“Guru Intelektual
Saya Adalah Spiritualitas,
Sedangkan Guru
Spiritualitas Saya Adalah Intelektualitas” (Gus Dur)
Nasihat Gus Dur diatas sangat erat kaitannya
dengan keseimbangn hidup. Sesuatu yang tidak berimbang maka akan menjadi
timpang, bila ada chek and
balance dalam sebuah
fenomena, maka akan menimbulkan keserasian. Di Indonesia jelas tidak kurang
orang yang pintar, tapi kenapa birokrasi pemerintahan sebagai sebuah bangsa
yang berdaulat masih belum melaksanakan mandat rakyat? Jawabannya ada pada
titik keseimbangan antara ilmu dan perilaku kita sebagai makhluk bernegara dan
makhluk beragama. Seperti perkataan Albert Einstain, bahwa ‘Agama Tanpa Ilmu
Pincang, Ilmu Tanpa Agama Buta’, artinya kalau salah satu saja yang dominan
maka tidak akan menemui titik keseimbangan.
Bila melihat dalam
panggung politik di Indonesia, maka akan banyak sekali kita melihat ketimpangan
itu. Terutama dalam sebuah kehidupan berpolitik kita akhir-akhir ini yang masih
jauh dari berpolitikan yang ideal. Dari pagi hingga malam, dari chanel satu hingga chanel yang lain akan penuh dengan
pemberitaan negatif tentang anggota DPR kita. Bila disebutkan, mungkin berita
dari ‘plesiran’nya keluar negeri, korupsi ‘jamaah’, ketiduran ketika sidang
sampai membuka link vedio porno dan masih masih banyak lagi semua tingkah para wakil kita yang tidak patut
dilakukan. Maka pertanyaan yang timbul dalam benak kita, mengapa mereka
menghianati ekspektasi konstituennya seperti ini? Lalu apa yang akan saya
lakukan seandainya menjadi anggota parlemen?
Posisi Amanah vs Komisi ‘Basah’
Semua manusia akan menjadi pemimpin, minimal untuk memimpin
dirinya sendiri. Terlebih lagi sebuah posisi yang diamanahkan oleh rakyat
kepada wakilnya di parlemen untuk memperjuangkan hak-haknnya. Mereka bagiakan
‘ikan’ segar ketika musim pemilu datang, tapi terlupakan ketika musim pemilu
hilang. Setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban, apakah sudah
memimpin sesuai amanah, ataukah tidak melaksanakan kewajibannya sebagai seorang
yang dipimpin yang hanya mementingkan ‘komisi basah’.
Seorang anggota parlemen adalah pemimpin
untuk kontstituennya, karena berkat suara itu, maka anggota parlemen bisa
melenggang ke Senayan. Bila dilihat, memang parlemen kita belum sempurna, tapi
apakah permasalahan parlemen kita tidak bisa diatasi? Kembali pada
masing-masing diri kita, maukah para anggota parlemen berubah demi kepentingan
yang lebih besar, yaitu bangsa dan negara. Tapi kenyataannya sekarang, banyak
wakil rakyat justru hanya membela kepentingan pribadi dan partainya dibanding
dengan kepentingan rakyat yang sudah memberikan sumbangan suaranya. Para
anggota parlemen yang mau berbuat baik pun akan menyerah karena tersisih dengan
kepentingan partai, seperti pepatah mengatakan bahwa sekumpulan batu keras diatas
gunung, masih ada batu apung yang lembut. Artinya meskipunpara anggota
parlemen mau berusaha mengutamakan kepentingan konstituennya, tetap mereka akan
mengikuti apa kata ketua partainya.
Bila dibandingkan dengan anggota parlemen
dulu dan sekarang memang sedikit berbeda. Pada masa dulu, keinginan kuat
seorang anggota untuk membangun bangsa dan negara sangat kuat dibandingkan
seperti sekarang yang berlomba membangun sebuah ‘rumah-rumah mewah’, jiwa
kenegarawan mereka lebih dikedepankan dibandingkan dengan jiwa politikusnya,
itulah sebabnya para anggota parlemen zaman dulu tidak mementingkan harta, yang
terpenting kemajuan bersama dengan berlandasakan jiwa nasionalisme dan
patriotime yang kuat. Pada masa sekarang, aliran-aliran hedonisme dan
matrealisme lebih banyak penganutnya, itulah sebabnya para koruptor banyak
ditemui pada anggota parlemen saat ini, kebiasan kongkalikong dan konspirasi
untuk menjatuhkan lawan politiknya sangat lumrah dan gampang sekali dilihat
layaknya ‘dagang sapi’.
