“Dengan menggali kearifan lokal
tentang budaya masyarakat mengelola laut, kejayaan Indonesia sebagai bangsa
maritim dapat kembali bangkit.”[1]
Indonesia di “mata” dunia internasional
adalah sebuah zamrud mutiara dan
negeri “surga”. Mengapa? Tidak lain karena bagi sebagian
mereka, Indonesia yang luas dan jarak bentanganya sama dengan Inggris ke Rusia
bisa menjadi sebuah Negara Kesatuan. Coba kita lihat, berapa negara yang
terdapat di antara Inggris dan Rusia. Padahal, wilayah tersebut merupakan
daratan yang menyatu dengan masyarakat yang relatif homogen, baik secara
kultural maupun agama.
Menurut data Kelompok Kerja Penyelarasan Data Kelautan dan Perikanan
tahun 2011, Indonesia memiliki luas teritorial 284.210,90 Km² dan luas Zona
Ekonomi Ekslusif (ZEE) 2.981.211 Km² atau sekitar 70% dari luas wilayah
Indonesia, sedangkan daratan seluas kurang lebih 1.910.931,32 Km². Garis pantai
Indonesia adalah yang terpanjang kedua di dunia dengan panjang sekitar 104.000
Km². Rasanya aneh dan tidak dapat diterima akal sehat bagaimana Indonesia yang
begitu banyaknya pulau sejumlah 17.504 pulau tidak dapat disebut sebagai Negara
Maritim abad ke-21. Dari ribuan pulau tersebut, banyak tradisi lokal yang sudah
dilakukan turun-temurun dari nenek moyang kita untuk menjaga dan menyeimbangkan
kelestarian laut.
Kita sepakat bahwa tradisi kelautan perlu di bangkitkan lagi, kita juga meyakini
bahwa tradisi kelautan kita perlu dikuatkan dengan berbagai cara, Indonesia
dengan visi poros maritim dunia harus kita wujudkan bersama untuk mencapai
ketahanan dan pertahanan Indonesia. Tapi fakta di lapangan mengatakan berbeda, bahwa
dari 324 Kabupaten[2]
di seluruh Indonesia, tidak banyak kalangan yang meyakini bahwa wawasan kemaritiman,
karakter kebaharian, dan jiwa kelautan dapat ditemukan dalam tradisi budaya
lokalnya sendiri. Maukah kita menggali dan kembali pada kearifan lokal kita
untuk meraih kejayaan global?
Problematika
Maritim Kita
Data di atas menggambarkan bagaimana
Indonesia dianugrahi oleh Tuhan begitu banyak kelebihan yang tidak dimiliki
oleh negara lain di dunia. Melihat kekayaan Indonesia yang begitu luar biasa
ini, bangsa Indonesia seharusnya menyadari bahwa laut merupakan media yang
dapat mempersatukan dan sebagai media untuk menghubungkan antara pulau yang
satu dengan yang lainnya. Tapi kenyataan kondisi sekarang justru laut adalah
pemisah antara pulau satu dengan yang lainnya. Pemisah ini semakin terasa pada
masa globalisasi saat ini, arus globalisasi ini justru membuat kita semakin
menjauh dari jati diri bangsa kita yang bhineka
tunggal ika.
Untuk menyatukannya, kita harus mengejar ketertinggalan teknologi kita
dalam dunia maritim dan sumber daya manusianya karena dalam dunia kemaritiman tergantung
pada orang-orang yang menguasai teknologi yang identik dengan globalisasi
tetapi tidak melepaskan “pijakan” lokalnya. Tapi bahayanya, globalisasi dapat menyebabkan
terkikisnya budaya nasional akibat masuknya budaya dari luar. Arus budaya yang
datang dari luar bisa menghantam budaya lokal dengan kuat sehingga dimungkinkan
bahwa kearifan lokal kita akan segera mati.[3] Kita
bisa lihat dari hal kecil di sekitar kita, bukankah kita seolah bangga kalau beli
ikan di supermarket? Pernahkah kita menyempatkan diri untuk datang ke pasar dan
berbelanja di sana? Contoh yang lain, nama-nama asli orang Indonesia sekarang
mungkin 20 tahun yang akan datang punah. Banyak nama asli diganti menjadi ke
“barat-baratan”, dan kita bangga itu. Mari kita merenung, akankah kearifan
lokal kita akan semakin hilang tertelan zaman? Kita kadang tidak sadar bahwa
kita sekarang merupakan generasi konsumtif sekaligus pragmatis. Untuk menyikapi
prolematika ini, dibutuhkan strategi yang tepat agar identitas asing tidak
semakin “menggerus” dan secara perlahan dapat berpotensi melenyapkan identitas lokal
di Indonesia.
