Penjajahan
Belanda pada kurun abad XVIII hingga medio abad XX tak hanya melahirkan
kekerasan, tapi juga memicu proses pembentukan kebudayaan khas, yakni
kebudayaan dan gaya hidup Indis. Budaya gado-gado, percampuran budaya Barat dan
unsur-unsur budaya Timur. Ibarat darah, budaya campuran ini merasuk ke dalam
segala perikehidupan manusia di masa itu, sebagaimana dituturkan oleh Prof. Dr.
Djoko Soekiman dalam disertasinya, Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat
Pendukungnya di Jawa (1996), yang kemudian diterbitkan oleh Yayasan Bentang
Budaya pada Januari 2000.
Jauh
sebelum kedatangan bangsa Belanda di kepulauan Indonesia, di Pulau Jawa telah
ada pendatang asal India, Cina, Arab, dan Portugis. Mula-mula orang-orang
Belanda itu hanya datang untuk berdagang, tapi belakangan malah menjadi
penguasa.Pada awalnya, mereka membangun gudang-gudang untuk menimbun
rempah-rempah di Banten, Jepara, dan Jayakarta. Dengan modal kuat Vereenigde
Oost-Indische Compagnie (VOC) mendirikan gudang penyimpanan dan kantor dagang.
Sekelilingnya diperkuat benteng pertahanan, lalu sekaligus digunakan sebagai
tempat tinggal.
Benteng
semacam ini menjadi hunian pada masa-masa awal orang Belanda di Pulau Jawa.
Segala kesibukan perdagangan dan kehidupan sehari-hari berpusat di benteng
semacam ini. Gubernur Jenderal Valckenier (1737 – 1741) adalah pejabat
tertinggi terakhir yang tinggal dalam benteng. Sesudah itu, para gubernur
jenderal penggantinya tinggal di luar benteng. Bahkan setelah keadaan di luar
kota aman, secara bertahap mereka berani bertempat tinggal dan membangun rumah
di luar tembok kota. Pos-pos penjagaan dengan benteng-benteng kecilnya
didirikan di Ancol, Jacatra, Rijswijk, Noordwijk, Vijfhoek, dan Angke.
Di
samping itu para pejabat tinggi VOC membangun rumah-rumah peristirahatan dan
taman yang luas, yang lazim disebut landhuis dengan patron Belanda dari abad
XVIII. Ciri-ciri awalnya masih dekat sekali dengan bangunan yang ada di
Belanda. Secara pelahan mereka membangun rumah bercorak peralihan pada abad
XVIII antara lain di Japan, Citrap, dan Pondok Gede. Cirinya bilik-bilik
berukuran luas dan banyak. Ini menunjukkan bangunan landhuis dihuni oleh
keluarga beranggota banyak yang terdiri atas keluarga inti, dengan puluhan
bahkan ratusan budaknya.
Gaya
hidup semacam di landhuizen itu tidak dikenal di negeri Belanda. Lama-kelamaan
kota-kota pionir macam Batavia, Surabaya, dan Semarang yang terletak di hilir
sungai dianggap kurang sehat karena dibangun di atas bekas rawa-rawa. Mereka
kemudian memindahkan tempat tinggalnya ke permukiman baru di daerah pedalaman
Jawa, yang dianggap lebih baik dan sehat. Di sini mereka mendirikan rumah
tempat tinggal dan kelengkapannya yang disesuaikan dengan kondisi alam dan
kehidupan sekeliling dengan mengambil unsur budaya setempat. Pertumbuhan budaya
baru ini pada awalnya didukung oleh kebiasaan hidup membujang para pejabat
Belanda. Larangan membawa istri (kecuali pejabat tinggi) dan mendatangkan
wanita Belanda ke Hindia Belanda memacu terjadinya percampuran darah yang
melahirkan anak-anak campuran dan menumbuhkan budaya dan gaya hidup
Belanda-Pribumi, atau gaya Indis.Kata “Indis” berasal dari bahasa Belanda
Nederlandsch Indie atau Hindia Belanda, yaitu nama daerah jajahan Belanda di
seberang lautan yang secara geografis meliputi jajahan di kepulauan yang
