Semenjak pemerintah kolonial Belanda memberlakukan
sistem Tanam Paksa di Indonesia, banyak menimbulkan penderitaan bagi rakyat
pribumi seperti kemiskinan, kelaparan bahkan kematian. Selain itu banyak juga
penduduk yang meninggalkan tanah kelahirannya hanya sekedar untuk menghindari
diri dari sistem Tanam Paksa yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Berbagai penderitaan pada saat itu banyak dialami oleh
masyarakat Indonesia, misalnya kejadian-kejadian diberbagai wilayah di
Indonesia, seperti di Cirebon pada tahun 1843 banyak penduduk yang meninggalkan
daerahnya dengan tujuan untuk menghindari dari kekejaman belanda. Di daerah
lain juga telah mengalami beberapa kejadian kelaparan yang sangat
memprihatinkan, seperti di daerah Demak dan Grobogan yang mengakibatkan
kematian secara besar-besaran. Sementara itu pada umumnya rakyat di negeri
Belanda banyak yang tidak tahu atas kekejaman di daerah tanah jajahannya yang
diakibatkan oleh Tanam Paksa, sebaliknya Tanam Paksa telah meningkatkan
kemakmuran rakyat di negeri Belanda, sebab banyak mendapat keuntungan yang
sangat melimpah dari penyelenggaraan politik Tanam Paksa, sementara akibat dari
pelaksanaan politik tersebut masyarakat pribumi (Masyarakat Indonesia) menjadi
semakin menderita.
Keadaan seperti ini mulai berubah setelah tahun 1850,
dimana rakyat Belanda memperoleh berita mengenai kejadian yang sebenarnya di
Indonesia yang ditimbulkan oleh Tanam Paksa. Kesewenang-wenangan dari para
pegawai pemerintah kolonial Belanda, kejadian di daerah Cirebon, Demak, dan
Grobogan, lambat laun sampai beritanya di negeri Belanda, sehingga antara tahun
1850-1860 timbul terjadi perdebatan diantara para tokoh di negeri Belanda yang
peduli terhadap nasib bangsa Indonesia akibat dari kebijakan Tanam Paksa.
Sekitar pertengahan abad ke-19 mulai muncul gerakan
humanis di Belanda yang dipelopori antara lain oleh Conrad Theodore van
Deventer (1857-1915). Gerakan ini muncul setelah ada berita-berita tentang
perilaku kolonial di Hindia Belanda, tegasnya praktek penindasan. Gerakan ini
menilai bahwa Belanda telah berhutang budi banyak kepada Hindia Belanda.
Belanda telah mengambil banyak dari negeri jajahan, praktis tanpa memberi
apa-apa. Gerakan ini menuntut perubahan bentuk hubungan yang menguntungkan
sefihak tersebut menjadi hubungan yang saling menguntungkan (symbiosis
mutualism).
Adapun yang tergolong kepada kelompok kaum humaniter
lainnya diantaranya seperti : Walter Baron Van Hoevel, Fransen Van De Futte,
juga seorang Perdana Menteri Torbeck tampil ke depan untuk membela kepentingan
bangsa Indonesia. Pada saat itu tokoh yang dianggap paling berhasil merubah
opini rakyat Belanda dengan sebuah karya tulisannya adalah “Douwes Dekker”
dengan nama samarannya “Multatuli”. Yang berhasil menulis sebuah karya buku
yang berjudul “Max Havelaar”.
Politik Etis kolonial Belanda ini awalnya tatkala
dirumuskan menimbulkan sikap pro dan kontra, baik di kalangan para intelektual,
politisi dan rohaniawan (kalangan gereja) di Belanda. Ada sebagian yang
menentang (dalam kadar yang cukup keras) di Parlemen Belanda, namun di lain
pihak ada yang mendukung program ini yang mereka anggap sebagai sesuatu yang
‘manusiawi’ atau bahkan sebagai ‘kewajiban moral’ terhadap rakyat Indonesia.
Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik
tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah
Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap
bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral
tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias
Politika yang meliputi:
1. irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian, 2. emigrasi yakni mengajak penduduk untuk transmigras, 3. memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan (edukasi).
1. irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian, 2. emigrasi yakni mengajak penduduk untuk transmigras, 3. memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan (edukasi).
Banyak pihak menghubungkan kebijakan baru politik
Belanda ini dengan pemikiran dan tulisan-tulsian Van Deventer yang diterbitkan
beberapa waktu sebelumnya, sehingga Van Deventer kemudian dikenal sebagai
pencetus politik etis ini.
