BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama-agama
besar di dunia hampir memiliki sosok tokoh suci sebagai panutan pengikutnya,
begitu juga sebuah negara sebagai institusi. Sebuah Negara membutuhkan pahlawan
nasional untuk menjadi panutan bagi segenap rakyatnya. Sebagai apresiasi
terhadap kepahlawanan seseorang, pembuatan patung dan monumen dilakukan, baik
tingkat daerah maupun nasional. Seperti di kota Purbalingga, nama pahlawan
Usman Janatin di jadikan sebuah taman kota dan museum, ironisnya banyak warga
Purbalingga yang belum mengetahui riwayat dan segenap nilai inspirasi dari
Usman Janatin (1843-1968).
Berkali-kali
ucapan Bung Karno dipakai untuk melegitimasi konsep pahlawan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, yakni: “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya.” Representasi “bangsa yang besar”
secara resmi adalah Republik Indonesia, sedangkan kata “menghargai” dalam
konteks tersebut adalah bentuk sikap aktif untuk menghargai nilai-nilai
perjuangan tokoh-tokoh terhadap usahanya menentang penjajahan dan kezaliman.
Tokoh pahlawan disuatu daerah (negara), mungkin bukan pahlawan didaerah lain.
Salah satu contohnya, Usman Janatin merupakan pahlawan bagi bangsa Indonesia,
tetapi “teroris” bagi Singapura (Suyoko, 2015: 11-12).
Kompas
(12/11/2011) menyebutkan bahwa di Indonesia sampai akhir tahun 2011 sudah
mempunyai pahlawan nasional berjumlah 156 orang (144 laki-laki dan 12
perempuan). Dari 156 pahlawan nasional, ada beberapa tokoh “kontroversi” yang
masih diperdebatkan layak dan tidak layaknya menjadi pahlawan sampai sekarang.
Salah satu contoh, Tan Malaka (1897-1949), sosok misterius yang diangkat
sebagai pahlawan nasional oleh Soekarno pada tahun 1963, hampir “tenggelam”
namanya pada masa Orde Baru karena faktor “kekiri-kirian”. Masih banyak tokoh
kontroversi dan sudah dijadikan sebagai pahlawan nasional, meski demikian masih
banyak, tokoh yang (menurut penulis) pantas dijadikan sebagai pahlawan nasional
tapi sampai sekarang belum dijadikan pahlawan nasional oleh pemerintah, yaitu Pangeran
Trunojoyo.
Pangeran Trunojoyo adalah seorang bangsawan
Madura yang pernah melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Amangkurat I
dari kerajaan Mataram Islam. Pangeran Trunojoyo pernah menyerang dan berhasil merebut keraton
Mataram tahun 1677, yang mengakibatkan Amangkurat I melarikan diri dan
meninggal dalam pelariannya. Sampai sekarang, belum ada kejelasan pengangkatan
Pangeran Trunojoyo sebagai pahlawan nasional, karena perjuangannya yang masih menimbulkan
polemik, antara melawan pemerintah pada waktu itu (Mataram) atau melawan
penjajah (VOC), persoalan muncul ketika Pangeran Trunojoyo melakukan perlawanan
kepada raja Mataram, yang kebetulan dekat dengan VOC. Polemik yang sampai
sekarang masih jadi pertanyaan yang mengganjal bagi masyarakat Indonesia, Pangeran
Trunojoyo sebagai pahlawan atau pemberontak?
Dari
latar belakang yang sudah penulis sampaikan diatas, tokoh Pangeran Trunojoyo
merupakan tokoh yang menimbulkan dualisme persepsi di tengah masyarakat
Indonesia. Oleh karena itu, penulis mengangkat Pangeran Trunojoyo sebagai
sebuah karya tulis dengan judul “Dualisme Tokoh Trunojoyo: Pahlawan atau
Pembrontak?”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah
dikemukakan di atas, maka rumusan masalah dalam penulisan karya tulis ini
adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana sejarah hidup
singkat Pangeran Trunojoyo?
2.