disebut Nederlandsch Oost Indie, untuk membedakan dengan sebuah wilayah jajahan
lain yang disebut Nederlandsch West Indie, yang meliputi wilayah Suriname dan
Curascao. Konsep Indis di sini hanya terbatas pada ruang lingkup di daerah
kebudayaan Jawa, yaitu tempat khusus bertemunya kebudayaan Eropa (Belanda)
dengan Jawa sejak abad XVIII sampai medio abad XX. Kehadiran bangsa Belanda
sebagai penguasa di Pulau Jawa menyebabkan pertemuan dua kebudayaan yang jauh
berbeda itu makin kental. Kebudayaan Eropa (Belanda) dan Timur (Jawa), yang
berbeda etnik dan struktur sosial membaur jadi satu.Golongan masyarakat atas
adalah pendukung utama kebudayaan Indis. Dalam membangun rumah tempat tinggal
gaya Indis, golongan pengusaha atau pedagang berperan cukup besar, misalnya
mereka yang tinggal di Laweyan (Surakarta), dan Kotagede (Yogyakarta). Pada
masa VOC, secara garis besar struktur masyarakat dibedakan atas beberapa
kelompok. Masyarakat utama disebut signores, kemudian keturunannya disebut
sinyo. Yang langsung merupakan keturunan Belanda dengan pribumi “grad satu”
disebut liplap, sedang “grad kedua” disebut grobiak, dan “grad ketiga” disebut
kasoedik. Liplap biasanya menjadi pedagang atau pengusaha, yang sangat disukai
menjadi pedagang budak karena mendapat untung banyak. Ada pun grobiak
kebanyakan menjadi pelaut, nelayan, dan tentara, sedangkan kasoedik mata
pencariannya menjadi pemburu dan nelayan. Telundak untuk santaiRumah-rumah
mewah milik para pejabat tinggi VOC menjadi pioner berkembangnya kebudayaan
Indis. Pembangunan rumah pesanggrahan oleh para pembesar kompeni misalnya,
diawali dengan mendapatkan sebidang tanah berupa hutan. Semula mereka
mendapatkan hak milik dari penguasa tertinggi Hindia Belanda. Rumah dan gereja
kecil di Depok, misalnya, pembangunannya diprakarsai sendiri oleh Chastelijn,
pemiliknya. Rumah dan kebun tuan tanah Materman (yang kini mengingatkan nama
daerah Matraman), dilaksanakan oleh tuan tanahnya sendiri. Rumah tempat tinggal
Belanda masa awal di Jawa mempunyai susunan khas mirip dengan yang ada di
negeri asalnya.
Di
lain sisi rumah mewah dan rumah tinggal di luar benteng dibangun dalam
lingkungan alam dunia Timur, atau Jawa. Sehingga hasil akhirnya adalah bentuk
campuran, yakni tipe rumah Belanda dengan bentuk rumah pribumi Jawa.
Rumah-rumah bergaya Indis. Bangunan rumah mewah semula dipergunakan oleh
orang-orang Belanda sebagai tempat tinggal di luar kota, yang kemudian juga
didirikan di wilayah-wilayah baru di Batavia. Corak bangunan rumah tinggal
demikian ini mirip dengan rumah para pedagang kaya di kota lama Baarn atau
Hilversum, Belanda. Ciri menonjol pada rumah-rumah Belanda di Batavia ialah
adanya telundak (semacam teras) yang lebar. Telundak yang luas itu bukan
sekadar sebagai bagian dari sebuah bangunan rumah, tetapi mempunyai arti dan
kegunaan khusus, sebagai sarana hubungan sosial. Telundak menjadi tempat
bertemu yang ideal antarkeluarga dan tetangga. Telundak yang lebar ini
kebanyakan digunakan untuk duduk santai dan menghirup udara segar di sore hari.
Pada masa berikutnya, pada sudut-sudutnya ditaruhkan bangku. Sebuah pagar
rendah dibuat untuk memisahkan dari trotoar jalan, yang lalu dihilangkan guna
mendapatkan ruang yang lebih luas.
Pada
sore atau malam hari, mereka bergerombol berdatangan di ruang ini sambil
merokok dengan pipa cangkolong, atau minum-minum, dan makan makanan kecil.
