Seperti yang telah kita ketahui, bahwasanya setiap
Negara, lingkup masyarakat yang berbeda, bahkan suku yang berbeda akan memiliki
budaya yang berbeda pula, seperti teori dualis berbedanya antar budaya timur
dan barat. Bahkan di antara kedua budaya tersebut memiliki sangatlah banyak
perbedaan yang signifikan. Jika kita sekali lagi sedikit mengulas tentang
“akulturasi” di antara kedua budaya tersebut, maka tak kunjung habis pertanyaan
yang akan terlontar, semisal tentang perbedaan budaya budaya yang kerap kita
sadari maupun tidak, dan bagaimana perbedaan tersebut dapat bersatu dengan
damai dan serasi tanpa menghilangkan unsur unsur asli dari kedua budaya
tersebut.
Oleh karena itu untuk lebih memahami tentang
“akulturasi” ataupun perpaduan antar budaya, hendaknya kita mengkaji dengan
lingkup yang lebih sempit, dan tentunya hal yang dekat dengan kita baik yang
kita sadari maupun tidak. Contohnya kebudayaan dalam Negara Indonesia, dalam
cakupan budaya Indonesia banyak terdapat perbedaan budaya antar satu wilayah
dengan wilayah lainnya, antar satu pulau dengan pulau lainnya, tak terkecuali
dengan agama yang terdapat di Indonesia. Di Indonesia pada dasarnya
masyarakatnya adalah heterogen, beda dalam hal agama,warna kulit, bahasa, serta
ras. Sebagian besar masyarakat di Indonesia memeluk agama islam, dan sebagian
besarnya pula yang menetap di pulau Jawa. Pada layaknya pemeluk agama Islam
pada umumnya, akan melaksanakan ibadah puasa di saat bulan ramdhan tiba, dan di
tutup dengan ritual ibadah idul fitri, atau dengan kata lain adalah kembali
fitrah ataupun suci. Dikenal dengan istilah lebaran oleh masyarakat Jawa.
Pada saat lebaran kita melakukan halal bi halal
ataupun adat saling berjabat tangan dengan tujuan saling memaafkan satu sama
lain atas kesalahan di masa lampau yang telah di perbuat, istilah lebaran dan
halal bi halal ini secara tidak langsung menggelitik pemikiran saya dan mungkin
juga sebagian masyarakat lainnya, apakah di setiap Negara yang memiliki warga
pemeluk agama islam mengetahui dan melakukan istilah tersebut?
Berdasarkan artikel yang tidak sengaja say abaca
beberapa hari yang lalu, saya menemukan sebuah fakta bahwa di Negara islam
jazirah Timur Tengah dan Asia (selain Indonesia tentunya), setelah ummat muslim
melaksanakan shalat idul fitri tidak terdapat tradisi saling berjabat tangan
secara missal yntuk saling memaafkan. Begitu pula dengan istilah “lebaran”,
tidak ada satupun Negara yang memakai istilah tersebut kecuali Indonesia,
terutama masyarakat Jawa.
Maka pertanyaan berikutnya yang timbul adalah “lalu darimanakah
istilah tersebut, dan apakah pemicu munculnya tradisi tersebut, terutama
pada masyarakat jawa?”
Menurut ajaran agama islam dalam sanad apapun, ummat
muslim wajib hukumnya untuk saling tolong menolong maupun memaafkan antar satu
dengan lainnya. Dan ritual saling memaafkan (berjabat tangan) tersebut bukanlah
hanya di lakukan pada saat idul fitri semata, tapi hendaknya di lakukan ritual
tersebut segera ketika kita telah melakukan sebuah kesalahan terhadap individu
yang bersangkutan.
Sedangkan saling berjabat tangan dalam ritual
“lebaran” tidak lain dan tidak bukan hanyalah bentuk dari rasa akrab sesame
rekan maupun family guna meminta maaf apabila terdapat kesalahan yang belum
termaafkan sewaktu itu,
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), lebaran
merupakan hari raya ummat islam yang jatuh pada tanggal 1 syawwal setelah
menjalankan ibadah puasa di bulan ramadhan. Dan setelah banyak berbincang
dengan beberapa mahasiswa non-jawa yang saya kenal, dapat di simpulkan
bahwasanya istilah “lebaran” itu hanya kerap di kenal seantero masyarakat jawa
saja,
Namun, apakah istilah lebaran semata adalah bahasa
jawa? Lalu mengapa kata lebaran dapat kita temukan pada Kamus Besar Bahasa
Indonesia? Apakah itu merupakan pengadopsian bahasa dari bahasa asing?