Sosok Pangeran Trunojoyo:
Pahlawan atau Pemberontak?
3.
Bagaimana pengaruh perjuangan
Pangeran Trunojoyo untuk generasi penerus bangsa Indonesia saat ini?
C.
Tujuan
Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka
tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengkaji sejarah hidup
singkat Pangeran Trunojoyo;
2.
Untuk mengetahui alasan
Pangeran Trunojoyo disebut sebagai Pahlawan atau Pemberontak;
3.
Untuk mengetahui perjuangan Pangeran
Trunojoyo bagi generasi penerus bangsa Indonesia saat ini.
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan
latar belakang dan tujuan penulisan diatas, manfaat yang diharapkan dari
penulisan karya tulis ini adalah sebagai
berikut:
1.
Generasi muda dapat mengetahui perjuangan Pangeran
Trunojoyo secara singkat;
2.
Dapat mengetahui alasan Pangeran Trunojoyo disebut sebagai
pahlawan atau pemberontak;
3.
Dapat membangkitkan semangat patriotisme dan heroisme
pada generasi penerus bangsa dengan meneladani spirit Pangeran Trunojoyo dalam
melawan kelaliman VOC.
E. Metode Penelitian
Tulisan
ini menggunakan metode penelitian historis melalui telaah pustaka, baik dalam
bentuk buku maupun produk kebijakan berupa koran nasional. Fokus penulisan
diarahkan untuk menganalisis secara kritis sejarah perjuangan Pangeran
Trunojoyo dalam melawan kezaliman Amangkurat I dan VOC.
Sebagai
penulisan sejarah maka didalamnya ada empat pokok langkah, langkah pertama
yaitu heuristik, dengan cara mengumpulkan
berbagai sumber-sumber pustaka, seperti buku dan surat kabar yang berhubungan
dengan fokus penelitian. Kedua, kritik
sumber dengan cara melakukan verifikasi data atau menyeleksi data-data yang
sudah dikumpulkan. Ketiga, melakukan interpretasi,
dengan cara menafsirkan fakta-fakta sejarah yang diperoleh untuk mendapatkan
sebuah keterkaitan yang saling berhubungan antara fakta satu dengan fakta yang
lain. Keempat, historiografi, dalam
historiografi inilah penulis melakukan penyusunan fakta-fakta sejarah dalam bentuk
tulisan ilmiah yang siap disajikan sebagai pertanggung jawaban atas fakta-fakta
sejarah yang telah disusun (Kuntowijoyo, 1995: 89-105).
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Hidup Singkat Pangeran Trunojoyo
Pangeran Trunojoyo merupakan keturunan
penguasa Madura, ayahnya adalah Raden Demang Malaya (Malayakusuma), seorang
putra dari Cakraningrat I dari Madura. Pangeran Trunojoyo dididik dan
dibesarkan di lingkungan Kraton Mataram yang waktu itu pimpinan kerajaan sudah
beralih kepada putra Sultan Agung, yaitu: Amangkurat I (Kartodirdjo, 1999:
172).
Tahun
1648, terjadi peristiwa menyedihkan di Kraton Mataram perselisihan keluarga
yang menyebabkan jatuh korban anggota keluarga kerajaan Mataram, yaitu: (1) Pangeran
Cakraningrat I (Raden Praseno) sehingga disebut Pangeran Siding Magiri (Sidho
Hing Magiri), (2) Raden Ario Atmojonegoro putra pertama Pangeran Cakraningrat
I, (3) Pangeran Ario atau Pangeran Alit, adik Susuhunan Amangkurat I dan Raden
Demang Malayakusuma, ayah
Pangeran Trunojoyo.
Setelah
peristiwa itu, terjadi perubahan kekuasan di Madura, Raden Undakan putra ke-2
Pangeran Cakraningrat I dinaikkan tahta kerajaan dengan gelar Pangeran
Cakraningrat II (1648–1707). Pangeran Cakraningrat II dalam melaksanakan
pemerintah kerajaannya ternyata tidak sebijaksana ayahandanya, Pangeran
Cakraningrat I. Kekuasaan pemerintahan Madura pada waktu itu hanya diserahkan
kepada bawahan-bawahannya yang ternyata hanya melakukan penekanan-penekanan
kepada rakyat yang dipimpinnya, sementara Raja Cakraningrat II, terlalu sering
berada di Kraton Mataram.