Kadang-kadang orang tidur-tiduran di kursi malas untuk memulihkan stamina.Dari
catatan-catatan kuno, ruang tengah yang terletak di belakang ruang depan
disebut voorhuis. Pada dinding ruang ini digantungkan lukisan-lukisan sebagai
hiasan, di samping pajangan piring-piring hias dan jambangan porselin. Di ruang
ini terdapat juga sebuah kerkstoel, atau kursi untuk kebaktian, khususnya untuk
nyonya rumah.Setiap hari Minggu, kursi yang berukir bagus ini digotong ke
gereja oleh budak-budak perempuan bersama dengan kotak sirih, payung, kitab
suci, dsb. Pada dinding ruangan ini juga tergantung perabotan lain macam
senjata atau alat perang seperti senapan, pedang, perisai, tombak, dsb. Pada
waktu itu setiap penghuni rumah diharuskan menyediakan senjata untuk ikut
menjaga keamanan. Di dalam ruang zaal diletakkan kelengkapan rumah seperti meja
makan, almari tempat rempah-rempah, dan meja teh. Almari hias yang penuh berisi
piring cangkir porselin juga ada yang diletakkan di dalam atau di atas almari,
bahkan porselin-porselin itu ada yang diletakkan pada rak-rak papan,
consol-consol, atau deurpilaster. Hiasan utama pada ruang zaal ini adalah
tangga yang di Belanda sana biasa diletakkan di sudut bagian rumah depan,
sedangkan di Batavia umumnya diletakkan di sudut belakang zaal.
Mengamati
orang mandipada rumah yang berukuran besar terdapat bangunan-bangunan samping
yang dipergunakan untuk gudang, tempat menyimpan kayu bakar, tandon air minum,
beras, minyak, dsb. Biasanya bangunan rumah samping bertingkat, ruang tingkat
atas digunakan untuk tempat tinggal para budak. Kebiasaan menyediakan tempat
tinggal untuk budak tidak dikenal di Belanda. Para budak ini kesehatannya tidak
terurus dengan baik. Hal demikian juga terjadi pada ruang-ruang pembantu di
rumah induk milik para penguasa Belanda yang juga jarang dijaga kebersihannya.
Sebagai contoh, budak yang tinggal di dalam rumah van Riemsdijk [apakah ia
gubernur jendral??] di Tijgergracht. Di rumah ini bertempat tinggal tidak
kurang dari 200 orang budak, yang terdiri atas anak-anak, orang tua atau muda
yang tinggalnya berjejal. Di rumah van Riemsdijk itu juga terdapat bangunan
berbentuk rumah-rumahan kecil yang terbuka disebut speelhuisje yang terletak di
tepi kali yang khusus dipergunakan untuk mandi. Kemudian, van Riemsdijk
menggunakannya sebagai kamar tunggu para tamu dengan menghilangkan jenjang
tangga yang menuju ke arah kali. Sementara itu, ada dua buah rumah kecil
berkubah yang terletak di sungai di depan rumah Gubernur Jendral Van der Parra
di Jalan Veteran sekarang. Diletakkannya satu perangkat tempat duduk pada
ruangan rumah kecil berkubah ini untuk bersantai, bahkan juga dipergunakan
untuk menerima tamu-tamunya. Ambang pintu diletakkannya dekat dengan wastrap
(tempat membersihkan kaki sebelum naik ke tangga). Bagian dalam ruang ini
diusahakan berpenampilan sebagus mungkin.
Dengan
demikian, Paduka Tuan Gubernur Jenderal di pagi hari leluasa mengamati setiap
orang yang mandi di kali. Van der Parra tidak tinggal bersama istri di Batavia
dan tidak seharian pergi ke sungai, boleh jadi bangunan ini tempat untuk
berganti pakaian saja. Mungkin juga dimaksudkan sebagai hidro hobi, sebagai
petunjuk bahwa ia pernah berada di Belanda. Orang yang lahir di Belanda
sebenarnya membenci kebiasaan mandi setiap hari. Bersantap sup kura-kura dan
daging kijangGambaran gaya hidup mewah Indis antara lain dapat disimak pada
penuturan Rooda yang menginap di Pesanggrahan Tjiampea dekat Bogor. Pada awal
abad XIX, ia menulis dalam catatan singkatnya tentang kehidupan tuan tanah
pemilik pesanggrahan:”… Pagi hari jam 05.30 kami dibangunkan dengan bunyi
lonceng. Tuan-tuan dan nyonya-nyonya, para tamu segera memakai sarung dan
kebaya tipis. Kami menuju serambi belakang untuk bersantai sambil minum kopi
atau teh ditemani manisan dan buah-buahan.
