(Ki Hajar Dewantara)
Indonesia adalah sebuah Negara yang dapat dikatakan sebagai
negara Multikultural dan
Indonesia juga merupakan Negara yang dikenal sebagai Negara yang memiliki
kekayaan melimpah, namun demikian sumber daya manusianya masih sangat rendah
dalam hal pendidikan. Hal ini pun dibenarkan oleh hampir banyak orang di dunia, bahkan masyarakat Indonesia
itu sendiri.
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini memang memprihatinkan,
mengapa? Karena saat ini kita dapat melihat bahkan merasakan, bahwa cita-cita
pendidikan yang tertuang dalam tujuan pendidikan nasional, tidak dapat
terealisasi sampai saat ini. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang RI
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional BAB II Pasal 3, yang
berbunyi:
“Pendidikan
Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertrujuan
untuk berkembangnya peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung
jawab”.
Salah satu tugas pendidikan adalah menyiapkan sumber daya manusia untuk
pembangunan. Apa yang akan terjadi apabila pembangunan di Indonesia tidak
diimbangi dengan pembangunan dibidang pendidikan?. Sekalipun, pembangunan
fisiknya sangat baik, tetapi apa gunanya jika moral bangsa ini terpuruk. Dan
hal inilah yang terjadi saat ini, sehingga semua bidang kehidupan bermasalah.
Beberapa kenyataan yang sering kita temui bersama, seorang pengusah kaya raya justru tidak
menunjukkan sikap dermawan, seorang politikus justru tidak mempedulikan
tetangganya yang kelaparan, atau bahkan seorang guru yang tidak peduli, ketika
melihat anak-anak jalanan yang tidak mendapat kesempatan untuk mengenyam
pendidikan di sekolah dan masih banyaknya pemimpin-pemimpin bangsa ini yang
melakukan korupsi baik dari lapisan paling bawah hingga atas. Sangat memilukan
bukan?, sehingga jika saat ini kita biarkan maka lama kelamaan Negara dan
bangsa kita yang tercinta ini akan hancur. Oleh karena itu, sebagai langkah
awal untuk mencegah, pendidikan merupakan salah satu prioritas dalam melakukan
pembangunan negeri ini.
Dua
Paradigma Pendidikan
Ada
berbagai macam cara pandang dalam memandang pendidikan, dan didalamnya termasuk
cara pandang sosial-budaya. Paradigma sosial-budaya pendidikan yang berasal
dari sebuah disiplin antropologi masih belum terlalu dikenal secara luas di
Indonesia. Paradigma sosial-budaya yang memandang pendidikan sebagai suatu
proses transmisi pengetahuan, secara sistematik tidak dapat dipahami secara terpisah
dari totalitas sosialisme dan enkulturasi. Ada dua kata kunci dalam pernyataan
ini yakni sistematik dan tidak terpisah, hal ini memberi indikasi yang tegas,
bahwa perspektif ini menekankan analisis pada seperangkat unsur yang saling
tergantung satu
sama lain secara total sebagai suatu sistem.
Secara historis paradigma sistematik ini dibagi ke dalam dua tahapan, yaitu
paradigma struktural-fungsionalisme dan paradigma
prosesualisme. Pergeseran perspektif dari tahap pertama ke tahap kedua
sesungguhnya merupakan representasi kenyataan dalam suatu kelompok masyarakat,
yakni sebagaimana orang mengkonsepsikan dan mewujudkan perilaku pembelajaran
dalam masyarakat dari waktu ke waktu. Dalam sejarah pendidikan kita, pendidikan
dilihat sebagai sistem yang didominasi oleh pemikiran eropa pada abad ke
18 dan 19, yang selanjutnya diwarisi oleh tradisi pendidikan kolonial Hindia
Belanda dan pendidikan nasional masa kini.
Sistem pendidikan ini adalah sebuah cermin cara berpikir yang disebut
pertama, yankni paradigma truktural-fungsional. Perubahan cara berpikir
mengenai pendidikan, dimana manusia ditanggapi sebagai subjek yang aktif
menentukan “nasib” diri sendiri, mengembangkan paradigma prosesual yang mulai
banyak mempengaruhi paradigma sosial-budaya pendidikan pada akhir abad ke 20
yang lalu hingga sekarang. Oleh karena itu, marilah kita memulai untuk
melakukan pergeseran demi mendapatkan formula yang terbaik bagi pendidikan di
Indonesia.