Pangeran
Trunojoyo tumbuh sebagai seorang pemuda yang taat kepada agamanya (Islam) dan
tidak suka melihat ketidakadilan yang terjadi baik di Madura ataupun di Jawa.
Pangeran Trunojoyo segera kembali ke Madura dimana pengaruh kekuasaan Pangeran
Cakraningrat II (pamannya) semakin tidak mendapat simpati dari rakyat seluruh
Madura. Rakyat Madura mengakui kepemimpinan Pangeran Trunojoyo dari Bangkalan
sampai dengan Sumenep dan bergelar Panembahan Madura. Dengan didampingi Macan Wulung menantu dari Panembahan Sumenep,
Pangeran Trunojoyo mulai menyusun siasat perlawanan untuk melawan Mataram dan
VOC (Kasdi, 2003: 146).
Pasukan
Pangeran Trunojoyo bergabung dengan pelaut-pelaut Makassar dibawah pimpinan
Karaèng Galesung (yang pada akhirnya menjadi menantu Pangeran Trunojoyo) dan
Penembahan Giri. Bantuan dari Panembahan Giri merupakan satu kekuatan yang
sangat ditakuti oleh VOC. Tanggal 13 Oktober 1676, terjadi pertempuran sengit
di Gegodok antara pasukan Pangeran Trunojoyo dan pasukan Mataram yang dipimpin
oleh Adipati Anom. Dalam perang dahsyat ini telah gugur pimpinan pasukan
Mataram, yaitu Pangeran Purboyo.
Satu
demi satu daerah kekuasaan kerajaan Mataram berhasil ditaklukkan pasukan
Pangeran Trunojoyo. Sementara itu Amangkurat I sangat bersedih atas kekalahan
itu, pasukan Mataram yang dipimpin calon Putra Mahkota Kerajaan Mataram tak
berdaya menghadapi pasukan Pangeran Trunojoyo. VOC mulai turun tangan
mencampuri urusan, karena kalau kerajaan Mataram ditaklukkan Pangeran
Trunojoyo, berarti VOC tidak akan punya pengaruh lagi di tanah Jawa, sehingga
VOC meminta bantuan dari Batavia dibawah pimpinan Cornelis Speelman.
Cornelis
Speelman, pada tanggal 29 Desember 1676 berangkat dari Batavia dengan 5 kapal
perang dan 1.900 orang pasukan gabungan dari Jepara menyerbu Surabaya. Perang
terjadi antara pasukan Pangeran Trunojoyo dan pasukan VOC, walaupun akhirnya
Pangeran Trunojoyo harus mundur ke Kediri. Sementara pasukan VOC terus mendesak
ke Madura ke pusat cadangan pasukan Pangeran Trunojoyo, VOC berhasil
menaklukkan pasukan cadangan Pangeran Trunojoyo di Madura, tapi pada lain pihak
pasukan Pangeran Trunojoyo berhasil menduduki Kraton Kartasura, ibu kota
Mataram. Jatuhnya ibu kota Mataram, karena tidak ada dukungan sama sekali
kepada Amangkurat I, bahkan dari para Pangeran dan Bangsawan Kraton sendiri
(Ricklefs, 1999: 111-121).
Setelah
kejadian penaklukan ibu kota, Pangeran Anom (Amangkurat II) berbalik dengan
mendukung VOC, dengan berbagai cara Pangeran Trunojoyo dapat dikalahkan dan
dibunuh oleh Amangkurat II dengan tangannya sendiri. Setelah Pangeran Trunojoyo wafat ditangan Amangkurat II, kerajaan Mataram
semakin kehilangan kewibawaannya sebagai salah satu kerajaan besar di
Indonesia, karena Amangkurat II tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik.
