“Beri aku 1.000
orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya,
Beri aku 10
Pemuda yang membara cinta pada Tanah Airnya,
niscaya akan aku
guncangkan dunia.”
-Ir. Soekarno-
Ketika
kita membaca sebuah kutipan diatas, mungkin yang akan muncul dalam benak kita
adalah itu hanyalah sebuah kalimat yang sederhana, tetapi perlu di ketahui
bahwa di dalam kalimat sederhana tersebut terkandung makna yang sangat dalam
bagi kaum muda. Bagaimana kalimat tersebut membuktikan bahwa pemuda merupakan
aset yang sangat berharga bagi suatu bangsa. Kalimat yang diucapkan oleh
Presiden pertama Replubik Indonesia Ir. Soekarno tersebut menggambarkan peranan
pemuda sebagai pioner masa depan suatu bangsa, supaya tetap bisa berdiri dengan
tegak. Oleh karena itu, kehidupan dan kesuksesan suatu bangsa bergantung pada
kuat atau tidaknya pemuda yang akan menjadi pilar serta tulang punggung negeri
ini. Kita bisa bayangkan bagaimana ketika sebuah rumah pilarnya roboh atau
rusak maka rumah itu pun dapat di pastikan akan suatu saat akan hancur, begitu
juga suatu bangsa dan negara apabila pemudanya yang menjadi pilar rusak, maka
dapat di pastikan bahwa bangsa tersebut akan segera hancur. Kemudian yang
menjadi pertanyaan adalah apakah para pilar-pilar bangsa Indonesia ini sudah
kokoh?
Seperti
yang kita ketahui rasa nasionalisme merupakan salah satu dasar yang harus dipertahankan
untuk menjaga suatu bangsa tetap berdiri kokoh. Selain itu, dengan semangat
nasionalisme yang kuat maka akan menjaga eksistensi suatu negara agar selalu
terhindar dari semua ancaman, baik ancaman yang datang dari dalam maupun dari
luar. Apakah pemuda kita sudah memiliki dasar nasionalisme yang kuat? Karena
nasionalisme merupakan pondasi utama berdirinya bangsa ini.
R Realita
Kaum Muda Kita
Pemuda
adalah sekelompok remaja menuju dewasa yang “katanya” memiliki darah muda. Katanya
juga, darah muda yang ada dalam generasi muda merupakan cikal bakal lahirnya pemimpin
dan juga penyelamat suatu bangsa. Namun, semua itu sekarang hanya menjadi
sebuah harapan bukan sebuah kenyataan yang ada dalam generasi muda kita saat
ini. Hal ini bisa di lihat dari perbedaan karakter dua generasi bangsa ini,
pemuda zaman dahulu mau berjuang dengan mengorbankan segalanya, selain itu
tidak sedikit pula para pemuda yang jadi korban perjuangan, tetapi mereka terus
berjuang dan bersatu menuntut perubahan. Tapi lihatlah sekarang, banyak sekali
mahasiswa yang melakukan demonstrasi, tapi apakah membawa sebuah perubahan?
Terkadang justru hanya membuat kerusakan dan membuat kemelut saja. Sekarang
justru yang muncul bukalah prestasi yang dapat dibanggakan, tapi hanya berbagai
hal menyimpang, seperti radikalisme, seks bebas, dan narkoba. Hal yang lebih
ironis lagi adalah saat ini pemuda banyak yang menjadi mangsa “empuk” bagi
budaya-budaya asing yang sampai saat ini terus “menghantam” Indonesia.
Sekarang
justru muncul sebuah tema baru yang digunakan untuk menggantikan perjuangan
zaman dahulu yaitu pacaran, yang justru hanya akan menghambat gerak para
pemuda. Karena, pelajar yang seharusnya fokus untuk belajar justru banyak
menyalahgunakan kesempatan untuk bersenang-bersenang, coba kita bandingkan
bagaimana pemuda zaman dulu menggunakan fasilitas apapun untuk belajar, sangat
kontras dengan para pelajar sekarang yang hidup dalam fasilitas serba ada dan
serba modern justru hanya menjadikan para pelajar terlena dengan kecanggihan
teknologi saat ini, yang kebanyakan teknologi tersebut hanya disalahgunakan.