Usai
mandi para lelaki dengan menunggang kuda atau kereta mengelilingi kebun.
Kemudian dilanjutkan membaca surat-surat, surat kabar, menulis, atau membaca.
Makan pagi yang mewah dan enak pun sudah dihidangkan. Hidangan yang semacam ini
di Eropa biasanya untuk makan siang. Sambil menikmati suguhan, telinga kami
dihibur suara gamelan dan musik Eropa yang merdu. Para perempuan kemudian ke
toilet dan tuan-tuan menuju ke meja bilyar.
Di
sini orang mendengar orgel putar yang merdu diselingi dengan piano sambil
merokok cerutu, omong-omong, dan minum anggur pagi. Kurang lebih pukul 13.00
adalah waktunya orang makan dengan piring lengkap, yang terdiri antara lain jenis-jenis
makanan Indis. Seperti kare dari sarang burung atau sup kura-kura, nasi,
sayur-sayuran, buah-buahan, berbagai daging sapi, kijang, ikan, rempah-rempah,
acar, nanas, mangga dan berbagai jenis buah-buahan; mentimun, dan macam-macam
manisan yang direndam dengan minuman anggur. Pelayannya adalah para budak dan
pembantu perempuan muda. Makan siang ini diiringi dengan lagu-lagu musik Eropa.
Sementara itu pelayanan tuan rumah sangat bersahabat, tidak dibuat-buat dan
dengan penuh kegembiraan sehingga hidangan selalu menjadi kenangan. Usai makan
ada sementara tamu yang beristirahat sebentar, ada pula orang-orang yang minum
teh dan kue-kue. Disusul acara perjalanan keliling dengan naik kuda atau kereta
kuda. Setelah puas berkeliling disuguhkan kopi, selanjutnya para tamu muda
berdansa dan yang tua-tua main kartu di meja permainan. Pada pukul 10.00 malam
berkumpullah orang-orang itu untuk makan malam. Baru pada tengah malam pergilah
masing-masing ke tempat tidurnya ….”
Bukan
mikrokosmos Gaya Indis berpangkal pada dua akar kebudayaan, yaitu Belanda dan
Jawa yang sangat jauh berbeda. Untuk memahaminya perlu diketahui adanya suatu
pengertian situasi atau fenomena kekuasaan kolonial dalam segala aspek dan
proporsinya. Sebagai contoh dalam hal membangun rumah tempat tinggal dengan
susunan tata ruangnya. Arti simbolik suatu bagian ruang rumah tinggal
berhubungan erat dengan perilaku yang aktual. Pada suku Jawa, misalnya, tidak
dikenal ruang khusus bagi keluarga dengan pembedaan umur, jenis kelamin,
generasi, famili, bahkan di antara anggota dan bukan anggota penghuni rumah,
fungsi ruang tidak dipisahkan atau dibedakan dengan jelas. Contoh lain yang
sangat menarik adalah keselarasan sistem simbolik pada umumnya, khususnya gaya
penghuninya. Betapa canggungnya orang pribumi Jawa yang hidup secara
tradisional di kampung, kemudian pindah untuk bertempat tinggal di dalam rumah
gedung di dalam blok atau kompleks dengan suasana rumah bergaya Barat yang
modern. Kelengkapan rumah tangga yang serba asing, pembagian ruang-ruang di dalam
rumah dengan fungsi yang khusus di dalam rumah dengan fungsi agar privasi
terjamin. Semua itu menjadikan makin canggungnya orang pribumi untuk tinggal di
dalam rumah yang asing itu. Anggapan bahwa rumah adalah model alam mikrokosmos
menurut konsep pikiran Jawa, tidak didapatkan pada alam pikiran Eropa.
