Belum lama euforia kemenangan Tim
Nasional (Timnas) U-19 bergema di seluruh pelosok Indonesia ketika memenangkan kejuaran
AFF U-19, hal itu dapat dimaklumi karena terlalu lama rakyat Indonesia
merindukan gelar juara dalam dunia sepak bola. Terlepas dari rasa nasionalisme,
penulis merasa moment ketika Ilham Udin Armyn berhasil menuntaskan tugasnya
men“jebrett”kan gawang lawan sangat mengharukan, dibandingkan ketika menyanyikan
Indonesia Raya setiap upacara hari Senin atau hari-hari besar nasional lainnya.
Tapi, pemandangan kontras terlihat ketika setiap para pemain Timnas Senior
bertanding, rasa was-was selalu
menghinggapi hampir di seluruh pertandingan pada 90 menit pertama. Poin utama
yang ingin penulis sampaikan disini adalah, peran para pemain yang notabene masih berumur 19 kebawah yang sekarang
sedang di dengung-dengungkan sebagai “pahlawan” adalah para kaum muda.
Tidak berlebihan betapa sanjungan
besar di sematkan untuk kaum muda, seperti ucapan dari Presiden pertama
Republik Indonesia (RI) Ir. Sukarno (1901-1970), bahwa “berikan aku 1000 orang
tua, dan dengan mereka akan aku gerakan Gunung Semeru! tapi beri aku 10 pemuda yang
membara cinta pada tanah airnya, maka dengan mereka akan aku guncangkan dunia”,
kata-kata itu begitu mengagungkan para kaum muda untuk mengasah potensi yang di
milikinya dan membangkitkan semangat juang bagi para kaum muda untuk “mengguncangkan”
dunia. Pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana pemuda zaman dulu
memperjuangkan bangsanya? masihkah para pemuda zaman sekarang memikul beban sebagai agen of change pada zaman reformasi yang
serba modern ini? mengapa bila dilihat dari pola hidup para pemuda zaman modern
ini, cenderung lebih menekankan pada nilai-nilai konsumtif daripada mengedepankan
nilai progresif untuk mengembangkan potensi dan meraih prestasi?
Sebelum dibahas lebih lanjut, maka
perlu ditegaskan definisi pemuda itu sendiri, agar tidak simpang siur
penggunaanya, pemuda disini adalah setiap anak muda yang berumur kisaran antara
15-30 tahun yang bersemangat untuk merubah masa depan bangsanya. Meskipun
definisi pemuda yang di pakai disini berbeda dengan definisi dari badan atau
lembaga yang mengeluarkan definisinya masing-masing. Tapi yang jelas, pemuda
adalah orang yang mempunyai potensi yang dapat membuat keadaan yang ada di
sekelilinganya menjadi lebih baik (atau lebih buruk) dengan kekuatan yang
dimilikinya, baik itu fisik ataupun buah pikirannya dalam membangaun masa depan
bangsa.
Bila dilihat dari perjalanan
sejarah bangsa Indonesia dari zaman pra kemerdekaan sampai dengan sekarang, hampir
disetiap peristiwa besar yang terjadi tidak pernah terlepas dari peran
perjuangan bergelora dari kaum pemuda yang akhirnya menjadi penentu arah masa depan bangsa. Para pemuda
biasanya memiliki sebuah idealisme yang dipegang dengan kuat ketika menjadi
pelajar atau mahasiswa, usia yang muda menjadikan nilai intelektualisme menjadi
tonggak bagi pengabdian yang tanpa pamrih dan tanpa embel-embel apapun demi perjuangan membela kepentingan bangsa dan
negara. Meskipun dalam perjuangannya mereka berbeda suku, agama, ras, antar golongan
bahkan ideologi yang berbeda-beda mereka kesampingkan demi untuk menuju
cita-cita mulia, yaitu kemerdekaan Indonesia.