Terlepas dari masalah pro dan kontra tersebut, setelah
Ratu Wilhelmina mengeluarkan pidato di Staten General pada tahun 1901, maka
mulailah berlaku Politik Etis tersebut di lapangan secara nyata. Sebelum tahun
1901 politik Belanda semata-mata mementingkan tuntutan ekonomi, yang karena itu
penghisapan kekayaan terhadap Indonesia sama sekali tidak memperhitungkan
rakyat Indonesia. Dengan adanya pidato Ratu Wilhelmina tersebut dimungkinkan
ada keseimbangan antara unsur menjajah dengan unsur memiliki ‘kewajiban moral’
itu.
Jabaran Politik Etis itu oleh Van Deventer
dikonsepsikan dalam wujud irigasi, edukasi dan emigrasi. Dukungan yang
mula-mula muncul adalah dari kalangan kapitalis dan industrialis Belanda yang
pada hakekatnya berkeinginan untuk memasarkan hasil industrinya sambil
melakukan perbaikan ekonomi rakyat Indonesia.
Kebijakan pertama dan kedua disalahgunakan oleh
Pemerintah Belanda dengan membangun irigasi untuk perkebunan-perkebunan
Belanda dan emigrasi dilakukan dengan memindahkan penduduk ke daerah
perkebunan Belanda untuk dijadikan pekerja rodi. Hanya pendidikan yang
berarti bagi bangsa Indonesia.
Perbaikan sosial yang nampak mulai ditanggapi antara
lain dalam hal pendidikan. Mengapa ini dilakukan ? Sebab, masalah pendidikan
(edukasi) hampir tidak tergarap dan memang sengaja tidak digarap sebelum
Politik Etis dicetuskan. Hal ini tergambar dalam tulisan Van Deventer dalam
majalah De Gids (1908) sebagai berikut: “Sampai pada waktu-waktu yang terakhir,
hampir ada kita memikirkan pendidikan kecerdasan dan penyempurnaan akal budi
pekeerti bangsa Bumiputera. Asal pajak dibayarkan, kewajiban rodi dan bertanam
dilakukannya, asal kehidupan rakyat tidak sengsara, memadailah. Maka senanglah
hati pemerintah.”
Pada tahun 1905, tahun pemilihan di Belanda, Van
Deventer dan kawan-kawannya menang dalam Parlemen Belanda, yang karena itu
mereka menjadi pemeran utama dalam pembentukan kabinet. Seorang anggota partai
Demokrat Liberal, D. Fock, menjadi Menteri Jajahan. Dia bersedia memajukan dan
meluaskan pendidikan para pribumi. Usaha ini terdukung oleh saran dan konsep
Snouck Hurgronje, seorang profesor indolog di Leiden (1906) yang menyarankan
agar pemerintah kolonial Belanda memberikan pendidikan kepada elit pribumi
dalam tradisi yang paling baik dari Barat yang nantinya diharapkan menjadi
tokoh penting yang berpengaruh luas dalam masyarakat Indonesia.
Sesuai dengan semangat Politik Etis, pemerintah
kolonial Belanda memperbanyak jumlah sekolah. Pengaruh politik etis dalam
bidang pengajaran dan pendidikan sangat berperan sekali dalam pengembangan dan
perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di Hindia Belanda. Salah seorang dari
kelompok etis yang sangat berjasa dalam bidang ini adalah Mr. J.H. Abendanon
(1852-1925) yang Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan selama lima tahun
(1900-1905). Sejak tahun 1900 inilah berdiri sekolah-sekolah, baik untuk kaum
priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah. Pada tahun
1903 mulai didirikan sekolah rendah yang dinamakan Volk School (Sekolah Desa)
dengan masa belajar 3 tahun yang kemudian dilanjutkan denmgan program Vervolg
School (sekolah Lanjutan) dengan masa belajar selama 2 tahun. Pemulaan sekolah
semacam ini lalu dilanjutkan untuk tahun-tahun berikutnya, misalnya yang
dinamakan Meer Uitgebreid Leger Onderwijs (MULO), yakni sebuah sekolah yang
jenjangnya setingkat dengan SMP pada zaman Belanda dan program Algemeene
Middelbare School (AMS) yang jenjangnya setingkat dengan SMA.