Setelah itu VOC Belanda terus berusaha memperkecil pengaruh Mataram di Pulau Jawa.
Amangkurat II tidak sadar, setelah keputusannya untuk bersekutu dengan VOC maka
yang menurut istilah Sartono Kartodirdjo (1999: 199) bahwa “para raja Mataram
yang angkuh telah menemukan tuannya”.
B.
Pangeran Trunojoyo: Pahlawan atau Pemberontak?
Perjuangan
Pangeran Trunojoyo memang cukup melegenda. Saat ini nama Trunojoyo banyak
dijadikan nama jalan di beberapa kota, nama bandara di Sumenep, nama
universitas di Bangkalan. Bahkan menjadi istilah informal untuk menyebut
Kapolri, yaitu Trunojoyo I.
Walaupun nama dan perjuangannya cukup dikenal, sayang sampai saat ini
pemerintah belum menganugerahkan
sebagai pahlawan nasional. Entah ini sebuah kelalaian atau ada
pertimbangan lain yang bisa menjadi sebuah perdebatan.
Memang benar Pangeran Trunojoyo melakukan
pembrontakan terhadap Kerajaan Mataram, tetapi di balik pembrontakan tersebut
ada sebuah tujuan yang sangat mulia yaitu untuk menghilangkan ketidakadilan
terhadap rakyat atas penindasan Amangkurat I dan VOC. Kerajaan Mataram ketika
di pimpin oleh Amangkurat I telah melakukan beberapa kezaliman dan bisa
dikatakan juga penghianatan terhadap rakyatnya dengan bekerjasama ke kubu VOC. Salah
satu contoh kezaliman yang dilakukan oleh Amangkurat I yaitu ketika mengetahui
banyak ulama yang menentang kepemimpinannya, para ulama tersebut di bunuh oleh
Amangkurat 1 yang telah bersekutu dengan VOC. Padahal kita ketahui bahwa VOC
adalah penjajah bangsa ini, tapi justru Amangkurat I mau bersekutu dengan VOC.
Apakah itu bukan sebuah penghianatan terhadap rakyatnya? Jadi ketika kita
mengetahui tujuan dari Pangeran Trunojoyo melakukan pembrontakan terhadap
Mataram, pantaskah Pangeran Trunojoyo disebut sebagai Penghianat?
Terlepas
dari itu semua, perjuangan Trunojoyo memang begitu berat, terutama yang dilawan
itu adalah dari kalangan yang boleh dibilang teman dan kerabatnya sendiri.
Betapapun beratnya dalam menegakkan keadilan dan membasmi kezaliman harus terus
dilakukan, walau nyawa sekalipun dipertaruhkan. Seperti istilah yang
disampaikan oleh ketua KPK Nonaktif, Abrahan Samad, “mewakafkan hidupnya”
untuk perjuangan menegakkan keadilan. Dalam hal ini melawan koruptor, musuh dan
kejahatan besar di negeri ini. Sama posisinya seperti VOC di zaman Pangeran
Trunojoyo.
Perjuangan
Pangeran Trunojoyo saat ini masih cukup relevan semangatnya dalam melawan
ketidakadilan dan kesewenangan hukum. Masih ingat dalam ingatan bagaimana
beratnya perjuangan Novel Baswedan penyidik KPK dari kepolisian harus menangani
kasus berat yang terjadi pada pejabat di tubuh kepolisian itu sendiri, bisa
jadi itu teman atau kerabatnya sendiri. Upaya dalam menegakkan hukum bukannya
mendapat dukungan dari institusi yang membesarkannya itu. Sikap Novel Baswedan
pun mendapat “perlawanan” dari kepolisian bahkan sampai hendak menangkapnya.
Belum lagi kasus yang melanda KPK saat ini, miris.