Permasalahan justru datang dari kita sendiri. Kebiasaan orang Indonesia
yang susah makan ikan menjadi kendala, sekalipun Indonesia kaya akan hasil
laut, tapi bangsa Indonesia tidak dikenal sebagai pemakan ikan. Rata-rata
konsumsi ikan orang Indonesia adalah 30 kilogram per tahun, masih kalah dengan
orang Malaysia yang mencapai 37 kg, bahkan hanya separuh dari konsumsi orang
Jepang yang makan ikan 60 kilogram per tahun.[4] Belum
lagi praktik illegal fishing, illegal logging, illegal mining,
dan kegiatan ekonomi ilegal lainnya serta perampokan dan perompakan di laut
masih marak. Ikan yang
dicuri taun 2014 (hingga Agustus 2014) dari laut Indonesia mencapai 1,6 juta
ton atau setara 182 ton sehari, pencurian ikan ini merugikan negara sekitar Rp.
101 triliun. Kerugian negara itu meningkat karena masih lemah
pengawasan dan penindakan kepada nelayan dan kapal ikan asing pencuri ikan
Indonesia itu. Kapal-kapal ikan pencuri itu diketahui dari Vietnam,
Malaysia, Thailand, dan Filipina, Taiwan, Hongkong, dan Tiongkok. Mereka sering
tertangkap basah mencuri ikan di wilayah ZEE Indonesia.[5]
Dari Kementerian
Kelautan dan Perikanan tercatat hingga bulan November 2014 bersama tim gabungan
lintas sektor berhasil menangkap hingga sebanyak 35 kapal ikan yang melakukan
pencurian ikan di perairan Indonesia.
Selain itu, pembangunan kelautan masih menyisakan begitu banyak pekerjaan
rumah. Buktinya, hingga kini kontribusi seluruh sektor kelautan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hanya sekitar 20%. Padahal negara-negara dengan
potensi kekayaan laut yang lebih kecil ketimbang Indonesia, seperti Islandia, Norwegia, Jepang, Korea Selatan, Tiongkok, dan Thailand, kontribusi bidang
kelautannya rata-rata sudah di atas 30% PDB. Mayoritas nelayan dan masyarakat
pesisir masih terlilit derita kemiskinan. Sementara, gejala overfishing, kerusakan ekosistem
pesisir (terumbu karang, hutan mangrove,
dan estuaria), dan pencemaran melanda
sekitar 40% wilayah pesisir dan laut, seperti Pantai Utara Jawa, sebagian Selat
Malaka, Pantai Selatan Sulawesi, sebagian Pantai Timur Kalimantan, dan muara
Sungai Ajkwa di Papua.[6]
Dari permasalahan diatas, seharusnya
langkah kecil untuk menyelamatkan kemaritiman mulai dari diri kita, saat ini,
dan mulai dari yang terkecil, yaitu kearifan lokal kita. Kearifan lokal justru menjadi
barometer kedewasaan bernegara untuk menghadapi tantangan global. Sinergitas
antara keduanya akan menjadikan kita kuat dan lebih siap dalam menghadapi
tantangan dan hambatan. Dengan kearifan lokal, kita bisa lebih bijaksana dalam
mengelola alam Indonesia. Tidak sembarangan dan sembrono[7]
dalam memanfaatkan kekayaan. Permasalahan ini bukannya tidak bisa diatasi,
hanya usaha dan doa yang menjadi senjata untuk merubah Indonesia menjadi poros
maritim dunia. Salah satu usahanya, kita kembali ke “lokal”.
Korelasi
Kearifan Lokal dan Kejayaan Global
Pengaruh
teknologi dan globalisasi amat besar
membentuk wajah Indonesia yang lokal menjadi nasional hingga global dan
sebaliknya atau yang dikenal sebagai Glokalisasi. Konsep ini dipopulerkan oleh
Roland Robertson pada tahun 1977 dalam suatu konferensi tentang Globalization and Indigenous Culture.
Secara umum pengertiannya adalah penyesuaian produk global dengan karakter lokal.
Ada juga yang mengatakan think
globally and act actually (berpikir global namun bertindak
lokal). Dalam wilayah budaya glokalisasi dimaknai sebagai munculnya
interpretasi produk-produk global dalam konteks lokal yang dilakukan oleh
masyarakat dalam berbagai wilayah budaya.[8]
Memang pada dasarnya glokalisasi timbul dan merupakan efek dari globalisasi.
Tapi substansi dari glokalisasi yang mempunyai gen citarasa lokal mempertahankan identitas nasional.
