“Kita
tidak bisa kuat, sentosa, dan sejahtera
selama
kita tidak kembali menjadi bangsa bahari seperti masa dahulu.”[1]
(Ir. Soekarno)
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar
di dunia dengan jumlah 17.504 pulau, dilintasi garis khatulistiwa dan terletak
di antara dua samudera. Indonesia memiliki luas teritorial 284.210,90 Km² dan
luas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) 2.981.211 Km² atau sekitar 70% dari luas
wilayah Indonesia, sedangkan daratan seluas kurang lebih 1.910.931,32 Km².
Garis pantai Indonesia merupakan yang terpanjang kedua di dunia dengan panjang
sekitar 104.000 Km².[2] Bahkan jarak wilayah Indonesia dari Barat ke Timur
lebih panjang daripada jarak Ingris ke Rusia. Maka suatu keniscayaan bahwa
bangsa Indonesia adalah sebuah negera dengan ciri-ciri maritim.
Setelah sekian lama kita mengacuhkan potensi di depan mata, saat ini pemerintah
sedang berusaha “menghidupkan” kembali budaya maritim yang sudah lama “tertidur
pulas”. Usaha ini merupakan salah satu pendorong utama bagi Indonesia agar
dapat berperan menjadi “pemain” penting dalam pergaulan bangsa-bangsa di dunia,
sehingga dapat menyumbangkan keunggulan laut yang dimilikinya untuk kepentingan
global. Begitu kayanya potensi maritim negara Indonesia, sehinggga tidak
mengherankan ada sanjungan bahwa “Tuhan sangat sayang pada Indonesia”. Oleh
karena itu, kita sebagai orang Indonesia (minimal) harus bangga dan bersyukur
karena mempunyai wilayah dan potensi maritim yang jarang dimilki oleh negara
lain di dunia.
Sebagai sebuah negara
kepulauan, sudah sepantasnya seluruh aspek kehidupan bernegara perlu mempertimbangkan
strategi politik, sosial budaya serta ekonomi sebagai negara kepulauan. Mindseet yang telah berkembang sejak
lama bahwa segala aspek kehidupan dilakukan di darat harus kita “revolusi”,
sehingga anugrah Tuhan tidak menjadi hal yang mubazir. Kita semua sepakat kalau
perjuangan para founding fathers
untuk menyatukan wilayah Indonesia tidaklah mudah, penuh dengan tetesan air
mata, darah dan keringat. Kalau begitu, kenapa kita harus malu sebentar
menengok ke “kaca spion”? Bukankah
negara yang besar adalah negara yang belajar dari “kaca spionnya”? dan
apakah Indonesia ke depan sudah sanggup untuk memanfaatkan segala potensi yang
ada sehinggga bisa menjadi poros maritim dunia?
Realita Maritim Kita:
Nelayan yang Nelangsa?
Untuk mencapai sebuah tujuan, diperlukan
pengorbanan dan tindakan yang nyata. Tindakan nyata yang paling
penting dari mencapai sebuah tujuan adalah menentukan tujuan itu sendiri.
Saat ini, Indonesia sudah memiliki pemerintahan yang sangat mendukung program
menjadi sebuah negara poros maritim dunia. Untuk merealisasikan hal tersebut,
semua lapisan masyarakat dan pemerintah harus bergerak “senada dan seirama”. Meskipun
dalam prosesnya butuh perjuangan, justru itu tantangan, malah kita akan
“berdosa” kalau berdiam diri.
Indonesia bisa memanfaatkan perubahan geoekonomi di dunia saat ini. Salah
satu contoh pergeseran kekuatan geoekonomi adalah pergeseran ekonomi dunia dari
poros Atlantik ke Asia-Pasifik. Sekitar 70% perdagangan dunia berlangsung di kawasan
Asia-Pasifik. Sekitar 75% dari produk dan komoditas yang diperdagangkan
ditransportasikan melalui laut, dan 45% nya (US$
1500 trilyun pertahun) di antaranya melalui alur laut kepulauan Indonesia.[3]
Karena Indonesia secara geoekonomi paling strategis, maka seharusnya Indonesia
yang mendapatkan keuntungan paling besar dari arus perdagangan global tersebut.