Salah satu contoh korban teknologi adalah para pemuda yang memiliki gaya hidup
“alay”, yang ada dalam pikirannya ialah hanya bersenang-senang tanpa memikirkan
masa depannya sendiri, kalau sudah begini bagaimana para pilar-pilar bangsa ini
akan memikirkan masa depan bangsanya? Masa depannya sendiri saja tidak
dipikirkan.
Data
yang lebih memperihatinkan fakta tersebut adalah hasil survey Komisi Nasional
Perlindungan Anak pada tahun 2012 di 17 kota besar di Indonesia dengan jumlah
responden 4700 remaja siswi pada jenjang pendidikan SMP hingga SMA. Survey ini
membuat masyarakat semakin tercengang mengetahui hasilnya, menurut survey
tersebut bahwa 62,7 % remaja SMP/SMA mengaku sudah tidak perawan, yang lebih
mencengangkan adalah 21,2 % dari siswi-siswi tersebut mengakui telah
menggugurkan kandungannya secara ilegal. Kondisi seperti ini pastinya membuat
kita semakin perihatin dengan generasi penerus bangsa ini. Tetapi, meskipun
demikian kita tidak boleh pesimis, kita harus tetap optimis dan percaya bahwa
masih banyak kaum muda yang baik dan berpotensi untuk menjadi calon pemimpin
bangsa.
Historia Vitae Magistra:
Belajar dari “Kaca Spion” Pemuda
Generasi
muda merupakan salah satu aset berharga yang dimiliki oleh suatu bangsa untuk
menatap masa depan yang lebih baik. Begitu juga generasi muda bangsa Indonesia
yang menjadi aset berharga bagi bangsa ini. Oleh karenanya, bangsa ini harus
pandai mempersiapkan generasi muda saat ini untuk menjadi pemimpin-pemimpin
dimasa yang akan datang.
Perjalanan
bangsa Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perjuangan yang bergelora para kaum
muda. Terkadang pemuda memiliki idealisme yang dipegang kuat ketika mereka
menjadi pelajar atau mahasiswa, dengan usia yang terbilang muda menjadikan
nilai intelektualisme sebagai tonggak pengabdian tanpa pamrih dan tanpa
embel-embel apapun, demi berjuang membela bangsa dan negara. Meskipun kita
ketahui mereka semua berasal dari latar belakang yang berbeda seperti,
perbedaan suku, agama, ras, golongan, bahkan ideologi yang berbeda, semua
mereka kesampingkan dan bersatu untuk mewujudkan cita-cita mulia, yaitu
kemerdekaan Indonesia.
Perjungan
para pemuda sudah tercatat sebagai tinta emas perjalanan bangsa Indonesia.
Perjuangan para pemuda dapat di kelompokan kedalam beberapa tahap, hampir
disetiap tahap tersebut ada sosok pemuda sebagai lokomotif dan garda terdepan
perjuangan bangsa Indonesia. Salah satunya adalah tahap untuk meneguhkan
identitas diri pada tahun 1925-1944. Berikut ini penulis akan menjelaskan
secara singkat peranan pemuda dalam perjalanan bangsa Indonesia, terutama dalam
tahap meneguhkan identitas diri.