Dari contoh kasus di atas, kita dapat
mengambil sebuah kesimpulan bahwa untuk menentang kezaliman dan ketidakadilan
dibutuhkan sebuah tekad dan keberanian yang kuat meskipun harus melawan teman
ataupun kerabat sendiri. Pangeran Trunojoyo rela melawan Mataram dan VOC demi
harga diri rakyat Madura, bahkan sampai sekarang nilai perjuangan Pangeran Trunojoyo
itu melekat di hati sanubari seluruh orang Madura. Bagi rakyat Madura, Pangeran
Trunojoyo adalah pahlawan yang berusaha membebaskan dari belenggu kekejaman.
Kasus
yang sama ditemui pada sosok Untung Suropati, yang sudah diangkat pada tahun
1975 oleh Soekarno, padahal Untung Suropati yang notabene juga pemberontak ke Mataram dan VOC pada era yang hampir
sama. Mereka sama-sama beroperasi dari Jawa Timur, dan sama-sama juga memusuhi
Mataram yang diboncengi VOC. Padahal menurut Asvi Warman Adam (2007: 129), kata pahlawan
berarti orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela
kebenaran. Jadi, ada tiga aspek kepahlawanan, yakni: 1. Keberanian; 2.
Pengorbanan; dan 3. Membela kebenaran. Mengapa pemerintah belum mengangkat Pangeran
Trunojoyo menjadi pahlawan nasional? Apakah Pangeran Trunojoyo sudah memenuhi
tiga kriteria pahlawan diatas?
C. Pengaruh
Perjuangan Pangeran Trunojoyo untuk Generasi Penerus Bangsa Indonesia Saat Ini
Berkali-kali
ucapan Soekarno dipakai untuk melegitimasi konsep pahlawan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, yakni: “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya”. Kata ini dilontarkan untuk mengajak bangsa untuk menghormati jasa
pahlawan dalam memperjuangkan kebebasan dari penindasan dalam bentuk
apapun. Tapi,
ternyata “virus- virus” perusak kedaulatan serta kepribadian bangsa dan negara
mewabah di negeri kita.
Kebudayaan dan tradisi bangsa
diklaim bangsa lain, lapisan masyarakat yang tinggi hingga kebawah pun telah
merasakan kenikmatan korupsi, kemiskinan menjamur di beberapa daerah. Padahal para pejuang bangsa telah
mengorbankan jiwa raga untuk memuliakan bangsa ini. Jika kita memahami perjuangan yang
dilakukan oleh Pangeran Trunojoyo dapat kita ketehui bahwa Pangeran Trunojoyo
adalah tokoh yang memiliki keberanian yang sangat besar. Pangeran Trunojoyo mau
melawan kerabatnya sendiri yakni Kerajaan Mataram yang bersekutu dengan VOC. Pangeran
Trunojoyo terus berjuang sampai titik darah terakhir untuk melawan ketidakadilan
yang terjadi di Madura dan Jawa. Hal tersebut menunjukkan bahwa untuk membela martabat
bangsa dan negara apapun harus rela di korbankan.
Setelah
mengetahui perjuangan Pangeran Trunojoyo seharusnya dapat dijadikan sebagai
cambuk untuk membangkitkan semangat generasi penerus bangsa supaya mampu
membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik lagi dan sesuai dengan yang di
cita-citakan oleh para founding father bangsa ini.
Generasi
penerus bangsa seharusnya berani menyatakan mana yang benar ataupun salah dan
berani untuk melawan ketidak adilan yang di rasakan oleh bangsa ini. Generasi
penerus bangsa harus berani untuk mempertahankan dan memperjuangkan kedaulatan
bangsa yang telah di capai oleh para pahlawan bangsa terdahulu.
Dari
fenomena diatas, perjuangan Pangeran
Trunojoyo hendaknya dapat diambil spiritnya. Bahwa perjuangan
menegakkan keadilan harus terus dilakukan tanpa peduli memandang siapa dan
latar belakangnya apa. Hal ini ditujukan untuk terciptanya rasa keadilan di
masyarakat, serta untuk kepentingan bangsa dan negara. Tugas ini adalah
kewajiban kita semua, terutama bagi aparatur negara yang menyandang sebagai
penegak hukum, yang memang itu menjadi tugasnya. Saat ini perjuangan itu
menjadi lebih berat karena aparat yang seharusnya menyelesaikan masalah hukum
justru menjadi bagian dari masalah itu. Dalam hal ini dibutuhkan figur yang
berani, tegas, dan mempunyai integritas tinggi untuk berani berkata salah kalau
itu memang salah, berani berkata benar kalau itu memang benar.