Salah satu masyarakat di Indonesia yang
kaya akan kearifan lokal kemaritiman adalah masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa
pada umumnya sadar dan sangat memahami bahwa kehidupan manusia tidak dapat
belangsung tanpa adanya sumber daya alam, seperti: bumi, udara, air, sinar
matahari, hewan, dan tumbuhan. Untuk itulah, para pendahulu atau leluhur telah
merencanakan hari penyelamatan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan
hidup beserta isinya. Orang Jawa menyebutnya sebagai Memayu Hayuning Bawana,
artinya penyelamatan
keseimbangan alam dan lingkungan tempat manusia hidup. Caranya, dengan
melaksanakan ruwatan atau sedekah atau selamatan. Ruwatan artinya
merawat, melestarikan, menyelamatkan, membersihkan, menumbuh kembangkan, dan
memberdayakan, alam dan lingkungan hidup. Ruwatan dilakukan agar masyarakat
Jawa terhindar dari bahaya dengan mengharap dan bersyukur tehadap Tuhan. Lebih
spesifik lagi, falsafah Memayu Hayuning Bawana bertransformasi menjadi Memayu Hayuning Samudro, yang berarti
penyelamatan keseimbangan laut, baik dalam cara memanfaatkannya
maupun mengelolanya.
Falsafah Memayu Hayuning Samudro
bisa dilihat dari tradisi-tradisi dan upacara-upacara orang Jawa sekarang.
Semisal, di Jawa Tengah Bagian Barat, yaitu Kabupaten Cilacap, upacara
tradisional yang sampai sekarang dilakukan sebagai salah satu kearifan lokal, untuk
menyeimbangkan laut adalah upacara tradisional Sedekah Laut. Sedekah
Laut dilaksanakan di pantai Teluk Penyu dan menjadi salah satu kearifan
lokal di wilayah Kecamatan Cilacap Selatan, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa
Tengah. Hingga saat ini, upacara tradisional tersebut masih dilaksanakan karena
masyarakat merasakan adanya makna dan nilai-nilai luhur di dalamnya. Peran
pemerintah dalam pelaksanaan tradisi Sedekah
Laut tidak bisa dilepaskan, sinergi antara keduanya merupakan hal yang
penting. Tradisi Sedekah Laut selalu dilaksanakan dengan persiapan yang
matang. Berbagai persiapan yang dilakukan oleh masyarakat antara lain
menentukan tanggal pelaksanaan, mempersiapkan uborampe[9]
upacara tradisi yaitu jolen[10]
dan sesajennya, menyewa dalang untuk acara ruwatan dan hiburan
rakyat, serta tidak melaut pada hari yang telah ditentukan.
Secara garis besar, prosesi upacara
kirab dan pelarungan jolen diawali
dengan penyerahan jolen Tunggul
dari Tumenggung Duta Pangarsa. Selanjutnya jolen
Tunggul dibawa ke pantai Teluk Penyu dan dikirab seluruh nelayan dari
tujuh kelompok nelayan yang ada di Cilacap. Penyerahan jolen Tunggul disaksikan bupati Cilacap dan seluruh pejabat dari
dinas instansi terkait yang menggunakan pakaian adat nelayan lengkap dengan
ikat kepala warna hitam. Selanjutnya jolen
Tunggul beserta jolen-jolen
lainnya yang dibawa masing-masing kelompok dinaikkan ke atas perahu yang
dihias dengan berbagai hiasan janur kuning. Jolen-jolen
tersebut kemudian dibawa ketengah laut kidul dan dilarung disekitar pulau Majethi,
tepatnya di teluk Karang Bandung, pulau Nusakambangan.[11]
Upacara ini dilakukan untuk masa awal
musim penangkapan ikan setelah masa paceklik, sehingga kalau melaut lagi tangkapan
ikan sangat banyak. Karena itu upacara ritual Sedekah Laut ini dilaksanakan sebagai wujud rasa syukur para
nelayan kepada Tuhan karena nelayan telah diberi rejeki barupa hasil tangkapan
ikan yang melimpah. Biasanya upacara sedekah laut para nelayan Cilacap
ini dilaksanakan pada hari Jum’at Kliwon bulan Suro, dan pada hari-hari
tersebut tidak ada nelayan yang melaut.
Dari contoh-contoh tersebut, kita dapat
melihat bahwa masyarakat maritim yang diperlihatkan di atas menganggap laut
adalah segalanya, laut adalah bagian hidupnya. Laut adalah “ibu” yang memberi
kehidupan seperti yang digambarkan dalam tradisi Sedekah Laut. Masih banyak contoh yang dapat ditambahkan yang
memperlihatkan betapa kuat sebetulnya memori kolektif mengenai kemaritiman yang
tersimpan dalam masyarakat Indonesia. Akan tetapi, kenyataan akhir-akhir ini seperti “api jauh
dari panggangnya”, karena kurangnya pemahaman mengenai pengelolaan laut untuk
menjadi sumber potensial peningkatan GNP (gross
national product) oleh para nelayan ilegal dengan tangkapan berkapasitas gros-gros ton. Oleh karena itu, Indonesia
harus mengembalikan kejayaannya sebagai bangsa yang memiliki kebudayaan maritim
yang kuat seperti yang pernah terjadi berabad tahun yang lalu dengan kembali ke
lokal, untuk "bertarung" di global.