Paradigma Struktural-Fungional
Pada
paradigma ini menempatkan pendidikan sebagai tataran linear, yang merupakan
komponen dari sebuah sistem yang lebih besar. Andaikan suatu sistem terdiri dari sepuluh komponen, maka pendidikan
akan mendapatkan porsi sepersepuluh dari system tersebut, yang tergantung pada
keberadaan dan fungsi dari sembilan persepuluh dari komponen yang ada.
Pandangan semacam ini membuat pendidikan sebagai sebagian kecil yang
tergantung pada, dan seringkali didominasi oleh sebagian besar komponen sistem yang lain. Kecenderungan berpikir secara struktural-fungsionalisme pada tingkat nasional mendorong
penyusun kebijakan dan pengambil keputusan pendidikan nasional untuk berpikir
secara seragam, artinya ada suatu kekuasaan yaitu kekuasaan Negara yang
berfungsi sentral untuk merancang blue
print, menyusun kurikulum, mempersiapkan tenaga pengajar, dan menyediakan
fasilitas pendidikan untuk semua bagian dan tingkatan diseluruh negeri.
Sebagai hasilnya adalah
suatu sistem yang stabil, seimbang, ”kuranng menyukai perubahan”. Premis dari
struktural-fungsionalisme sebagai berikut, pertama; masyarakat merupakan sebuah
sistem yang bekerja, kedua; sistem yang bekerja menuntut institusi-institusi
komponennya untuk memberikan sebuah kontribusi demi terpeliharanya sistem
tersebut, ketiga; sistem sosial yang bekerja menuntut seluruh anggota sistem
untuk dimotivasi dan dilatih untuk memfasilitasi fungsi sebuah sistem. Apabila
dicermati kebijakan nasional pendidikan kita nampaknya selama ini dirancang
berdasarkan premis pemikiran diatas. Kelebihan dari cara
berpikir struktural fungsional adalah transmisi
pengetahuan yang seragam dan merata diseluruh Indonesia, baik kurikulum, latar
belakang dan kualifikasi pengajar, serta metode mengajar, maupun buku-buku ajar
yang digunakan, sehingga dalam jangka panjang kesatuan nasional melalui sebuah
proses pendidikan dapat terpelihara.
Paradigma Prosesual
Paradigma prosesual adalah bentuk respon teoritis
terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Sebagaimana halnya
paradigma struktural-fungsionalisme mengenai pendidikan, dalam
pemikiran prosesual juga memandang pendidikan sebagai suatu sistem. Perbedaan dari dua paradigm tersebut adalah
bahwa paradigma ini menempatkan manusia sebagai sentral, sebagai makhluk yang
aktif, proaktif, dan bahkan manipulatif, dan mampu mengembangkan
strategi-strategi untuk menghadapi, dan bahkan dapat mengubah lingkungan dimana
dia berada, yang berbeda dari pandangan struktural-fungsionalisme yang memandang manusia sebagai
objek yang menjadikan lingkungan sebagai pedoman pokok untuk bertindak.
Menghadapi suatu perubahan, paradigma
stuktural-fungsional lebih suka menggunakan sebuah konsep adaptasi, karena adaptasi
berarti “manusia terserap dalam, dan menjadi bagian dari sistem”. Cara berpikir
secara prosesual menempatkan factor interaksi sebagai unsur penting. Dalam
melakukan interaksi tersebut, manusia berupaya agar bentuk dan kualitas
kehidupan berubah menjadi lebih baik. Seringkali juga terjadi perubahan yang
dilakukkan oleh manusia, seperti manusia yang berhasil mengubah hutan belantara
yang ganas, menjadi sebuah lingkungan yang nyaman. Akan tetapi, cukup banyak
juga kasus yang menunjukkan bahwa manusia menyesuaikan diri dengan tatanan
lingkungan yang sudah ada. Dari contoh ini menunjukkan dinamika manusia sebagai
makhluk yang aktif. Konsep adaptasi yang secara eksplisit mencerminkan adanya
batas-batas lingkungan yang tegas disatu pihak bergeser kepada konsep
modifikasi dan manipulasi serta batas-batas sistem lingkungan yang tidak tegas.