Selama ini, justru Singapura, Hongkong, Jepang dan Republik Rakyat Tiongkok
yang memetik banyak keuntungan.
Selain masalah pergeseran kekuatan geoekonomi di atas, Indonesia
memiliki berbagai kelemahan dalam hal batas-batas wilayah. Sehingga friksi perbatasan
laut menjadi rawan konflik dan sengketa dengan negara-negara lain, terutama
dengan Malaysia, Singapura, dan Australia. Hal ini juga bersinggungan dengan
faktor keamanan laut, illegal fishing
(pencurian ikan), pelanggaran batas, dan tindak kriminalitas kelautan lainnya.
Data statistik menunjukan kerugian sekitar US$ ½
(setengah) milyar sampai US$ 4 milyar per
tahun akibat illegal fishing oleh kapal-kapal
asing.[4]
Persoalan ini masih ditambah dengan aspek kesejahteraan hidup kelautan yang
jauh dari kategori ideal. Dalam hal ini mengacu pada nelayan yang menjadi “ujung
tombak” di lautan, mereka tidak menikmati secara maksimal potensi kelautan yang
luar biasa besar di depan “mata”nya.
Para pakar ekonomi sumberdaya melihat kemiskinan nelayan lebih banyak
disebabkan karena faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait karakterisitik
sumberdaya serta teknologi yang digunakan. Salah satu contoh, nelayan yang
berada di sekitar daerah penulis yaitu di Cilacap sendiri banyak yang hidup di bawah
garis kemiskinan. Salah satu nelayan yang penulis temui[5]
mengatakan kalau jukung[6]
yang biasa mereka gunakan untuk menangkap ikan bukan milik mereka sendiri, tapi
milik para juragannya. Mereka tidak sanggup membeli jukung sendiri karena harganya yang paling murah saja sekitar Rp.
15.000.000,-, belum lagi untuk membeli mesin tempelnya yang berharga sama
dengan harga jukung nya, dan jaring
serta peralatan lainnya.
Pola
hubungan patron-klien memungkinkan
mereka berhutang dalam kondisi tertentu, dan digunakan pada tujuan yang bervariasi,
semisal membeli suatu barang berharga di rumah. Sehingga tidak heran jika
umumnya nelayan “berenang” dalam “kubangan” hutang. Sebetulnya penghasilan
maksimal yang didapat cukup besar sekitar Rp. 200.000,- sampai Rp. 250.000,-
per hari, tapi jumlah yang masuk ke kantong mereka sekitar Rp. 50.000,- karena
harus dipotong untuk biaya pembelian BBM dan setor ke juragannya. Pendapatan sebesar itu terjadi ketika kondisi
cuaca sedang memasuki angin timur yang berarti sedang panen ikan, kalau kondisinya
sebaliknya mereka tidak melaut.[7]
Otomatis pada angin barat mereka tidak mempunyai penghasilan.
Tetapi anehnya para nelayan tidak merasa “miskin”, mereka puas dengan
tangkapan-tangkapan ikan yang menurut mereka apa anane[8].
Mereka sudah kuat menghadapi tantangan dan kerasnya hidup. Para nelayan masih
menggunakan kata ajaib “allhamdullilah”
dan “cukup” yang sering menjadi pijakan hidupnya. Mereka tidak suka mengeluh,
meski tangkapan ikannya kadang turun dan kadang naik, tergantung ombak dan
cuaca. Karena hal tersebut, meskipun menurut pandangan orang lain nelayan hidup
dalam lingkaran “setan” kemiskinan, tapi bagi nelayan sendiri bukanlah suatu
kemiskinan dan mereka merasa bahagia dengan kehidupan yang mereka jalani. Pertanyaan
bagi kita, apa para nelayan sampai sekarang masih nelangsa? yang pasti mereka butuh rupiah yang berkah setiap hari.