Peran pemuda sudah di catat dalam
tinta emas perjalanan sejarah Indonesia, kalau diklasifikasikan berdasarkan
tahap-tahap, maka
hampir dalam setiap tahap-tahap tersebut ada sosok pemuda sebagai lokomotif dan garda terdepan perjuangan
bangsa. Secara singkat, penulis -dengan keterbatasannya- membagi peran para
pemuda dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia menjadi beberapa tahap, yaitu:
(1) tahap perjuangan sebelum tahun 1900-an, (2) tahap organisasi (1905-1924),
(3) tahap meneguhkan
identitas diri (1925-1944), (4) tahap revolusi (1945-1949), (5) tahap transisi
(1950-1966), tahap militerisasi (1967-1998), dan (6) tahap reformasi sampai
masa kini (1999-2013). Berikut ini, penulis akan berusaha uraikan secara
singkat peran pemuda pada tiap-tiap tahapan perjalanan sejarah Indonesia
sebagai berikut:
Tahap pertama, yaitu tahap perjuangan
para pemuda sebelum tahun 1900-an. Pada tahap ini biasannya perjuangan
menggunakan senjata dan terjadi di berbagai daerah, perlawanan dengan senjata
tersebut kalah canggih dan komplit dibandingkan dengan pemerintah Kolonial. Selain
itu, pemimpin perlawanan menjadi tokoh sentral dalam menjalankan perlawanannya,
sehingga ketika pemimpin itu tertangkap maka tidak ada yang melanjutkan
perjuangannya, kemudian skup
perlawanannya bersifat lokal dan tidak terkordinir antara daerah satu dengan
daerah yang lainnya. Meskipun tidak berhasil mengusir pemerintah Kolonial,
setidaknnya perlawanan itu berhasil memperlemah kekuatan pemerintah Kolonial.
Peran pemuda yang paling menonjol yang dilakukan sebelum 1900-an adalah perang
Pattimura di Maluku (1817), perang Diponegoro di Jawa (1825-1830), perang Imam
Bonjol (1822-1837) di Sumatra, perang Jelantik (1850) di Bali, serta masih
banyak lagi perlawanan di daerah-daerah yang lainnya, tentu saja tokoh sentral
itu adalah para pemuda yang sedang bergelora untuk mengusir para penjajah dari
tanah airnya.
Tahap yang kedua adalah tahap organisasi
(1905-1924). Tahap organisasi merupakan tahap yang mengedepankan organisasi
sebagai alat perjuangannya, dalam tahap
ini perjuangan senjata sedikit berkurang. Salah satu organisasi tersebut adalah Budi Utomo yang
didirikan pada 20 Mei 1908 (dijadikan hari kebangkitan nasional), menjadi titik
awal perjuangan dengan menggunakan organisasi, para pemuda sadar bahwa
perjuangan dengan bersenjata dan terpisah-pisah yang bertumpu hanya pada
kharisma seorang pemimpin akan mudah dipatahkan oleh pemerintah Kolonial. Ide
pergerakan nasional ini di inspirasikan oleh dr. Wahidin Sudirohusodo
(1852-1917), seorang dokter pribumi yang
gencar keliling Jawa untuk mengumpulkan dana yang dapat di gunakan sebagai beasiswa (studiefonds) bagi penduduk pribumi yang
memiliki potensi. Setelah itu, perjuangan dilanjutkan oleh para pelajar dari
STOVIA (School tot Opleiding van Indische
Artsen) yang diwakili oleh dr. Soetomo (1888-1938) dan kawan-kawan, mereka berkeinginan
untuk meraih pendidikan yang lebih baik dibandingkan dengan pola pendidikan yang
di jalankan oleh pemerintah Kolonial. Para pendiri Budi Utomo rata-rata memiliki
usia 21 tahun.
Sebelum itu bahkan pada usia 26
tahun Haji Samanhudi (1879-1956) mendirikan Sarikat Dagang Islam (SDI) di
Surakarta pada 16 Oktober 1905, untuk mewadahi para pedagang-pedagang (batik) pribumi
muslim agar tidak kalah dan mampu bersaing dengan para pedagang Cina yang
mempunyai status lebih tinggi dari penduduk pribumi. SDI adalah cikal bakal dari
Sarekat Islam (SI) yang di pimpin oleh H.O.S Tjokroaminoto (1882-1934), awalnya
Tjokroaminoto bergabung dengan SDI dan mendirikan cabangnya di Surabaya tahun
1912, tujuan utamanya adalah untuk membangun persaudaraan dan rasa tolong
menolong sesama muslim dan memajukan perekonomian rakyat, waktu memipin SI
Tjokroaminoto berusia 29 tahun. Sejarah membuktikan, lewat Tjokroaminoto para
generasi penentu bangsa pernah menjadi muridnya, sebut saja nama Sukarno, Alimin dan Tan Malaka.