Dari
Struktural Funfsionalisme ke Prosesualisme
Sebuah kebijakan otonomisasi pendidikan, sebagai salah satu bagian
dari kebijakan otonomi daerah di Indonesia yang sudah dijalankan
semenjak belasan tahun yang lalu, telah menimbulkan dampak yang kompleks, tidak
sesederhana
mengubah paradigma teoritis diatas kertas.
Perubahan orientasi pendidikan dalam perspektif sosial budaya, andaikata
perubahan tersebut dijalankan konsisten dan berkesinambungan, mungkin akan
membutuhkan setidak-tidaknya satu atau dua generasi agar terwujud secara
signifikan.
Perubahan
paradigma pendidikan menuntut kesiapan kita untuk merubah dari satu ekstrim ke
ekstrim lain. Secara teoritis hal itu mungkin dapat dilihat sebagai
perubahan dari paradigma struktural-fungsionalisme ke paradigma
prosesual dalam mengatur dan mengelola pendidikan kita. Dengan menempatkan
pendidikan dalam hal ini secara spesifik yaitu sekolah sebagai sentral, kita
dapat mengidentifikasi persoalan-persoalan dan membangun model eksplanasinya
dengan melihat interaksi pendidikan melalui komponen-komponen (sistem) di
lingkungannya dalam konteks dinamik. Berbeda dari pendekatan sistematik
fungsional, pendekatan prosesual ini lebih menekankan kreativitas aktor,
dalam hal ini yaitu siswa dan guru, untuk menjauhi ciri-ciri pasif dan statis.
Pengetahuan yang diperoleh tersebut nantinya akan digunakan demi
mewujudkan perilaku untuk menghadapi lingkungan.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya,
kebijakan nasional pendidikan di
Indonesia selama kurang lebih 50 tahun merdeka didominasi oleh cara berpikir secara struktural-fungsionalisme. Akibatnya,
ketika terjadi perubahan besar di dunia seperti sekarang, khususnya ketika
manusia mulai disadarkan bahwa mereka adalah subjek dan seorang aktor yang
aktif serta berhak untuk menentukan nasib sendiri, kesadaran akan pendidikan
sebagai proses yang terikat dengan berkembangnya gagasan demokrasi ini pun
melanda dunia, termasuk Indonesia. Menigkatnya kesadaran antroposentrik ini
membangkitkan pentingnya manusia untuk mengenal kebutuhan dan potensionya
sendiri.
Kebijakan otonomi pendidikan yang
dicanangkan belasan tahun yang lalu merupakan respon terhadap gagasan demokrasi
tersebut. Dengan kata lain, telah terjadi pergeseran yang signifikan dari
filosofi struktural fungsional ke
prosesual yang anti statis. Sehingga, implikasinya adalah manusia secara aktif
akan mengevaluasi pengetahuan, dan aturan-aturan yang ada, merevisi atau bahkan
merombak yang dipandang tidak relevan dan membangun yang baru. Sebagai subjek, manusia adalah
pelantar (agent of change) yang
selalu berinisiatif dan cenderung melakukan perubahan kearah kemajuan demi
mencapai atau terwujudnya kehidupan yang lebih baik lagi.
Daftar
Pustaka
http://www.kompasiana.com/pendidikan-paradigma-struktural-fungsional prosesual.,
diakses 3 November 2015.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Saifuddin AF. “Kebijakan Otonomi Daerah: Otonomi
Pendidikan dalam Perspektif Sosial Budaya,” Antropology Indonesia. Indonesian
Journal of Sosial and Cultural Antropology, Th.XXVI, No. 65, Mei-Agustus, hlm
1-12:2001.
[1] Tulisan ini
mendapat Juara 1 Lomba Esai Nasional dengan tema ‘Memetakan Paradigma
Pendidikan di Indonesia’ yang diadakan oleh Universitas Pendidikan Ganesha
Singaraja Bali pada tanggal 23 November 2015.