai angka-angka bagus diatas kertas
tanpa melihat prosesnya. Selain itu, hal yang paling berpengaruh terhadap
keberhasilan pendidikan antikorupsi dirumah dan sekolah adalah sikap
ketauladanan.
Menjadi
Guru yang Digugu Dan Ditiru
Bulan November ini
merupakan momentum bagi guru diseluruh Indonesia untuk menyatakan ‘berperang’
pada korupsi, dengan cara memulai dari diri sendiri dan ditularkan pada peserta
didiknya. Menjadi guru bukanlah pekerjaan yang mudah, karena harus mendidik
generasi penerus bangsa. Generasi yang akan membangun peradaban Indonesia kedepannya,
tentunya butuh perjuangan yang berat dan panjang untuk mencapai tujuan itu.
Banyak
hal dapat dilakukan oleh guru sebagai pembentuk pahlawan versi modern, contoh
kecil dimulai dari ketepatan masuk ketika bel sudah berbunyi. Karena para
peserta didik membutuhkan sosok panutan dibandingkan hanya sekedar retorika
belaka tanpa aksi nyata. Sekarang momentum yang tepat, mari para orang tua dan guru
dimanapun anda berada, kita tanamkan kejujuran pada anak dan peserta didik dengan
cara memberikan aksi yang nyata. Dimulai dari diri kita sendiri, dari hal-hal
yang kecil, dari lingkungan sekitar kita yang secara tidak langsung akan
membentuk generasi pahlawan versi modern. Selamat hari guru, mari kita satukan
kekuatan demi membrantas kosupsi dari bumi Indonesia ini..