Kalau bukan lewat bahari, mereka mau mengandalkan apa lagi?
Historia Vitae Magistra: Belajar dari “Negara” Tradisional
Kita semua pasti pernah mendengar bait
lagu seperti ini “nenek moyangku orang
pelaut, gemar mengarung luas samudra, menerjang ombak tiada takut, menempuh badai sudah biasa”, bait lagu ini mengindikasikan bahwa kita merupakan
turunan dari nenek moyang pelaut dan dulu pernah berjaya di lautan, dibuktikan
dengan berdirinya “negara-negara” (baca: kerajaan) besar tradisional yang mampu
membuat kita takjub dan bangga. Kerajaan-kerajaan tradisional yang sudah memiliki
posisi penting dalam jalur perdagangan internasional diantaranya adalah
Kerajaan Sriwijaya, Singasari dan Majapahit.
Para sejarawan telah mengakui Sriwijaya sebagai kerajaan maritim
terbesar di Asia Tenggara pada kurun waktu abad ke-7 sampai abad ke-12. Salah satu kunci keberhasilan Sriwijaya
menjadi kerajaan maritim terbesar adalah kebijakan yang dilakukan untuk mengolah
segala sumber daya di dalam Sriwijaya. Dalam hal ini, Sriwijaya mengambil sikap
aktif untuk memanfaatkan letak geografis yang strategis, artinya Sriwijaya
tidak hanya menunggu para pedagang asing datang menjual dan membeli barang,
tetapi dalam perkembanganya Sriwijaya menjadi "pemain" yang
menentukan dan sebagai pedagang yang ulung.[9]
Berkembangnya Sriwijaya menjadi kekuatan maritim saat itu dipengaruhi
oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal dalam hal ini adalah
kekuatan Sriwijaya dalam mengontrol saingan pelabuhan-pelabuhan sekitarnya,
angkatan perang yang mumpuni menjadikan Sriwijaya disegani oleh saingan
politiknya, dan kondusifitas yang terjaga menjadikan para pedagang tidak segan
untuk berlabuh ke Sriwijaya. Hal itu dibuktikan dengan dikuasainya perdagangan
Selat Malaka, padahal ibu kotanya terletak jauh, yaitu di kota Palembang. Kemudian faktor eksternalnya antara lain,
hubungan diplomatik internasional yang terjaga dengan baik kepada dua “kekuatan
super” waktu itu, yaitu Cina dan India.
Sriwijaya yang berkembang saat itu sejalan dengan perkembangan kekuasaan
politik kerajaan-kerajaan di Jawa. Kompetisi antara Sriwijaya dan
kerajaan-kerajaan di Jawa berlangsung ketika kerajaan Mataram Hindu memindahkan
kekuasaannya ke Jawa Timur dan memuncak ketika Majapahit berkuasa di Jawa
sekitar abad ke-13.[10]
Sebelum itu, Singasari berhasil melanjutkan estafet
kekusaan Sriwijaya di wilayah maritim nusantara dengan semboyannya Cakrawala Mandala Dwipantara, dengan
melakukan Ekspedisi Pamalayu.[11] Singasari
sudah melakukan hubungan perdagangan antara wilayah Timur (seperti Maluku)
maupun dengan kawasan Barat (seperti Sumatra).
Singasari melakukan ekspansi maritim ke kawasan Nusantara selain untuk
menguasai jalur perdagangan juga bertujuan untuk meneguhkan kewibawaanya dalam
menghadapi ancaman tentara Mongol yang membangun Dinasti Yuan di Tiongkok.