Jelas,
tempat tinggal orang Belanda tidak dihubungkan dengan kosmos dan tidak
mempunyai konotasi ritual seperti pandangan dan kepercayaan Jawa. Memang, orang
Eropa mengenal peletakan batu pertama dan pemancangan bendera di atas kemuncak
bangunan rumahnya yang sedang dibangun dengan diikuti pesta minum bir, tetapi
hal semacam ini adalah peninggalan budaya lama mereka. Kegiatan itu adalah gema
saja dari adat lama, yang sudah kabur pengertiannya. Pada orang Jawa menaikkan
molo sebuah rumah tinggal dengan selamatan, melekan (tidur malam), meletakkan
secarik kain tolak bala, sajen, dan memilih hari baik, memiliki arti simbolik
tertentu. Bagi orang Jawa meninggalkan adat kebiasaan seperti itu sangat berat
karena adanya paham kepercayaan tentang kekuatan supranatural yang sulit untuk
dijelaskan.
Gaya
hidup dan bangunan rumah Indis pada tingkat awal cenderung banyak bercirikan
budaya Belanda. Hal ini terjadi karena para pendatang bangsa Belanda pada awal
datang ke Indonesia membawa kebudayaan murni dari Belanda. Pengaruh afektif
kebudayaan Belanda yang sangat besar lambat laun makin berkurang, terutama
setelah anak keturunannya dari hasil perkawinan dengan bangsa Jawa makin
banyak.Perkawinan di antara mereka melahirkan masyarakat Indo. Mereka menyadari
akan perlunya kebudayaan Belanda untuk tetap diunggulkan sebagai upaya untuk
menjaga martabat sebagai bangsa penguasa. Masyarakat Indo dan para priyayi baru
ini masih tetap menganggap perlu tetap adanya budaya masa lampau yang
dibanggakan. Mereka menganggap perlunya menggunakan budaya Barat demi karier
jabatan dan prestisenya dalam hidup masyarakat kolonial. Hal semacam ini
tampak, misalnya dalam cara mereka bergaul, dalam kegiatan hidup sehari-hari,
seperti menghargai waktu, cara dan disiplin kerja, dsb.
Pentingnya
si “jago” di atas rumah di lain sisi akibat pertemuan dan percampuran peradaban
Jawa dan Eropa (Belanda) melahirkan gaya budaya campuran, gado-gado. Di mata
suku Jawa ada pendapat budaya Indis adalah kasar atau tidak Jawa. Sementara di
mata orang Belanda dianggap rendah dan aneh. Di berbagai kota di Jawa terdapat
nama jalan atau kampung dengan memakai nama orang atau bahasa Belanda (Eropa)
yang acap kali orang sudah tidak mengenalnya. Sementara itu hiasan di atas atap
rumah juga menjadi salah satu ciri budaya Indis. Di Jawa sendiri, hiasan di
bagian atap rumah kurang mendapat tempat, kecuali pada bangunan-bangunan
peribadahan (masjid, gereja, pura, dan candi). Pada bangunan rumah Eropa,
hiasan kemuncak mendapat perhatian dan mempunyai arti tersendiri, baik dari
sudut keindahan, status sosial, maupun kepercayaan. Banyak rumah penduduk di
Demak, Jawa Tengah, pada bubungan atapnya dihiasi dengan deretan lempengan
terakota yang diwujudkan seperti gambar tokoh-tokoh wayang, berderet-deret
dengan gambar gunungan tepat di tengah-tengah. Masing-masing lempengan terakota
dihiasi dengan mozaik pecah-pecahan cermin, sehingga di siang hari memantulkan
sinar yang gemerlapan. Hiasan atap rumah-umah di Demak ini jelas hanya berfungsi
sebagai hiasan semata-mata, tanpa mempunyai arti simbolik tertentu.Kehadiran
bangsa-bangsa Eropa di Indonesia sejak awal abad XVI mempengaruhi berbagai
unsur kebudayaan di antaranya juga dalam hal hiasan kemuncak bangunan rumah.
