Legenda adalah kisah yang tak jelas pengarangnya,
proses kreatif penciptaannya, dan diceritakan secara turun temurun. Legenda
biasanya menjadi atribut literal untuk sebuah fenomena alam yang menarik, di
suatu tempat tertentu, yang terlalu sulit untuk dijelaskan dengan nalar.
Karakter Loro Jonggrang dalam legenda Candi Sewu (yang
dikenal di Jawa Tengah) dan legenda landmark Tangkuban Perahu (yang melekat di
hati masyarakat Jawa Barat) beberapa hari ini marak jadi bahan bully di
media sosial terkait situasi politik. Adalah Taufik Ridho, Sekjen PKS (Partai
Keadilan Sejahtera) yang melontarkan kalimat : “Ini kan tidak bisa dilakukan seperti Roro
Jongrang membuat Tangkuban Perahu”. Kalimat ini dilontarkan untuk mengumpamakan
bahwa pekerjaan mengumpulkan data kecurangan Pilpres tidak bisa dilakukan hanya
dalam waktu singkat
Konten
perumpamaan Taufik itu memang salah; selain salah dari segi rincian kisah, ia
juga salah ketika menyebutkan Roro Jonggrang membuat sebuah perahu. Roro
Jonggrang (biasa pula disebut Loro Jonggrang) tidak pernah dilegendakan sebagai
membuat atau mengorder pembuatan perahu; ia minta dibuatkan seribu candi oleh
Bandung Bondowoso, dalam cerita yang ber-setting Jawa Tengah. Sementara itu,
Tangkuban Perahu merupakan objek dalam legenda gunung Tangkuban Perahu, yakni
perahu yang menjadi bagian syarat pernikahan yang diminta oleh Dayang Sumbi
agar dibuat oleh Sangkuriang dalam legenda yang ber-setting Pasundan. Baik
1.000 candi dan perahu dengan danaunya dalam dua legenda berbeda itu, memang
disyaratkan untuk disiapkan dalam waktu semalam.
Perumpamaan sang Sekjen ini jelas mengundang reaksi
anggota masyarakat yang sudah tahu persis isi legenda dan karakter-karakter
dalam legenda tersebut; reaksi yang tentu saja hadir dalam bentuk bullying,
yang mengarah kepada olok-olok betapa buta legendanya sang pelontar
perumpamaan.
Taufik Ridho, melalui
klarifikasi dengan kompas.com, sudah berusaha meluruskan lontarannya. “Saat itu, saya sedang jelaskan bahwa
pengumpulan bukti kecurangan itu tidak mudah dan membutuhkan waktu yang lama.
Tidak bisa dalam waktu satu malam saja. Yang saya katakan saat itu, hanya
legenda Tangkuban Parahu dan legenda Roro Jonggrang yang bisa mengerjakan itu
dalam satu malam,” ujar Taufik Ridho saat dihubungi Kompas.com, Rabu
(6/8/2014).
Nah, apakah pembaca sekalian berhasrat untuk memahami atau mendapatkan rekonstruksi yang
benar tentang dua legenda hebat itu? Berikut saya tulis ulang dua legenda
tersebut dengan gaya saya. Legenda saya dapatkan dari berbagai sumber.
CANDI
SEWU DAN RORO JONGGRANG
Dahulu kala, di bumi Jawa bagian tengah terdapat dua
kerajaan bertetangga: Kerajaan Pengging dan Kerajaan Baka. Pengging kerajaan
subur dan makmur, dipimpin raja Prabu Damar Maya. Prabu Damar Maya memiliki
putra bernama Raden Bandung Bondowoso yang keren, gagah perkasa dan sakti
mandraguna. Kerajaan Baka dipimpin oleh raksasa pemakan manusia bernama Prabu
Baka. Prabu Baka diasisteni Patih Gupala yang juga adalah raksasa. Meskipun
berasal dari bangsa raksasa, Prabu Baka—tak masalah bagaimana bisa–memiliki
putri cantik bernama Rara Jonggrang, yang berarti ‘gadis ramping’.