Tahap
meneguhkan identitas diri yang terjadi dalam rentan tahun 1925-1944, tahap ini
lebih memantapkan untuk mencapai sebuah negara yang berdaulat. Para pemuda
bertekad untuk melepaskan diri dari pemerintahan kolonial dan memiliki
pemerintahan yang berdaulat sendiri. Perjuangan melalui organisasi tidak hanya
terjadi di dalam negeri saja, perjuangan untuk meraih kemerdekaan juga
dilakukan di luar negeri. Dalam perjalanannya, sejarah telah membuktikan bahwa
perhimpunan Indonesia (Indische Vereeninging) di Belanda yang didirikan oleh para
pelajar beserta Mahasiswa pada tahun 1908, kemudian dijadikan sebagai wadah
bagi perjuangan para pemuda. Pada saat usia 24 tahun, Mohammad Hatta diangkat menjadi
ketua dan sekaligus sebagai ketua
terlama antara 1926-1930, dalam rentan waktu tersebut, justru pertama kali
diikrarkan apa yang sekarang kita kenal sebagai Manifesto Politik, mencakup
persatuan (unity), kemerdekaan (liberty), dan persamaan (egality). Selain itu, mereka berjuang
di negeri orang tersebut dengan cara menggunakan media untuk menuangkan “coretan-coretan pena” di majalah
Indonesia merdeka, yang didalamnya berisi opini-opini perjuangan dalam rangka
mencapai sebuah kemerdekaan, bebas serta mandiri tanpa bergantung pada campur
tangan negara lain.
Perjuangan
melalui organisasi pergerakan akhirnya mencapai puncaknya yakni ketika diadakan
kongres pemuda II atau yang kita kenal dengan sumpah pemuda pada 28 Oktober
1928 yang diprakarsai oleh Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia. Banyak sekali
tokoh-tokoh yang ikut berperan sebagai
penggerak untuk mengadakan kongres tersebut, salah satunya adalah Moh. Yamin yang
memiliki jabatan sebagai sekretaris dan salah satu “aktor” yang berperan serta merumuskan bunyi ikrar atau keputusan
yang dihasilkan pada saat kongres tersebut, yang berbunyi bertumpah darah,
berbangsa dan berbahasa satu, Indonesia. Ketika Mohammad Yamin ikut serta dalam
kongres pemuda II tersebut usianya baru 25 tahun, tetapi sudah banyak buah pikirannya
dalam bidang sejarah yang sampai saat ini masih menjadi rujukan, ada juga yang
menyebut karya-karyanya sebagai “pencipta imaji Indonesia”.
Pada
rentan waktu 1942-1945, ketika itu jepang mengambil alih wilayah kekuasaan
Belanda. Pada saat Jepang pertama kali menginjakkan kakinya di Indonesia,
masyarakat Indonesia menganggap Jepang sebagai “Saudara Tua”, Jepang memberikan banyak janji-janji untuk mencapai
kemerdekaan di kemudian hari dengan syarat Indonesia mau memberikan bantuan
kepada Jepang dalam Perang Dunia II. Tetapi, tidak banyak organisasi yang mampu
“hidup” di masa kolonialisme Jepang, hal ini dikarenakan semua organisasi dan
partai yang ada sebelumnya dibubarkan. Sementara itu, Jepang mendirikan pasukan-pasukan
yang sebenarnya dimanfaatkan untuk mem back
up tentara-tentara Jepang. Organisasi bentukan Jepang antara lain, Heiho (sebagai pembantu prajurit
jepang), Seinendan (barisan pemuda),
Keibondan (sebagai pembantu polisi), Peta (Pembela Tanah Air) dan masih banyak
lainnya, dari organisasi-organisasi tersebut, rata-rata anggotanya berumur
antara 18-30 tahun. Namun, dari pasukan-pasukan inilah yang pada nantinya akan
menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI). Banyak tokoh-tokoh
militer yang akan menjadi penentu pemimpin bangsa Indonesia, seperti Soedirma,
A.H Nasution, Soeharto dan masih banyak lagi.
Uraian
singkat tersebut tampaknya sedikit menggambarkan bahwa pemuda memang penentu
masa depan suatu bangsa. Bagaimana pemuda zaman dahulu berjuang terus untuk
mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Mereka menempatkan kepentingan bangsanya di
atas kepentingannya sendiri. “Kaca Spion” pemuda telah mengajarkan pada kita
bahwa generasi muda mampu membawa sebuah perubahan yang besar pada
keberlangsungan dan kejayaan bangsanya.
