Kantor Desa Nagka Sawit |
Nangkasawit
adalah salah satu desa yang terletak di Kecamatan Kejobong, Kabupaten
Purbalingga. Batas-batas Desa Nangkasawit adalah sebelah Barat dan Utara Desa
Pasunggingan (Kecamatan Pengadegan), sebelah timur Desa Martelu (Kecamatan
Kejobong) dan sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Nangkasawit Gunung Kidul (Kecamatan
Kejobong).
Cerita
sejarah bermula pada abad ke-16, setelah hancurnya Kerajaan Majapahit, kemudian
berdiri sebuah kerajaan yang bernama Mataram. Seiring masa kekuasaan Kerajaan
Mataram, Raja Mataram memerintahkan para Musyafir untuk melanglang buana
(melakukan perjalan) diseluruh pelososk Jawa dalam rangka menyebar luaskan
agama Islam. Beberapa nama Musyafir yang ikut menyebarkan agama Islam adalah
Jaka Mulya dan Emban Kepadangan beserta Istriya. Dalam perjalanannya sampai
disuatu kawasan lahan yang masih Luwung (Indonesia: Lahan yang masih kosong),
belum ada penghuni dan masih berupa kawasan hutan belantara. Sampai sekarang
kawasan tersebut masih ada dengan nama Dukuh Luwung dan kondisinya masih tetap
sepi seperti dahulu.
Selanjutnnya Jaka
Mulya, Emban Kepadangan
sampai di suatu tempat di tengah hutan dan mereka beristirahat sambil berfikir,
kemudian timbul inspirasi bahwa tempat yang disinggahi sangat bagus untuk
dihuni dan dijadikan sebuah Desa, sampai sekarang lokasi tersebut oleh warga
disebut dukuh NDESA yang sekarang menjadi pusat pemerintahan desa.
Setelah
merasa cukup beristirahat, keesokan harinya Jaka Mulya, Emban Kepadangan berjalan
menyusuri seluruh kawasan hutan hingga akhirnya sampai disuatu lokasi tepi
sungai, disinilah Jaka Mulya dan Emban Kepadangan merasa telah menemukan tempat
yang strategis untuk membangun Padepokan (tempat untuk melaksanakan kegiatan Da’wah).
Akhirnya
mereka membangun sebuah Padepokan sebagai tempat Da’wah dalam rangka menyebaran
Agama Islam. Di Padepokan inilah istri Jaka Mulya dan Emban Kepandangan tutup
usia dan dimakamkan disekitar lokasi Padepokan, makam keduanya kemudian disebut
“PESAREHAN DEPOK”. Makam tersebut hingga sekarang masih ada dan terawat dengan
baik oleh penduduk sekitar.
Setelah
keinginan Jaka Mulya, Emban Kepadangan beserta istri membangun Padepokan
terwujud, keberadaan tempat padepokan tersebuat mulai terdengar oleh orang
orang dari luar kawasan hutan ini, sehingga para warga berdatangan untuk
membuktikan kebenaranya bahwa ditengah hutan telah berdiri sebuah Padepokan
yang dibangun oleh sorang pendatang baru/Musyafir. Seiring berjalannya waktu
atau hari demi hari makin banyak pengunjung yang berdatangan dari luar daerah,
saat itulah Jaka Mulya, Emban Kepadangan mulai melaksanakan kegiatan Da’wah
tentang ajaran Agama Islam, ternyata para warga yang datang dari luar merasa
betah untuk tetap tinggal di kawasan ini. Warga yang tadi sudah betah menempati
padepokan itu akhirnya mereka menjadi santri selanjutnya Jaka Mulya, Emban
Kepadangn dan santri mulai membenahi kawasan ini untuk dijadikan tempat tinggal
permanen dan bercita cita membangun sebuah Desa.
Hari
demi hari mereka lewati, mereka membutuhkan makanan, sehingga guna memenuhi
kebutuhan bahan makanan, para Santri Padepokan mencari bahan makanan ke Wana (Hutan) sebelah timur, hingga
berhasil menemukan satu satunya pohon yang buahnya berbau harum dan belum
diketahui namanya, kemudian warga beramai-ramai saling berebut untuk
mendapatkan buah tesebut, sehingga menimbulkan pertengkaran, sampai sekarang
kawasan ini disebut warga dengan sebutan DUKUH
WANARAME, kata
tersebut berasal dari peristiwa dimana para warga mencari bahan makanan dihutan
secara beramai ramai dan saling berebut untuk mendapat buah yang telah
ditemukan di Wana (hutan). Hal tersebut menyebabkan pertengkaran, satu diantara
mereka yang bertengkar kemudian ada yang melapor kepada Jaka Mulya dan pada saat
itu juga Jaka Mulya langsung mendatangi mereka yang sedang bertengkar kemdian
mereka diajak mulih (Pulang) ke suatu
tempat di Gunung Kidul (bukit selatan) untuk di damaikan, sehingga sekarang
kawasan ini disebut DUKUH GUNUNG KIDUL.
Dilokasi
perdamaian warga, kemudian Jaka Mulya beserta para santri membangun Pesanggrahan (Tempat tinggal dan tempat untuk
melaksanakan segala kegiatan), sampai dengan akhir hidupnya Jaka Mulya tetap
tinggal di Pesanggrahan yang telah dibangunnya, dan dimakamkan di area lokasi Pesanggrahan.
Makam Jaka Mulya dan beberapa santri kepercayaan sampai sekarang masih ada dan
dikenal oleh masyarakat luas dengan sebutan PESAREHAN
KEMULIYAN, kata yang berasal dari peristiwa diajak mulih atau bali atau pulang mereka
yang bertengkar berebut buah sebagaimana diceriterakan diatas, karena berasal
dari Nama Jaka Mulya dan berkat keberhasilannya mendamaikan warga untuk
mencapai Kemuliyaan, kedamaian, hidup rukun, saling hormat menghormati satu
sama lain.
Pesarehan
Kemuliyan sampai sekarang masih ada dan terawat dengan baik serta dikeramatkan
oleh warga setempat dan banyak dikunjungi para peziarah dari luar daerah yang
diyakini mereka dapat membawa barokah atas Ridho Alloh SWT. Setelah tercapai
perdamaian, warga setempat dapat hidup rukun saling bahu membahu, sesuai
inspirasi dan cita-cita menjadikan suatu Desa dikawasan yang telah dihuni
selama bertahun – tahun, semua warga sepakat untuk membangun desa, tetapi
mereka masih bingung mengenai nama desa ini, kemudian timbul gagasan setelah
mengingat peristiwa yang telah dialami yaitu peristiwa awal mulanya dapat
menemukan (Minangka Lantaran Nemu)
menemukan bahan makanan, yaitu menemukan buah yang hanya ada satu pohon (sa' wit atau se' wit) yang ditemukan di wana (hutan), sehingga Desa ini diberi
nama“DESA
NANGKASAWIT”, yang
berasal dari rangkaian kata “minangka
dan sawit”. Demikianlah cerita singkat tentang
Sejarah dan Asal Usul Desa Nangkasawit, semoga bermanfaat.
Sumber Referensi:
Nangkasawit.desa.id yang diakses pada tanggal 14 November 2016.