Berbeda dengan Singasari, Majapahit melakukan ekspansi terutama untuk tujuan
menguasai sumber-sumber ekonomi maritim di Nusantara secara umum. Kemampuan
armada dagang Majapahit tidak dapat diragukan lagi untuk melayari samudera dan
berhubungan dengan dunia internasional. Majapahit berkembang menjadi kerajaan
yang besar bukan hanya menjadi kerajaan basis ekonomi pertanian, tapi
pengembaan kegiatan pelayaran dan perdagangan sebagai sebuah negara maritim pun
tidak perlu diragukan lagi. Perdagangan yang dilakukan mampu menjangkau wilayah
yang sangat jauh, bahkan sampai Lautan Hindia dan Laut Cina Selatan untuk
berdagang dengan Cina.[12]
Dengan demikian, perdagangan yang dilakukan oleh Majapahit bukan hanya
merupakan kegiatan para pedagang itu sendiri, tetapi merupakan kesatuan dari
seluruh masyarakat Nusantara dan ada kontrol dari pemerintah pusat.
Uraian singkat di atas tampaknya sedikit menggambarkan kita bahwa
perkembangan “negara-negara” nusantara zaman dulu sangat menakjubkan dan memberikan
pelajaran bahwa kita dulu bisa dan pernah jadi “raksasa” di lautan. Oleh karena
itu, kita seyogyannya melakukan gebragan
“revolusi biru” terhadap paradigma maritim kita. Dalam hal ini, membangun
sebuah paradigma maritim tidak bisa setengah-setengah, tapi harus sesuai dengan
jati diri perjalanan sejarah bangsa Indonesia sendiri. Sejarah telah
mengajarkan kita bahwa Sriwijaya, Singasari dan Majapahit pernah memegang
supremasi di tengah lautan selama beberapa abad.
Orang yang bijak adalah orang yang bisa mengambil pelajaran dari
pengalaman, dan bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah meninggalkan cerita
kegemilangan bangsanya pada zaman dulu. Ibarat kaca spion di kendaraan bermotor,
benda yang kecil tapi mempunyai manfaat yang besar. Bahkan kalau kendaraan bermotor
tidak ada kaca spionnya pasti menimbulkan “kekacauan” bahkan bisa terjadi
kecelakaan. Begitu pun sebaliknya, ketika berkendara tidak perlu melihat ke kaca
spion terus, itu juga berbahaya, tapi seiring-seirama dan saling melengkapi. Pandangan
kita menatap kedepan, tapi lihatlah ke belakang sesekali supaya “aman”. Seperti
halnya perjalanan hidup berbangsa dan bernegara, kita berjalan untuk menatap optimisme
masa depan yang gemilang dengan belajar dari sejarah bangsa kita. Seperti kata
bijak orang Yunani bahwa sejarah adalah guru kehidupan (Historia Vitae Magistra), yang terpenting bukan hanya “bagaimana
belajar sejarah”, tetapi “bagaimana belajar dari sejarah”. Kita belajar dari
sejarah untuk menjalani hari ini, dan mempersiapkan masa depan yang gemilang.
Revolusi
Biru: Membangunkan Raksaksa Tidur
Revolusi mempunyai arti perubahan yang
cepat dan pasti menuju sebuah era baru. Biru di sini diasosiasikan sebagai
hamparan laut yang luas. Jadi Revolusi biru adalah usaha manusia dalam meningkatkan
produksi pangan atau makanan dengan jalan meningkatkan produksi pangan yang
berasal dari laut (sumber daya laut).[13]
Artinya kita harus merubah mindset
dari darat ke laut dengan proses pembangunan yang kontinyu. Sedangkan mendengar
kata raksasa, kita seperti teringat sosok makhluk yang memiliki perawakan
tinggi, besar dan menakutkan. Semisal dalam cerita rakyat “timun mas” yang
berasal dari Jawa Tengah, raksasa digambarkan sebagai sosok sangat ditakuti dan
tidak ada orang yang sembarangan mendekat apalagi mengganggu. Karena
kekuatannya, raksasa bisa melakukan apa saja tanpa intervensi dari pihak
manapun.