Prabu Baka terkenal sebagai raja yang invasif dan
ingin menguasai Pengging. Sang raja melatih balatentara dan menarik pajak dari
rakyat untuk membiayai perang. Begitu balatentara siap, Prabu Baka beserta
tentaranya menyerbu Pengging. Pertempuran meletus di kerajaan Pengging. Banyak
jatuh korban di Pengging. Untuk membalas kekalahan, Prabu Damar Maya mengutus
Pangeran Bandung Bondowoso untuk menyerang balik pasukan Prabu Baka.
Pertempuran seru! Dan berkat kesaktiannya, Bandung Bondowoso berhasil
menumbangkan Prabu Baka. Patih Gupala mundur ke kerajaan Baka.
Pangeran Bandung Bondowoso mengejar Patih Gupala
hingga ke kerajaan Baka. Tiba di keraton Baka, Gupala melaporkan tewasnya Prabu
Baka kepada Roro Jongrang. Sang putri berduka. Di tengah duka itu, Baka jatuh
ke tangan balatentara Pengging, Pangeran Bandung Bondowoso menyerbu masuk ke
dalam istana Baka. Ketika pertama kali melihat Putri Rara Jonggrang, seketika
itu Bandung Bondowoso terpikat oleh kecantikan sang putri; love at first
sight!
Tak peduli perempuan itu putri musuh, Bondowoso nekad
melamar Rara Jonggrang. Roro Jonggrang tentu saja ogah dilamar pembunuh
sang ayah. Bandung Bondowoso tak putus asa. Ia maju terus sampai Roro Jonggrang
terbujuk dan akhirnya says yes. Tapi itu cuma di bibir. Agar niat
Bondowoso terjegal, Roro Jonggrang membuat syarat yang sulit: ia minta
Bondowoso membuat sumur Jolotundo dan membangun seribu candi dalam waktu
semalam. Ini berat bagi Bondowoso. Namun, keelokan dan kesemampaian Roro
Jonggarang telah membutakan hatinya; Bondowoso pantang mundur.
Dengan kesaktiannya, Bondowoso sukses menggali sumur
pesanan sang permata hati. Roro Jonggrang gusar. Ia bilang pada Bondowoso, “Nice,
Kakanda! Sekarang coba Kakanda masuk sumur dan periksa hasilnya,”
Bondowoso mengiyakan. Ia masuk ke relung terdalam
sumur. Manakala Bondowoso berada di dasar sumur, kaki-tangan Roro Jonggrang
yang sudah disiagakan menimbun sumur dengan bebatuan agar sang pangeran
terkubur hidup-hidup.
Tapi, dasar manusia sakti, Bandung Bondowoso sukses
mendobrak timbunan batu. Ia berang dipedaya seperti itu. Namun, lagi-lagi, si
langsing Roro Jonggrang berhasil meredam amarah Bondowoso. Bondowoso
melanjutkan mega proyek properti cinta seribu candi itu.
Kali ini Bondowoso tak kurang strategi. Ia undang jin,
setan, dedemit, makhluk halus dan semi-halus lain penghuni jagat untuk
mendukung proyek itu. Dengan kemampuan arsitektural dan civil engineering
dan ketrampilan teknik konstruksi para pendukung, jadilah proyek itu: 999
candi. Jumlah candi inilah yang membuat Rara Jonggrang kecut. Ia tahu Bondowoso
pasti bisa melengkapinya menjadi seribu dalam beberapa saat lagi sementara
fajar masih lama datang.
Roro Jonggrang tak kurang gagasan. Ia membangunkan
dayang-dayang istana dan memerintahkan mereka menumbuk padi. Awak istana ia
perintahkan membakar jerami di belahan timur untuk menciptakan image
rembang fajar. Ribuan ayam di seputaran kerajaan, mendengar bunyi tumbukan
lesung dan melihat ufuk timur memerah, mengira pagi telah datang; berkokoklah
riuhlah mereka bersahut-sahutan.