Kembali lagi kepada hasil survey terhadap beberapa
orang tua yang asli bersuku jawa, mereka beranggapan bahwa istilah kata
“lebaran” berasal dari ungkapan bahasa jawa “wis bar” yang mana artinya adalah
“sudah selesai”, maksud dari pendapat di atas adalah selesai menunaikan ibadah
puasa. Dalam bahasa jawa banyak terdapat imbuhan “an” pada akhir suatu kata
kerja. Semisal penguunaan “an” dalam kata “bubar” yang menjadi “bubaran” dalam
konteks jamak.
Kata “bar” sendiri adalah perpendekan kata dari kata
“lebar” yang artinya adalah selesai, semisal kata “wis bar” yang berarti “wis
bubar” atau “sampun lebar” maka dari sinilah kata “lebaran” yang umum kita
kenal selama ini. Selain lebaran ada suatu budaya dalam masyarakat jawa yang di
kenal dengan sebutan sungkem, yaitu berjabat tanan sembari mencium tangan orang
tua maupun orang yang lebih tua dari diri kita, bukan berjabat tangan seperti
pada sebaya kita umumnya. Berdasarkan tradisi adat jawa, sungkem sebagai
lambing permohonan maaf dan doa restu, dasarnya masyarakat jawa sangat
menghormati dan menjunjung tinggi orang yang lebih tua dari mereka, karena
mereka telah merasakan pahit getirnya kehidupan, atau sering kita kenal sebagai
“banyak makan garam”. Sungkem sering kita dapati sebagai pra syarat proses
ijab-qobulnya suatu pernikahan, maupun ketika halal bihalal seusai ibadah idul
fitri. Jadi apakah ini adat jawa secara murni ataukah akulturasi budaya dengan
ajaran islam?
Terdapat pula akulturasi tentang penggunaan kata
pengganti “selamat siang, selamat pagi, maupun selamat malam” pada masyarakat
pada umumnya dan telah familiar di telinga kita, yaitu dengan kata
“assalamualaikum”, tidak sedikit masyarakat yang bukan islam pun mengerti dan
menggunakan dalam kehidupan keseharian mereka, “assalamualaikum” kerap di
gunakan bagi kaum muslim untuk menyapa sesame muslim, yang berarti “keselamatan
tercurah kepada anda”. Jadi, bukankah telah terjadi banyak perpaduan budaya
pada Negara tercinta ini?
Bukan hanya pada adat dan kebiasaan, bahkan mengenai
kepercayaan pun banyak mengalami akulturasi. Semisal peringatan untuk mendoakan
orang yang telah meninggal dengan memperingati 3, 40, 100 serta ke1000 harinya.
Tradisi ini sesungguhnya berasal dari masyarakat pemeluk agama Buddha dalam
memperingati kematian seseorang, baik family maupun kerabat dekatnya, entah
bagaimana bisa masyarakat islam di Indonesia mengadopsi kebiasaan tersebut.
Dari zaman awal ketika islam memasuki jazirah
kepulauan Indonesia, para pemuka agama waktu itu atau kerap kita sebut sebagai
9 wali (wali songo), memasukkan nilai nilai ajaran dalam islam pada budaya,
adat dan kebiasaan keseharian mereka. Semisal lagu, permainan alat musik,
kesenian setempat semisal wayang kulit, bela diri dan masih banyak yang
lainnya. Mungkin itu adalah salah satu penyebab betapa variannya akulturasi
budaya yang tercipta di Indonesia.
Jika kita mengkaji lebih jauh, saya yakin permasalahan
ini tak akan menemui titik akhir, baik dari hal yang paling mencolok maupun
yang sepele sekalipun, sesuatu yang jarang di sadari oleh masyarakat kita, dari
budaya opor ayam dan ketupat ketika lebaran, yasin dan tahlil, istighosah,
serta masih banyak hal menarik yang tak kujung usai bila kita kaji.
Kesimpulannya mengenai uraian uraian yang telah kita
bahas tersebut, begitu banyak budaya yang telah mendarah daging di kehidupan
kita namun tak kita sadari benarkan budaya yang kita lestarikan ataupun sebuah
akulturasi yang mengalami pergeseran orisinalitas budaya, perpaduan ataupun
sebuah dogma murni?
Bagaimanapun juga, akulturasi budaya akan selalu
menjadi indah bilamana tidak ada yang mempersalahkan di dalamnya, serasi, damai
dan di terima pada masyarakat tentunya. Karena perbedaan adalah salah satu
anugrah terindah yang di berikan Allah kepada kita, hanya bagaimana kita mampu
menikmati dan mensyukurinya menurut perspektif pemahahaman diri kita masing
masing.
Sumber: http://fannybeearchi.wordpress.com/2012/04/10/akulturasi-antara-budaya-islam-dan-keseharian-masyarakat-jawa/