Indonesia sudah diberikan begitu banyak potensi sumber daya kelautan
yang tidak dipunyai negara lain di dunia, bahkan menurut Koes Plus, tongkat dan
kayu saja bisa jadi tanaman kalau ditancapkan ke tanah. Bayangkan saja, dari
wilayah pesisir dan laut Indonesia terkandung kekayaan alam yang luar biasa
besar dan beragam, baik berupa SDA tabarukan (seperti perikanan, terumbu
karang, hutan mangrove, rumput laut, dan produk bioteknologi), SDA tak
terbarukan (seperti minyak dan gas bumi, timah, bijih besi dan mineral
lainnya), energi kelautan (seperti pasang surut, gelembang, dan angin) maupun
jasa-jasa lingkungan kelautan untuk pariwisata laut, transportasi laut, dan
sumber keragaman hayati. Potensi ini diperkirakan mencapai US$ 1,2 triliyun/taun.[14]
Kalau saja semua potensi tersebut bisa dimanfaatkan secara produktif dan
optimal, berapa banyak lapangan pekerjaan dan pembangunan yang bisa disumbangkan
untuk membangun beberapa pelabuhan besar bertaraf internasional.
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan
dan Perikanan sudah mencanagkan delapan gerakan pembangunan sektor Kelautan dan
Perikanan di masa mendatang yang harus proporsional dan berkelanjutan, yaitu:
(1) meningkatkan kesejahteraan nelayan, pembudidaya ikan, dan masyarakat
kelautan lainnya; (2) menghasilkan produk dan jasa Kelautan dan Perikanan yang
berdaya saing tinggi; (3) menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi
(rata-rata diatas 7 persen per tahun) dan berkualitas (banyak menyerap tenaga
kerja dan menyejahterakan rakyat) secara berkelanjutan; (4) meningkatkan
kontribusi sektor Kelautan dan Perikanan bagi perekonomian nasional (PDB) dari
yang sekarang hanya 3,5% PDB menjadi 7% PDB dalam 5 tahun mendatang; (5) turut
meningkatan kesehatan dan kecerdasan bangsa melalui peningkatan konsumsi ikan (seafood); (6) berkontribusi dalam mewujudkan kedaulatan
pangan dan energi nasional; (7) memelihara daya dukung dan kualitas sumber daya
Kelautan dan Perikanan dan eksositem perairan tawar, pesisir, dan laut supaya
pembangunan Kelautan dan Perikanan berlangsung secara berkelanjutan (sustainable);
dan (8) meningkatkan budaya dan etos kerja maritim bangsa serta memperkokoh
kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.[15]
Dengan
mewujudkan kedelapan program dan tujuan pembangunan kemaritiman di atas, kita
akan dapat menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang maju, sejahtera,
kuat, dan berdaulat. Sehingga, dalam waktu yang tidak terlalu lama, kita yakin
bahwa Indonesia bisa bangun dari “tidur panjangnya dan berubah menjadi raksaksa”
yang disegani dan dihormati oleh negara-negara lain di dunia sebagai sebuah
poros maritim dunia.
Selain dari segi aspek ekonomi di atas, salah satu aspek yang penting
lainnya untuk membangkitkan “raksasa” maritim adalah dengan paradigma maritim
bidang politik. Paradigma dalam bidang politik merupakan hal yang paling
penting, karena menentukan bagaimana sumberdaya yang ada akan dikelola secara
optimal sesuai dengan potensinya. Sebagai negara yang plural dan heterogen, Indonesia harus mempunyai pegangan ideologi
yang kuat, dan kita sudah mempunyai itu, yaitu ideologi Pancasila yang sampai
sekarang dan di masa yang akan datang masih relevan. Aspek yang juga sangat
fondamental dari ideologi Pancasila adalah semangat untuk menerima perbedaan
sebagai modal dasar untuk membangun persatuan, yaitu semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang maknanya
berbeda-beda tetapi tetap satu.[16]
Kita harus sadar, bahwa sebesar apapun kekayaan dan potensi negara kita, kalau
tidak ada persatuan bangsa, rasanya akan susah untuk menggapai visi maritim
sebagus apapun.