Orang
yang bijak adalah orang yang mampu belajar dari pengalaman, sedangkan bangsa
yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah bangsanya. Dapat
diibaratkan sebuah kaca spion pada kendaraan bermotor, sebuah benda yang bisa
dikatakan kecil tapi memiliki manfaat yang besar. Karena ketika kendaraan
bermotor tidak ada kaca spionnya pasti akan menyebabkan “kekacauan” bahkan bisa
terjadi kecelakaan. Begitu juga sebaliknya, ketika berkendara tidak harus
melihat ke kaca spion terus, karena itu juga berbahaya, tetapi semua itu harus
seiring-seirama dan saling melengkapi. Pandangan kita menatap kedepan, tetapi
kita harus melihat ke belakang sejenak supaya (aman). Sama halnya dengan perjalanan hidup berbangsa
dan bernegara, kita harus berjalan untuk menatap optomisme masa depan yang
gemilang, dengan selalu belajar dari sejarah bangsa kita ini. Seperti yang
dikatakan oleh orang Yunani bahwa sejarah merupakan guru kehidupan (Historia Vitae Magistra), dan yang
terpenting adalah bukan hanya “bagaimana belajar sejarah” melainkan “bagaimana
belajar dari sejarah itu sendiri”. Kita belajar sejarah untuk menjalani hari
ini dan juga sekaligus untuk mempersiapkan masa depan yang lebih gemilang lagi.
Oleh karena itu, di perlukan sebuah strategi yang keberlangsungannya berjangka panjang
dan pastinya optimal. Menyongsong kembali melalui penanaman nilai-nilai
nasionalisme yang sudah mulai “luntur”
dan juga merupakan solusi dari keterpurukan bangsa ini melalui
pendidikan Sejarah bangsa. Oleh karena
itu, seperti yang disamapaikan oleh Presiden Soekarno dengan Jas Merahnya,
“Jangan sekali-kali melupakan sejarah”, dimana para pemuda harus belajar dari
sejarah. Sehingga nantinya pemuda bisa membawa diri dan pastinya bisa
menentukan arah perjalanan bangsa Indonesia di masa mendatang.
Pendidikan Sebagai
Vektor Perubahan
Apabila suatu bangsa mengalami
keterpurukan, maka tidak ada pihak yang paling bertanggung jawab kecuali
perguruan tinggi yang telah mendidik para pemikir dan pemimpin bangsanya.
Pendidikan
adalah suatu hal yang sangat penting dalam tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa
dan negara ini, semua itu di dasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Pendidikan
merupakan salah satu bentuk usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar serta proses pembelajaran sehingga membuat peserta didik secara aktif
akan mengembangkan potensi yang ada pada dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta ketrampilan yang diperlukan masyarakat, bangsa dan negara.
Pencapaian tujuan bangsa Indonesia yang
dituangkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah tugas serta
kewajiban seluruh warga negara Republik Indonesia. Dengan tanggung jawab dan
keikutsertaan warga negara dalam mencapai tujuan tersebut merupakan wujud
nasionalisme dalam bentuk kesadaran hidup berbangsa dan bernegara, cinta kepada
tanah air, memiliki keyakinan terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila sebagai ideologi, falsafah sekaligus dasar negara, kerelaan untuk
berkorban bagi bangsa dan negara, dan merupakan bentuk kemampuan awal untuk
melakukan bela negara.
Indonesia
adalah sebuah negara yang majemuk dan beranekaragam, entah itu kebudayaannya
ataupun masyarakatnya. Keanekaragaman ini merupakan suatu pedoman dan paham
yang sangat cocok dengan karakter kemajemukan itu sendiri. Sementara itu, paham
yang dirasakan sangat cocok dengan kemajemukan ini adalah konsep kebangsaan yakni
nasionalisme.