Bagaimana dengan pendidikan mereka?
Apakah mereka dari kalangan terpelajar? Jawabanya mereka justru rata-rata
sangat berpendidikan, dari gelar sarjana sampai doktor hampir merata. Tapi
permasalahanya bukan tinggi rendahnya pendidikan formal mereka, tapi bagaimana
pendidikan mereka diimbangi dengan akhlak atau perilaku mereka. Pendidikan
tanpa diimbangi dengan moral karakter anggota akan sangat berbahaya, tapi tanpa
pendidikanpun juga lebih bahaya. Jadi pendidikan tinggi tidak bisa menjadi
tolak ukur utama kenerja anggota parlemen kita, namun akhlak dan karakter yang
kuat dengan ditunjang pendidikan yang mumpuni akan mengantarkan kita sebagai
sebuah bangsa besar dan dihormati oleh dunia.
Selain permasalahan diatas, kebebasan media
diera reformasi sekarang juga menjadi tekanan kuat kepada para anggota
parlemen. Setiap rapat diliput, setiap jalan-jalan direkam, setiap memberikan
statmen dicatat. Bahkan bila kita melihat media di TV nasional, akan sangat
gampang melihat gambaran-gambaran negatif yang ditemui. Kemudian, yang lebih
parah bahwa, masyarakat menelan mentah-mentah berita yang ditampilkan oleh
media tanpa melihat pemberitaan secara seimbang. Media tidak bisa melihat bahwa
mereka adalah manusia biasa. Kita selalu mengharapkan keadaan yang sangat
ideal, tapi sesuatu yang ideal tidak akan memuaskan semua orang. Seperti
pepatah bahwa tak ada gading
yang tak retak.
Memang membandingkan kinerja parlemen zaman dulu dan sekarang akan
seperti jauh panggang dari api.
Tetapi, bila membandingkan keduannya maka tidak bisa terlepas dari perbedaan
zaman dan perkembangannya. Kinerja anggota parlemen tetap bisa dipermasalahkan,
selama mereka memainkan ‘komis basah’, tanpa mementingkan posisinya yang
diberikan karena amanah dari konstituennya.
[Andai] Jadi DPR: Sinergitas Ilmu dan Laku
Kita semua merupakah pemimpin diri kita sendiri, itu sudah jadi
kesepakatan umum. Apalagi sebuah negara, pasti membutuhkan sosok pemimpin yang
dapat mengatur, mengendalikan, dan membawa negara yang dipimpinnya menjadi
negara yang berdaulat dalam segala bidang. Sebagai seorang yang diutus untuk
mewakili aspirasi konstituennya, maka selayaknya anggota parlemen harus menjadi
tokoh panutan bagi masyarakatnya.
Indonesia saat ini sangat membutuhkan
sosok-sosok pemimpin di parlemen, supaya menjadikan bangsa Indonesia menjadi
negara yang disegani dan bermartabat bagi bangsa lain di dunia. Para anggota
parlemen, harus benar-benar mengabdikan diri pada rakyatnya seperti para
anggota parlemen zaman dulu, tidak sekedar basa-basi yang tanpa implementasi
nyata. Dari beberapa pemimpin-pemimpin tinggi di Indonesia tentu memiliki visi
dan misi untuk memajukan bangsa dan negara, tapi sedikit sekali yang
benar-benar mengimplementasikan visi dan misinya dengan tanggung jawab dan
sikap yang nyata.
Tentu tantangan dan tugas sebagai anggota
dewan tidaklah mudah, kenapa? Disamping tugas mereka yang seabreg dan tanggung jawab yang besar maka
untuk menjadi seorang (jika menjadi) anggota parlemen tentu akan mensinergikan
ilmu yang dimiliki dengan perilaku yang baik (dalam hal ini berkaitan dengan
spritiualitas). Untuk mensinergikan antara ilmu dan perilaku, maka apabila
menjadi anggota parlemen saya akan melakukan sinergi antara ilmu dan laku.
Berkaitan dengan ilmu, tentu untuk
mempunyai ilmu harus mencari dimanapun, kapanpun dan dengan siapapun, baik
formal maupun informal. Ilmu yang dimaksud tentu berkaitan dengan tata negara
dan kelola sebuah negara. Cita-cita saya menjadi pejabat publik, tentu sebagai
pejabat publik, akan memegang teguh empat pilar bangsa, yaitu NKRI, Bhineka Tungal Ika, UUD 45 dan
Pancasila, terlebih dengan ideologi pancasila yang sudah dibangun oleh founding father kita dulu. Karena pancasila sebagai
ideologi bangsa kita sekarang hanya bertengger menjadi sekedar formalitas
semata. Dan untuk terus menerus menuntun pribadi dan karakter bangsa ini menuju
pada negara maju maka harus bercermin pada sila-sila dari pancasila. Itu
sebagai tantangan saya sebagai seorang yang bercita-cita sebagai pejabat publik.