Kita semua harus menyadari bahwa laut merupakan media yang dapat
mempersatukan dan sebagai media untuk menghubungkan antara pulau yang satu
dengan yang lainnya. Dengan demikian
perlu cara yang integratif untuk mensinergikan antara aspek kelautan dan pulau
sebagaimana yang pernah dilakukan oleh “negara-negara” maritim besar dalam perjalanan
sejarah Indonesia. Paradigma maritim harus diterjemahkan dalam bidang politik,
hukum, dan sistem ekonomi yang harus diorientasikan kepada pembangunan
Indonesia sebagai sebuah negara maritim. Pemerintah dan semua stekhholder
harus bertindak cepat untuk menggali semua potensi yang ada di depan "mata"
kita. Sekarang sudah saatnya “raksasa” itu bangung dari tidur panjangnya! Mari
kita “kembali ke laut” bersama-sama..
ESAI INI DIIKUTKAN DALAM LOMBA ESAI SOSIAL BUDAYA NASIONAL 2015
[2] Kelompok Kerja Penyelarasan Data Kelautan
dan Perikanan. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2011., hlm 1.
[3] Achmad Rafiq. 2014. “Rencana Jokowi Membentuk Kementerian Maritim Diapresiasi” http://www.tribunnews.com/nasional/2014/09/22/rencana-jokowi-membentuk-kementerian-maritim-diapresiasi. diakses tanggal 15 April 2015.
[4] Sopian, Najmu
Laila. 2009. “Kemiskinan Struktur Masyarakat Nelayan”., www.
https://mhs.blog.ui.ac.id/najmu.laila/archives/16., diakses
tanggal 15 April 2015.
[5] Wawancara dengan Bapak Sagutro pada hari
Minggu, 20 April 2015
[6] Kapal kecil yang bermesin
[7] Wawancara dengan Bapak Sagutro pada hari
Minggu, 20 April 2015
[8] Apa
Anane asli bahasa Jawa Banyumasan yang artinya Apa adanya
[9] Sulistiyono,
Singgih Tri. 2014. “Paradigma Maritim dalam Pembanguna Nasional: Belajar
Sejarah”. Makalah. Disampaikan pada
Seminar Nasional Optimalisasi Pemberdayaan Potensi Wilayah Pesisir di Kabupaten
Bantaeng., hlm 8.
[10] Ibid., hlm 9-10.
[11] Wahyono,
SK. 2009. Indonesia Negara Maritim.
Jakarta: Teraju., hlm 3.
[12] Sartono Kartodirjdo. 1998. Pengantar Sejarah
Indonesia Baru: 1500-1900 dari Emporium sampai Imperium Jilid I. Jakarta., hlm
2-3.
[13] http://www.organisasi.org/1970/01/revolusi-hijau-dan-revolusi-biru-ilmu-biologi.html,. diakses tanggal
15 April 2015.
[14] Dahuri,
Rokhim. 2014. “Membangun Indonesia sebagai Negara Maritim yang Maju,
Adil-Makmur, Kuat dan Berdaulat”. Makalah.
Disampaikan pada Seminar Kebangsaan Laut Sumber Kemakmuran dan Kedaulatan
Bangsa. Jakarta., hlm 3.
[16] Sulistiyono, Singgih Tri. 2014. “Paradigma
Maritim dalam Pembanguna Nasional”. Makalah.
Disampaikan pada Seminar Nasional Optimalisasi Pemberdayaan Potensi Wilayah Pesisir
di Kabupaten Bantaeng., hlm 8.