Nili-nilai nasionalisme terkadang dikaitkan
dengan dunia pendidikan, karena untuk memaknai penanaman sebuah nilai-nilai
tersebut pasti diperlukan suatu upaya dari masyarakat Indonesia sendiri untuk
berperilaku yang mengarah pada nilai-nilai Pancasila.
Berdasarkan dari cita-cita luhur yang
dimiliki oleh Indonesia, maka untuk mengisi dan
meneruskan kemerdekaan, sangat diperlukan generasi yang memiliki jiwa
nasionalisme tinggi dan kuat. Oleh karena itu, untuk mewujudkannya tidaklah
harus tampak dimata orang lain melainkan bisa dimulai dari hal-hal yang paling
sederhana sampai pada hal-hal yang lebih kompleks. Contoh dari hal yang
sederhana dalam rangka penerapan nasionalisme dalam dunia pendidikan antara
lain yaitu keikutsertaan para peserta didik dalam mengikuti kegiatan-kegiatan seperti,
upacara bendera, menyanyikan lagu Indonesia Raya setiap pagi, melalui kegiatan
ekstrakurikuler yang bertujuan menguatkan rasa cinta tanah air, dan masih
banyak lagi cara penerapan yang dapat dilakukan oleh instansi pendidikan.
Oleh karena itu, pemerintah harus
memanfaatkan jalur pendidikan di sekolah-sekolah yang memang ampuh sebagai
vektor perubahan bangsa. Hal ini karena pemuda adalah agen dari perubahan
bangsa. Begitu juga sekolah yang merupakan salah satu agen pembentuk karakter
pemuda, calon pemimpin suatu negara di masa depan dan pemegang “kunci”
keberhasilan negeri ini. Pemuda harus memiliki karakter jiwa nasionalisme yang
kuat sehingga tujuan dan cita-cita negeri ini bisa tercapai. Pendidikan di
sekolahlah sebagai salah satu strategi untuk menciptakan generasi muda yang
memiliki jiwa nasionalisme yang kuat.
Oleh karena itu penulis mengajak pada para
pemuda Indonesia, di tengah-tengah zaman globalisasi ini serta gejolak
penurunan harga diri dari para pemimpin-pemimpin bangsa yang sudah terjangkit
“virus” korupsi, sehingga harapan untuk perubahan dan perbaikan masa depan
bangsa tetap terjaga dan masih ada. Para pemudalah sebagai tokoh utama yang
akan menjadi pemimpin bangsa ini, karena jika pemuda tidak mau mengambil
perannya dalam kepimpinan bangsa, maka dapat dipastikan beberapa puluh,
beberapa ratus tahun kedepan, bangsa Indonesia akan hancur! Tetapi, semoga
tidak akan terjadi hal seperti itu, kita masih bisa mencontoh para pendiri
bangsa ini, karena pemuda pemimpin perubahan dan menciptakan peradaban. Sebagai
generasi muda yang memiliki kemampuan dan juga kemauan kuat untuk memberikan
solusi dan tindakan nyata yang progres, sekarang saatnya para generasi muda
membuktikan komitmennya kepada negeri ini dengan jalan pengabdian dan bukti
karya nyata. Sudah saatnya bangkit para calon pemimpin bangsa ini dan membawa
Indonesia meraih kejayaannya.
50 Besar Essay terbaik tingkat Nasional dari UGM
Daftar Pustaka
Herisdiana,.
(2014, 29, Oktober). “Pemuda Masa Kini”.(Kompasiana). Tersedia: http: //www.kompasiana.com/herisdiana/pemuda-masa-kini,
diakses 27 Agustus 2015
Undang-Undang
No. 20 Tahun Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Lembaga Informasi
Nasional
Saefudin,
A. (2013). “Pemuda: Penentu Masa Depan Bangsa”. Essay 10 finalis terbaik di
UNES