Selain organisasi
Budi Utomo dan SI, tokoh Suwardi Suryaningrat
atau Ki Hadjar Dewantara (1889-1959) bersama dengan dr. Cipto Mangunkusumo (1886-1943)
dan Douwes Dekker (1879-1950) juga mendirikan
partai politik pertama tahun 1912, yaitu Indische
Partij (Partai Hindia), dengan tujuan untuk melawan diskriminasi yang
dilakukan oleh keturunan Belanda asli dengan dukungan dari pemerintah Kolonial pada keturunan
Indo Belanda atau pribumi,
mereka menuntut
persamaan hak dan kerjasama antara keturunan Belanda dengan para keturunan
pribumi. Rata-rata usia mereka hanya 25 tahunan ketika mendirikan partai
tersebut, Indische Partij merupakan
partai politik pertama yang berani menuntut kemerdekaan pada pemerintah
Kolonial. Partai ini di peruntukan untuk menjadi “perumahan nasional” atau
“nasionalisme Hindia” bagi semua orang pribumi, Belanda, Cina dan Arab yang
mengakui Hindia (Indonesia) sebagai
negara dan bangsanya.
Tahap berikutnya adalah tahap meneguhkan identitas diri
(1925-1944), tahap meneguhkan
identitas ini lebih memantapkan untuk mencapai sebuah negara yang berdaulat. Para pemuda sudah memantapkan untuk menuju sebuah negara
yang berdaulat dengan pemerintahan sendiri terlepas dari pemerintah Kolonial. Perjuangan
lewat organisasi tidak
hanya di dalam negeri saja, perjuangan untuk meraih kemerdekaan juga dilakukan
di luar negeri. Perjalanan sejarah juga membuktikan bahwa Perhimpunan Indonesia
(Indische Vereeniging) di Belanda
yang didirikan oleh para pelajar dan mahasiswa pada tahun 1908 menjadi wadah bagi perjuangan para pemuda.
Pada umur 24 tahun, Mohammad Hatta (1902-1980) diangkat sebagai ketua terlama
antara 1926-1930, dalam rentan waktu tersebut, justru pertama kali diikrarkan
apa yang sekarang kita kenal sebagai Manifesto Politik, yang mencakup persatuan
(unity), kemerdekaan (liberty) dan persamaan (egality). Selain itu, mereka berjuang di
negeri orang dengan cara menggunakan media untuk memuat tulisan-tulisan di
majalah Indonesia Merdeka,
yang berisi tentang opini-opini perjuangan untuk mencapai sebuah kemerdekaan,
bebas dan mandiri tanpa tergantung oleh campur
tangan negara lain.
Perjuangan dengan organisasi
pergerakan mencapai puncaknya ketika diadakan kongres pemuda II atau yang
sering disebut dengan sumpah pemuda pada 28
Oktober 1928 atas prakarsa dari Perhimpunan
Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI). Banyak tokoh-tokoh yang berperan serta
sebagai penggerak untuk mengadakan kongres itu, salah satunya adalah Mohammad
Yamin (1903-1962) yang menjabat sebagai sekertaris serta berperan serta
merumuskan bunyi ikrar (keputusan) yang dihasilkan pada kongres tersebut, yaitu
bertumpah darah, berbangsa dan berbahasa satu, Indonesia. Mohammad Yamin ketika
berperan serta dalam sumpah pemuda itu berumur 25 tahun, banyak buah pikirannya
dalam bidang kesejarahan yang sampai sekarang masih menjadi rujukan, atau ada
yang menyebutkan karya-karyanya sebagai “pencipta imaji keindonesiaan”, semisal,
Gadjah Mada (novel) 1948, 6000 Tahun Sang Saka Merah Putih tahun 1958, dan
masih banyak karya-karnya lainnya.
Pada tahun 1942 sampai 1945, Jepang
mengambil alih wilayah jajahan Belanda. Ketika pertama kali datang, Indonesia
menganggap Jepang sebagai “Saudara Tua”, banyak janji-janji yang di berikan
Jepang untuk memberikan kemerdekaan di kemudian hari dengan catatan Indonesia
mau membantu Jepang dalam Perang Dunia II. Tidak
banyak organisasi yang bisa “hidup” di masa kolonialisme Jepang, karena semua
organisasi dan partai di bubarkan. Jepang membentuk
pasukan-pasukan yang sebenarnya di gunakan untuk mem back up tentara Jepang, misalkan Heiho (pembantu prajurit Jepang), Seinenden (barisan pemuda), Keibodan
(pembantu polisi), Peta
(Pembela Tanah Air) dan lainnya, yang sebagan anggotanya berumur antara 18-30
tahun. Pasukan-pasukan ini yang nantinya menjadi cikal bakal menjadi Tentara
Nasional Indonesia (TNI). Banyak tokoh-tokoh militer yang nanti menjadi penentu
pemimpin bangsa, misalnya,
Soedirman, A.H Nasution, Soeharto dan masih banyak yang lainya.
Sumber: dari Essay yang menjadi 10 finalis terbaik lomba Essay Sejarah se-Jawa yang diadakan oleh UNNES