Sebagaimana diketahui, bangsa penjajah selain
bertujuan untuk mengeruk keuntungan ekonomi (gold) dari tanah jajahan (glory)
juga mengemban misi agama (gospel) yang sama sekali berbeda dengan agama
mayoritas bangsa Indonesia. Di antara upaya yang dilakukan untuk mewujudkan
misi agama tersebut adalah dengan mempertentangkan hukum adat dengan hukum
Islam.
Di antara upaya yang dilakukan oleh bangsa penjajah
dalam menyebarkan misi agama mereka adalah dengan memasuki dan mencampuri hukum
bangsa jajahan. Hukum Islam sebagai hukum yang hidup dan diterapkan oleh
masyarakat ketika itu dipengaruhi bahkan sedikit demi sedikit disingkirkan.
Kenyataan ini dapat diinterpretasikan dari aturan-aturan yang dikeluarkan oleh
mereka.
Sedikitnya, ada dua aturan yang diapungkan secara
jelas dalam rangka menghambat laju hukum Islam itu. Pertama adalah ketentuan
Pasal 163 IS (Indische Staatsregeling) dan kedua adalah Pasal 131
ketentuan serupa. Di ketentuan pertama, yakni Pasal 163 IS mereka membagi
penduduk Indonesia kepada tiga kelompok. Pembagian kepada tiga kelompok ini
juga berimbas kepada bidang hukum yang berlaku bagi masing-masingnya.
Kelompok dengan dasar Pasal 131 IS ini dapat dilihat
sebagai berikut:
1. Golongan
Eropa
2. Golongan Timur Asing
3. Golongan Bumi Putera
2. Golongan Timur Asing
3. Golongan Bumi Putera
Golongan Eropa terdiri dari orang-orang Belanda, orang
eropa lain di luar Belanda, orang Jepang, semua orang yang berasal dari wilayah
lain dengan ketentuan wilayah itu tunduk kepada hukum keluarga yang secara
substasial memiliki asas hukum yang sama dengan hukum Belanda. Kemudian juga
ditambahkan dengan anak sah yang diakui dengan Undang- Undang serta anak-anak
klasifikasi golongan eropah dimaksud yang lahir di tanah jajahan.
Adapun golongan Timur Asing terdiri dari semua orang
yang bukan golongan eropah maupun penduduk asli tanah jajahan. Mereka ini di
antaranya adalah orang Arab, India, dan China.
Sedangkan golongan terakhir, yakni Bumi Putera terdiri
dari orang Indonesia asli. Pengelompokan yang demikian ini–seperti disinggung
terdahulu–berimbas kepada bidang hukum yang berlaku bagi tiap-tiap kelompok.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 131 IS bahwa bagi golongan Eropah hukum yang
berlaku adalah hukum yang berlaku di negeri Belanda. Adapun golongan Timur
Asing berlaku hukumnya sendiri.
Selanjutnya bagi golongan terakhir–Bumi Putera–hukum
yang berlaku adalah hukum adat. Jika kepentingan sosial menghendaki maka hukum
eropah dapat berlaku lintas golongan. Keberlakuan ini selanjutnya disebut
sebagai penundukan diri terhadap hukum eropah, baik secara sempurna maupun
sebagian saja. Penundukan sempurna dipahami bahwa ketentuan hukum eropah
berlaku utuh bagi setiap subjek hukum yang melakukan suatu perbuatan hukum.
Dengan kata lain, subjek hukum tersebut dianggap sama dengan golongan eropah
sehingga hukumnya juga hukum eropah.
Berbeda halnya dengan jenis penundukan hukum yang
disebutkan terakhir. Pada penundukan ini, hukum eropah baru berlaku ketika
perbuatan hukum yang dilakukan oleh golongan lain tersebut tidak dikenal dalam
hukum mereka.
Pemberlakuan hukum adat bagi golongan Bumi Putera
sudah tentu menimbulkan masalah. Masalah dimaksud mengingat bahwa adat yang
terdapat di Indonesia sangat beraneka ragam sesuai dengan etnis, kondisi sosial
budaya, maupun agamanya. Paling tidak, dengan adanya ketentuan tertulis seperti
dijelaskan terdahulu menimbulkan bias negatif terhadap hukum agama yang dianut
oleh bangsa Indonesia yang mayoritas Islam.
Bias negatif itu adalah membenamkan hukum Islam di
bawah bayang-bayang hukum adat. Hal ini sudah tentu dapat dimengerti.
Bagaimanapun juga, bangsa penjajah selalu berusaha agar ideologi mereka bisa
diikuti oleh bangsa jajahannya.