Semangat
untuk selalu menghargai keteladanan sosok Pangeran Trunojoyo yang pernah
berjasa bagi masyarakat di masa lalu untuk menentang kekejaman Mataram dan VOC,
merupakan suatu keharusan yang harus ditanamkan dan diimplementasi dalam
kehidupan sehari-hari oleh setiap generasi di negeri ini. Karena, keutuhan
bangsa dan negara akan terjaga jika generasi mudanya dapat meniru semangat
juang para pendahulunya. Sehingga harapan untuk meggapai prestasi menjadi
bangsa yang unggul dapat kita raih secara bersama-sama. Aamiin.
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
- Simpulan
Perang Trunojoyo menjadikan generasi muda
bisa berfikir bahwa, untuk melawan ketidak adilan dan ketidak benaran apapun rela
dikorbankan, dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa:
1.
Pangeran Trunojoyo adalah salah satu petinggi Mataram
yang melakukan perlawanan terhadap kerajaan Mataram untuk membebaskan rakyat
dari tindak ketidakadilan dari Amangkurat I dan VOC;
2.
Perjuangan Pangeran
Trunojoyo telah mengajarkan bahwa untuk menegakkan keadilan apapun rela
dilakukan meskipun harus melawan teman dan keluarga sendiri;
3.
Generasi penerus Bangsa seharusnya memiliki keberanian
yang kuat untuk melawan ketidakadilan dan memiliki keberanian untuk menegakkan
keadilan meski tantangannya berat.
- Saran
Dari simpulan diatas, penulis memberikan
saran sebagai berikut:
1.
Pemerintah
seharusnya lebih memikirkan kualitas nasionalisme dan semangat perjuangan dalam
generasi penerus bangsa;
2.
Pengetahuan
tentang perjuangan bangsa seharusnya lebih ditingkatkan supaya cerita zaman
dahulu itu tidak luntur di telan zaman;
3.
Perkembangan
globalisasi harusnya tidak menyeret kita untuk meninggalkan identitas dan jati
diri kita sebagai bangsa Indonesia dengan meneladani spirit perjuangan
para pahlawan bangsa;
4. Generasi penerus
bangsa seharusnya memiliki keberanian untuk melawan ketidak adilan terhadap semua
hal yang mengancam kedaulatan negara.
DAFTAR
PUSTAKA
Adam, Asvi
Warman. 2007. Seabad Kontroversi Sejarah.
Yogyakarta: Ombak.
Adji, Krisna
Bayu. 2014. Sejarah Raja-Raja Jawa dari
Mataram Kuno Hingga Mataram Islam. Yogyakarta: Araska.
Kartodirdjo,
Sartono. 1999. Pengantar Sejarah
Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Kuntowijoyo.
1995. Pengantar Ilmu Sejarah.
Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya.
Kompas. 12
November 2011. “Pahlawan Nasional yang Baru”. Halaman 3.
Kasdi,
Aminuddin. 2003. Perlawanan Penguasa Madura atas Hegemoni Jawa: Relasi Pusat-Daerah pada
Periode akhir Mataram, 1726-1745. Yogyakarta: Jendela.
Ricklefs,
M.C. 1998. Sejarah Indonesia Modern.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Suyoko, Dwi.
2015. “Refleksi Kisah Perjuangan Usman Janatin dalam Pembentukan Karakter
Bangsa”. Karya Tulis Ilmiah. Dipresentasikan
dalam Lawatan Sejarah tingkat Jawa Tengah di Pemalang pada 20 Maret 2015.
KTI Juara III Lawatan Sejarah Tingkat Regional yang di laksanakan di Madura tanggal 7-10 April 2015