Di
Belanda dengan iklimnya yang sangat keras, penunjuk arah angin dahulu merupakan
alat yang penting. Sehubungan dengan ini Washington Irving menulis tentang
Nieuw Amsterdam di dalam A History of New Netherland. Dia menyebutkan, pada
setiap rumah di sini ada weerhaan yang sering menunjukkan ke arah yang tidak
sama. Oleh karena itu, biasanya orang mengarahkan pandangan ke rumah gubernur,
karena di sini orang beranggapan arah hadap weerhaan di rumah gubernurlah yang
benar. Akan tetapi, baru lama kemudian mereka mengetahui gubernur memang
memelihara pembantu-pembantu yang mempunyai tugas tetap setiap hari memanjat
atap untuk membenarkan arah ayam jago (penunjuk arah dengan gambar ayam jago)
menuju ke arah yang benar. Pada Abad Tengah tidak semua orang dapat dengan
sekehendak hati membuat windvaan (petunjuk arah angin) karena dikeluarkan
ketentuan-ketentuan tertentu oleh penguasa, baik tentang bentuk maupun
perwujudannya. Misalnya seorang ridder (bangsawan) di atas puncak istananya
dengan windvaan berbentuk seperti bendera, sedang untuk baanderheer (pejabat
biasa) menggunakan penunjuk arah berbentuk persegi empat. Pada abad XV
bangsawan-bangsawan tinggi menaruhkan pada ujung tongkatnya windvaan dengan
hiasan mahkota. Ada pula yang menaruh hiasan berwarna keperakan pada sisi sudut
persegi empat diisi dengan hiasan rozet, tetapi lazimnya diisi dengan lambang
keluarga pemiliknya. Umumnya windvaan terbuat dari logam dengan warna-warna
manyala yang dapat terlihat dari kejauhan. Yang sangat disukai adalah warna
merah metalik, kemudian warna-warni, khususnya keemasan. Warna keemasan adalah
warna yang mudah luntur, yang lambat laun akan menjadi jelek. Karena itu,
disebut stofgona. Ada pula warna-warni hiasan ini yang dibuat dari porselin
atau teracotta.Di Eropa sekarang, khususnya di Belanda, hiasan kemuncak yang
berupa penunjuk arah angin dengan bermacam-macam bentuknya, sering menunjukkan
macam usaha atau pekerjaan pemiliknya. Misalnya, lukisan jentera alat memintal
(roda alat tenun) terdapat di kota Leren, gambar bajak (alat untuk membajak tanah)
pada kemuncak gudang gandum di dekat Groningen, alat pencukur di atas rumah
tukang cukur (di Maastricht), sebuah sepatu besar di atas toko sepatu di
Utrechtse Straat 48, Amsterdam. Lukisan binatang seperti kuda dan sapi banyak
digunakan untuk hiasan rumah petani.
Bersamaan
dengan runtuhnya kekuasaan Hindia Belanda ke tangan balatentara Jepang pada
1942, perkembangan kebudayaan Indis ikut-ikutan terhenti. Gaya hidup Indis yang
mewah terusik oleh PD II yang berkecamuk dan melumpuhkan gairah hidup. Sulitnya
hidup masa perang juga menghentikan segala aktivitas kesenian.Sungguh pun
bangunan rumah gaya Indis masih banyak yang berdiri kokoh hingga kini, tetapi
gaya hidup penghuninya yang bercirikan budaya Indis di Indonesia sudah
tamat.Namun, sebagai buah kebudayaan, akar-akar budaya Indis masih ada yang
tetap berlanjut, hidup di antara unsur-unsur budaya baru. Peradaban Indis tidak
lagi menjadi kebanggaan sebagai identitas suatu golongan masyarakat dan sangat
dimusuhi pada zaman Jepang dan revolusi fisik, tetapi telah melebur.Karena
nilai-nilai baru belum ada, beberapa unsur peradaban yang banyak dianut dan
diciptakan oleh kaum terpelajar, baik priyayi pribumi maupun golongan Indo,
serta para birokrat pemerintahan dari masa zaman Hindia Belanda, masih tetap berlanjut.Sementara
itu di Belanda orang-orang yang lahir atau pernah tinggal di Indonesia tetap
melanjutkan kebudayaan Indis. Pasar malam Tong-tong di Den Haag, Indische
Restaurant dengan sajian Indische rijsttafel seperti soto, nasi goreng, sate
ayam, wedang ronde, sekoteng, dsb. hingga kini ramai dikunjungi orang.
Penulis
; G. Sujayanto