Walaupun nampaknya cukup baik tujuan didirikan
bentuk-bentuk persekolahan di atas, namun dalam prakteknya, sekalipun tidak
secara langsung, terdapat kecenderungan diskriminatif. Kecenderungan itu nampak
dalam hal cara menyaring anak sekolah. Caranya ialah dengan memberlakukan biaya
sekolah yang cukup mahal, dan juga sering diutamakan bagi keluarga yang
memiliki keturunan darah biru (darah ningrat, darah keraton) atau dari kalangan
para “priyayi” (pangreh praja atau pegawai dalam kantor pemerintah Belanda).
Oleh karena itu, bagi kalangan masyarakat bawah, maka hanya dari anggota
masyarakat yang mampu atau kaya saja yang dapat menyekolahkan anak-anaknya ke
jenjang pendidikan yang cukup tinggi. Bagi anggota masyarakat yang kurang
berpunya atau miskin terpaksa tidak dapat memasukkan anak-anaknya ke sekolah,
atau paling tidak terpaksa mengambil alternatif lain, misalnya memasukkan
anak-anaknya ke dalam pondok pesantren.
Satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa
tujuan penyelenggaraan sekolah yang dilakukan Belanda di atas tidak murni hanya
semata-mata untuk memberdayakan pendidikan masyarakat, melainkan justru untuk
menghasilkan tenaga birokrat (sesuai dengan level pendidikannya) untuk dapat
direkrut dalam jabatan-jabatan teknis di pemerintahan kolonial Belanda. Sebagai
contoh, sejak 1864 oleh Belanda telah diintroduksi sebuah program ujian yang
disebut Klein Ambtenaars’ Examen, yaitu sebuah program ujian pegawai
rendah yang harus ditempuh agar seseorang dapat diangkat sebagai pegawai
pemerintah. Oleh karena itu, nampak jelas bahwa program untuk menciptakan
birokrat rendahan yang cukup menonjol, apalagi setelah pada tahun 1900
diperkenalkan sekolah Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA),
yaitu sebuah sekolah yang dipersiapkan untuk menjadi pegawai pemerintah untuk
kalangan pribumi. Dengan demikian terdapat kesan kuat bahwa kegiatan pendidikan
adalah untuk kelancaran ekonomi dan politik Belanda.
Pelaksanaan politik etis bukannya tidak mendapat
kritik. Kalangan Indo, yang secara sosial adalah warga kelas dua namun secara
hukum termasuk orang Eropa merasa ditinggalkan. Di kalangan mereka terdapat
ketidakpuasan karena pembangunan lembaga-lembaga pendidikan hanya ditujukan
kepada kalangan pribumi (eksklusif). Akibatnya, orang-orang campuran tidak
dapat masuk ke tempat itu, sementara pilihan bagi mereka untuk jenjang
pendidikan lebih tinggi haruslah pergi ke Eropa, yang biayanya sangat mahal.
Ernest Douwes Dekker termasuk yang menentang ekses
pelaksanaan politik ini karena meneruskan pandangan pemerintah kolonial yang
memandang hanya orang pribumilah yang harus ditolong, padahal seharusnya
politik etis ditujukan untuk semua penduduk asli Hindia Belanda (Indiers), yang
di dalamnya termasuk pula orang Eropa yang menetap (blijvers) dan Tionghoa.
Kesimpulan
Pada dasarnya politik ETIS sendiri hanyalah siasat dari pemerintah Belanda. Selain untuk memenuhi tuntutan kaum humanis dan sosial demokrat Belanda, pemberlakuan politik ETIS di bidang pendidikan ada kaitannya dengan kepentingan politik pintu terbuka. Hal ini telah memunculkan kebutuhan akan tenaga yang terdidik dan terampil di bidang administrasi. Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia diarahkan untuk sebesar-besarnya kepentingan Belanda. Dengan kata lain politik ETIS diselewengkan menjadi politik Assosiasi, artinya di dalam pelaksanaannya di arahkan untuk kepentingan Belanda.
Pada dasarnya politik ETIS sendiri hanyalah siasat dari pemerintah Belanda. Selain untuk memenuhi tuntutan kaum humanis dan sosial demokrat Belanda, pemberlakuan politik ETIS di bidang pendidikan ada kaitannya dengan kepentingan politik pintu terbuka. Hal ini telah memunculkan kebutuhan akan tenaga yang terdidik dan terampil di bidang administrasi. Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia diarahkan untuk sebesar-besarnya kepentingan Belanda. Dengan kata lain politik ETIS diselewengkan menjadi politik Assosiasi, artinya di dalam pelaksanaannya di arahkan untuk kepentingan Belanda.