Para jin asisten Bondowoso panik. Bagi para jin, bila
matahari mulai muncul, it’s time to go. Tinggalah Bondowoso sendiri
menatap seribu candi yang kurang satu ketika fajar betulan beranjak datang.
“You failed,” ujar Roro Jonggrang senang.
Bondowoso marah luar biasa mendapati kecurangan yang meski tidak terstruktur,
masif dan sistematis, namun teramat cerdas itu. Ia baru sadar ia dikadalin
cewek imut pujaan hati itu. Ia mengutuk Roro Jonggrang menjadi batu. Sang putri
berubah wujud menjadi arca terindah yang kita kenal sebagai arca Durga, yang
menggenapi bangunan Candi Sewu, yang bisa Anda lihat sekarang.
TANGKUBAN PARAHU
Syahdan beribu-ribu tahun lalu, tanah Parahyangan
dipimpin oleh seorang raja dan seorang ratu dengan putri tunggal bernama Dayang
Sumbi. Sumbi elok, cantik, dan cerdas. Hobinya menenun. Suatu saat, ketika
sedang menenun di beranda istana, benang pintal terjatuh dan menggelinding
entah ke mana. Lama ia mencari tak ketemu juga. Tak senang kegiatannya
terganggu, ia bersumpah, “Barang siapa bisa menemukan benang pintal saya, bila
perempuan akan diangkat jadi saudara, dan bila lelaki akan jadi suami saya.”
Pintalan benang itu ternyata ditemukan oleh seekor
anjing sakti bernama Tumang. Kebetulan Tumang adalah anjing jantan. Lantaran
sumpah terlanjur diucapkan, dan lantaran Sumbi tahu dalam sumpah tersebut tak
terjelaskan apakah ‘barang siapa’ itu harus manusia atau bukan, ia terpaksa
harus mau diperistri Tumang.
Meski bersuamikan seekor guk-guk, Dayang Sumbi
melahirkan seorang anak laki-laki cakep, yang ia beri nama Sangkuriang.
Sangkuriang tumbuh jadi remaja, ganteng habis, lincah dan sehari-hari ditemani
seekor anjing yang tak ia sadari adalah ayah sendiri.
Pada suatu hari Sumbi ingin sajikan steak untuk
jamuan istana. Ia bilang pada Sangkuriang, “Nak, please go hunting.
Bunda pingin para tetamu maem steak rusa.”
Sangkuriang langsung cabut ke hutan ditemani Tumang.
Sialnya, siang itu tak terlihat seekor rusa pun. Ia tak ingin kecewakan
bunda-nya. Timbul ide. Ia mengarahkan anak panah pada Tumang. Tumang tumbang.
Sangkuriang menguliti Tumang dan menyerahkan daging Tumang kepada sang Bunda.
Sumbi happy dengan hasil buruan Sangkuriang.
Ketika jamuan usai, Sumbi ia bertanya, “Apakah Ananda
lihat Tumang? Tak Bunda lihat Tumang siang sampai sore ini.” Sangkuriang jadi
meriang dan merasa bersalah. Ia akhirnya mengaku daging buruan itu adalah
daging Tumang.
Sumbi murka. Ia menghantam kening Sangkuriang dengan
gagang pengais nasi. Sangkuriang pingsan. Dan atas tuduhan kekerasan dalam
rumah tangga, Sumbi diusir sang raja dari istana. Ketika Sangkuriang siuman
dari pingsan, ia mendapati luka di kening dan mendapati kabar sang bunda telah
terusir dari istana.
Beranjak makin dewasa, sebagai pemuda tegap, keren dan
tampan, Sangkuriang pergi mengembara. Di sebuah desa pengembaraan, ia bertemu seorang
perempuan cantik jelita yang bahkan ia tak tahu namanya dan berapa usianya.