Selain ilmu yang harus dikuasai sebagai
anggota parlemen, juga harus mengedepankan perilaku dengan berlandaskan agama
dan kepercayaan masing-masing. Setiap agama memerintahkan perbutan-perbuatan
terpuji seperti jujur, amanah, bertanggung jawab dan menepati janji-janji. Hal
itu memang sulit, tetapi bukan tidak mungkin dilakukan selama kita
bersungguh-sungguh untuk menerapkan sifat-sifat terpuji itu dalam dunia perpolitikan.
Dengan membangun politik yang konstruktif, maka segala perbedaan dan pro-kontra
disana-sini tidak menyebabkan menjadi alat untuk menjatuhkan lawan politiknya.
Segala perbedaan itu justru menjadi pertimbangan dan memperkaya
kebijakan-kebijakan yang nanti akan diputuskan.
Masih berkaitan dengan perilaku sebagai
anggota parlemen, maka saya akan bersikap obyektif dalam berprilaku dan tidak
berlaku secara egois dan subyektif dalam menjalankan amanah. Hal ini karena
kita harus menyadari bahwa kita merupakan bangsa yang besar dengan jumlah
penduduk juga banyak yang terdiri dari beribu-ribu pulau dan beratus-ratus
suku, berbagai agama, dan budaya.
Menuju Parlemen Modern
Membentuk sebuah parlemen yang modern dan ideal tentunya tidak
semudah membalikan telapak tangan karena pada dasarnya tidak ada manusia yang
sempurna. Apalagi ini berkaitan dengan ‘perang’ hati, yang sesungguhnya sangat
sulit untuk dilihat digedung DPR. Disana lah tempat pertarungan sengit antara
hati yang bersih dan hati yang ‘kotor’. Kalau mereka mau bertahan dan
mempertahankan hati bersih mereka, maka anggota parlemen inilah yang bisa
dikatakan sebagai anggota parlemen yang ideal. Tapi, pada prinsipnya semua hal
yang memang baik harus dicoba untuk dapat menyelamatkan bangsa dan menuju
parlemen yang modern.
Kita sepakat bersama, bahwa untuk
mewujudkan sebuah parlemen yang modern dan sehat maka perlu adanya ‘reformasi’
bahkan ‘revolusi’ besar-besaran dan menyeluruh tidak hanya dari anggota
parlemen khususnya tapi juga pada sistem yang sudah ada. Bangsa kita yang sudah
merdeka selama 70 tahun sejak kemerdekaan seharunya telah cukup memberikan
tanda-tanda perubahan parlemen untuk menuju kedalam parlemen yang modern dan
kearah yang lebih baik. Ada beberapa perubahan yang menurut penulis harus
dilakukan untuk anggota parlemen menuju parlemen modern, yaitu:
Pertama,
membuat peraturan yang terkait dengan kedisiplinan anggota parlemen dengan
lebih diperketat lagi sehingga anggota yang tidak disiplin harus ditindak
secara tegas, kedua, perbaiki sistem pemilihan anggota
parlemen, karena tidak memberikan kesempatan kepada anggota non-partai. Sebab
dengan sistem partai saat ini dirasa sangat terlihat segala sesuatu kebijakan
bersifat subyektif. Anggota DPR seakan dibayang-bayangi kepentingan partai dan
terkait dengan politik balas budi dari partai pengusungnya. Ketiga, penempatan anggota DPR
dengan dasar the right man in
the right place, artinya menempatkan orang pada posisinya berdasarkan
kompetansinya bukan karena kongkalikong dan kepentingan-kepentingan politik
‘kotor’. Serta yang keempat,
mengawasi secara ketat kekayaan anggota parlemen dari sebelum dan sesudah
menjabat, apakah harta kekayaanya sesudah menjabat rasional atau irasional.
Meskipun persepsi dan paradigma tentang
parlemen dimasyarakat tentang segala sesuatu berbau negatif, tetapi perubahan
itu harus dilaksanakan. Karena untuk menjadikan negara ini menjadi negara yang
besar, maka diperlukan parlemen yang modern dengan anggota yang berlandaskan
dengan ilmu yang mumpuni dan perilaku yang terpuji. Sebagai generasi muda, saya
yakin akan perubahan itu...
Dikutkan dalam Parlemen Modern 2015