Seiring dengan usaha untuk menanamkan ideologi ini,
ada tiga teori yang diperkenalkan. Dua teori pertama diperkenalkan oleh bangsa
Belanda dan satu teori terakhir dilontarkan oleh orang Indonesia. Teori
terakhir ini merupakan teori bantahan sekaligus teori pematah. Ketiga teori itu
secara berurut adalah; Receptio in Complexu, Receptie Theorie,
dan Receptio a Contrario.
- Receptio in Complexu
Receptio in Complexu merupakan teori yang dikemukakan
oleh Lodewijk Willem Christian Van Den Berg (1845–1927). Teori ini
bermakna bahwa hukum yang diyakini dan dilaksanakan oleh seseorang seharmoni
dengan agama yang diimaninya. Oleh sebab itu, jika seseorang beragama Islam
maka secara langsung hukum Islamlah yang berlaku baginya, demikian seterusnya.
Dengan kata lain, teori ini dapat dipadankan dengan sebutan “teori penerimaan
secara kompleks atau sempurna”.
- Receptie Theorie
Receptie Theorie atau teori resepsi merupakan teori
yang diperkenalkan oleh Christian Snouck Hurgronje (1857–1936). Teori
ini selanjutnya ditumbuhkembangkan oleh pakar hukum adat Cornelis Van
Vollenhoven (1874–1933) dan Betrand Ter Haar (1892–1941).
Teori resepsi berawal dari kesimpulan yang menyatakan
bahwa hukum Islam baru diakui dan dilaksanakan sebagai hukum ketika hukum adat
telah menerimanya. Terpahami di sini bahwa hukum Islam berada di bawah hukum
adat. Oleh karena itu, jika didapati hukum Islam dipraktekkan di dalam
kehidupan masyarakat pada hakikatnya ia bukanlah hukum Islam melainkan hukum
adat. Teori ini dapat pula dipadankan dengan sebutan “teori penerimaan”.
- Receptio a Contrario
Sebagaimana diutarakan di depan bahwa teori ini
merupakan teori pematah–populer yang dikemukakan oleh Hazairin (1906–1975)
dan Sajuti Thalib (1929–1990). Dikatakan sebagai teori pematah karena
teori ini menyatakan pendapat yang sama sekali berlawanan arah dengan receptie
theorie Christian Snouck Hurgronje di atas. Pada teori ini justru hukum
adat-lah yang berada di bawah hukum Islam dan harus sejiwa dengan hukum Islam.
Dengan sebutan lain, hukum adat baru dapat berlaku jika telah dilegalisasi oleh
hukum Islam.
Dari ketiga teori ini terlihat bahwa usaha untuk
meredam gerak maju hukum Islam didasarkan kepada teori kedua, yakni receptie
theorie. Hukum Islam dianggap sebagai hukum jika telah dilegalisasi oleh hukum
adat. Oleh karenanya, jika hukum yang diterapkan adalah hukum Islam namun
menurut ketentuan hukum tertulis–Pasal 131 IS–ia bukanlah hukum Islam melainkan
hukum adat.
Makna tersembunyi di balik pemberlakuan teori ini
adalah dihadapkannya bangsa penjajah ketika itu dengan tiga konsep hukum yang
masing-masingnya memiliki karakter tersendiri.. Ketiga konsep dimaksud adalah
hukum Islam, hukum Barat, dan hukum adat. Berhadapan dengan ketiga konsep ini
sudah dapat dipastikan bahwa bangsa penjajah akan menetapkan hukum yang lebih
menguntungkan bagi mereka. Dan hukum yang lebih menguntungkan itu dijatuhkan
kepada hukum adat. Jika hukum yang diberlakukan semata-mata adalah hukum
bangsa penjajah sudah tentu tingkat kebencian dan permusuhan terhadap mereka
semakin besar. Oleh karena itu, untuk menghindari sisi negatif ini mereka
mengapungkan hukum adat yang memang menunjang terhadap misi mereka. Dengan
demikian, benar kiranya kalau hukum adat dimaksudkan oleh bangsa penjajah untuk
melumpuhkan gerak langkah pelembagaan hukum Islam yang bermuara kepada
tercapainya misi penjajahan mereka.
Kesimpulan Penjelasan di atas memberikan pemahaman
bahwa politik hukum yang dijalankan oleh bangsa penjajah selalu mengacu dan
melindungi kepentingan mereka di negeri jajahan. Kepentingan itu tidak hanya
berada pada lingkup ekonomi dengan keuntungan materilnya tetapi juga dalam
bidang hukum, memunculkan hukum adat di atas hukum agama dengan tujuan
menumbuhsuburkan politik devide et impera.
Sumber: serbasejarah.