Revitalsiasi
Tradisi
Terkadang kearifan lokal dianggap sebagai sesuatu yang mengglobal.
Pemahaman tersebut tidak salah karena toh
segala sesuatu yang mengglobal berasal dari jati diri lokal. [12] Dengan
demikian, makna Sedekah Laut bukan semata-mata sebagai
ungkapan rasa syukur, akan tetapi lebih jauh
mendalam. Memayu Hayuning Bawana/Samudro tidak lain merupakan falsafah
hidup yang menjadi akar kearifan lokal masyarakat
Jawa. Memayu Hayuning Bawana/Samudro sebagai dasar pelaksanaan Sedekah Laut, menunjukkan
bahwa nilai kearifan lokal yang ada di
dalamnya begitu banyak. Berbagai nilai kearifan lokal
sudah seharusnya dilestarikan dan dijadikan pedoman hidup bagi masyarakat nelayan dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Negara dalam hal
sudah berusaha membangkitkan tradisi-tradisi dan potensi-potensi yang ada di
dalam negeri. Seperti yang sudah diamanatkan oleh UUD
1945 pasal 33 ayat 3,[13]
harapan kita, Indonesia sebagai negara kepulauan yang besar dengan budaya
maritim, segala kebijakan kemaritiman harus dibuat terpadu dan bersifat lintas
sektoral. Pengembangan budaya maritim tersebut tidak berarti mengesampingkan masalah pertanian dan kehutanan di darat. Sesungguhnya ketiga hal tersebut (maritim, pertanian, kehutanan) merupakan satu kesatuan
ekosistem yang salah satunya tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Jadi pada akhirnya bangsa Indonesia
perlu mengembangkan
konsep pembangunan
terpadu, agar
ketiga hal tersebut saling memiliki fungsi bagi kehidupan. Generasi sekarang belum sadar bahwa hilangnya hutan
berarti hilangnya peradaban laut juga.
Sekarang momentum yang tepat untuk
melihat kembali peradaban
bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim dan sebagai negara kepulauan
terbesar didunia, serta merupakan
negara
agraris yang memiliki pertanian
dan kehutanan bagi penduduknya. Seperti falsafah Jawa, Memayu
Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara artinya manusia hidup
di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan, serta
memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak. Selain itu mari kita terus
membuka mata kita, awasi selalu setiap usaha yang berpotensi menghancurankan laut
Indonesia. Baik gerakan dari luar maupun dari dalam, termasuk awasi setiap
kebijakan pemerintah, kalau kebijakan itu bertentangan dengan keadilan
lingkungan laut, kita perlu memberi masukan terhadap kebijakan tersebut.
Akhirnya,
kita mesti melakukan perubahan paradigma pembangunan nasional, dari orientasi pembangunan darat
menjadi orientasi pembangunan laut dengan belajar dari kearifan lokal kita. Dengan
begitu, seluruh kebijakan publik, infrastruktur, dan sumberdaya finansial
secara terintegrasi diarahkan untuk menunjang pembangunan kelautan tanpa
menghilangkan warisan leluluh kita. Ini bukan
berarti kita melupakan pembangunan di darat. Kita justru harus mengintegerasikan
pembangunan ekonomi di darat dan di laut. Melalui orientasi pembangunan dari
basis daratan ke lautan, maka pelabuhan, transportasi laut akan lebih efisien.
Sehingga, akan membuat semua produk dari ekonomi daratan (pertanian,
perkebunan, kehutanan, peternakan, dan pertambangan) akan lebih berdaya saing, karena biaya logsitik akan lebih murah
dan pergerakan barang akan lebih cepat.
Sejuta
harapan pada negara kita untuk menjadi poros maritim dunia tidak akan menjadi
khayalan semata dalam beberapa tahun kedapan jika kita bersama dan saling
bersinergis. Dengan falsafah Memayu Hayuning Bawana, kita jaga dan kelola kekayaan laut kita.
15 FINALIS LOMBA ESAI SOSIAL BUDAYA NASIONAL 2015
[1] http://www.politikindonesia.com/index.php?k=politik&i=63104--Ada-Kearifan-Lokal-dalam-Kejayaan-Maritim-Indonesia., diakses
tanggal 2 Mei 2015.