Terpikat dan terjerat cinta, Sangkuriang melontarkan lamaran. Gayung bersambut.
Sang perempuan dewasa yang teramat cantik itu menerimanya. Sehari sebelum
pernikahan kedua anak manusia ini berucap janji setia; mereka santai di sebuah
taman dan sang perempuan mengelus mesra kening Sangkuriang. Ketika mengelus
kening itulah rambut Sangkuriang terbelah. Sang perempuan menatap bekas luka di
kening.
“Wait! Bagaimana kau dapat luka ini, honey?”
tanya sang perempuan.
“Dipukul ibu saya pakai gagang pengais nasi,” kata
Sangkuriang jujur.
“Siapa namamu?” tanya perempuan itu, dadanya
bergemuruh.
“Sangkuriang!”
Sontak si perempuan menghempaskan Sangkuriang jauh
darinya.
“Why, darling?” Sangkuriang bingung.
Sang perempuan berubah gundah. Perlukah ia mengatakan
bahwa namanya adalah Dayang Sumbi, yang adalah ibu kandung Sangkuriang, the
one yang menggetokkan gagang kayu pengais nasi ke kening itu?”
Dayang Sumbi berpikir keras. Ini aib. Pernikahan macam
ini tak boleh terjadi. Namun Sumbi tak sanggup berkata sebenarnya. Timbul niat
untuk mempersulit pernikahan itu. Ia mengajukan syarat: Sangkuriang boleh
menikahinya kalau ia sanggup membuat sebuah bendungan yang bisa mengkover
seluruh bukit dan membuat sebuah perahu untuk go sailing di bendungan
itu. Semuanya harus rampung sebelum fajar.
Meski ini mission impossible, karena sudah blinded
by love, Sangkuriang bilang sanggup. Ia manfaatkan kesaktian turunan dari
sang ayah untuk hire sejumlah jin sakti ahli konstruksi, ahli hidrologi,
ahli ilmu tanah, ahli lanskap dan semacamnya. Sangkuriang mulai bekerja keras,
demi cinta. Jauh sebelum fajar, proyek kilat khusus itu rampung, kecuali
perahu. Sangkuriang menemukan sebatang pohon besar dan mulai membangun perahu.
Sumbi gemetaran. Celakalah kalau perahu selesai dibuat
sebelum fajar! Sumbi berdoa pada dewa-dewa, minta agar fajar datang lebih
cepat. Doanya terkabul. Ratusan ayam jantan berkokok bersahut-sahutan, dan
matahari mucul lebih awal.
Perahu baru setengah jadi. Sangkuriang sadar
percepatan fajar ini hasil rekayasa Sumbi. Ia mengutuk Sumbi dan sekuat tenaga
menendang perahu sampai terbalik. Sumbi dan Sangkuriang konon akhirnya
menenggelamkan diri di danau buatan itu, dan perahu yang terbalik berubah wujud
menjadi Gunung Tangkuban Parahu, yang dalam bahasa Sunda artinya ‘telungkupan
perahu’, dalam bahasa Inggris the overturned boat.
Bila ditarik garis kesamaan, kita bisa lihat adanya
sejumlah elemen yang sama dari dua legenda itu : putri raja yang cantik, pemuda
di mabuk cinta, cinta tak dikehendaki dan cinta terlarang, pengorbanan demi
cinta, periode waktu semalam, imposibilitas, peran ayam jantan, peran
perempuan, peran jin dan makhluk alus dan moment fajar sebagai deadline.
Biarlah legenda tetap legenda, jangan berusaha ubah
urutan cerita, objek cerita dan tokoh-tokohnya. Legenda adalah kekayaan dan
kearifan masyarakat lokal dalam khazanah apreasiasi terhadap alam dan kreasi
manusia.
Hidup legenda!
Sumber kutipan legenda :
http://m.kompasiana.com/post/read/667506/3/baca-ulang-dua-legenda-jonggrang-dan-perahu.html