Harian Prioritas (29 September 1986) menurunkan berita
utama sekitar pencalonan putra-putri Soekarno oleh Partai Demokrasi Indonesia.
Sementara jauh sebelumnya Harian Prioritas
pada tanggal 7 Juni 1986 memuat hasil
wawancara dengan Rachmawati Soekarnoputri, putri mendiang Proklamator Republik
Indonesia. Dalam tulisan tersebut, dia mengatakan bahwa “sejak tahun 1973
hingga sekarang orang-orang yang tidak senang kepada mendiang Soekarno masih
saja melakukan pengecilan arti paham dan ajaran-ajarannya serta hasil
perjuangannya”. Ternyata wawancara tersebut mendapat tanggapan dari Ketua Umum
Partai Demokrasi Indonesia Suryadi, Sekretaris Jendral Golongan Karya Sarwono
Kusumaatmaja dan HD Haryo Sasongko. Bertitik tolak dari pernyataan diatas
tersebut, maka tulisan ini akan mencoba memberi uraian semampu mungkin dalam
meletakkan Soekarno sebagai pahlawan proklamator dan manusia dalam sejarah
Indonesia lewat karya-karya sejarah yang tersedia.
Memang tidak mudah menulis tentang
Soekarno secara obyektif. Ada orang-orang yang masih saja tidak melupakan
kesalahan-kesalahannya di masa lalu dan di lain pihak ada juga orang-orang yang
mencoba mengkultuskannya bagaikan seorang dewa. Mungkin ada benarnya apa yang
dikatakan orang bahwa menulis tokoh kontroversial semacam Soekarno diperlukan
waktu yang cukup lama untuk dapat mengambil jarak dengan tokoh yang dibicarakan
tersebut. Kalau mau menelusuri sepanjang sejarah penulisan sejarah Indonesia
berkaitan dengan nama bekas Presiden Republik Indonesia Pertama, maka tidak
jarang ditemukan polemik yang berkepanjangan dan sepertinya tak kunjung
selesai. Perdebatan tersebut selalu berkisar masalah bagaimana menempatkan Soekarno
dalam sejarah Indonesia secara proporsional.
80 Buku
Semasa Soekarno menjabat sebagai
Presiden Republik Indonesia Pertama beredar sebuah buku dengan judul Soekarno, An Autobiografi as
told to Cindy Adams (New York: The Bobbs-Merrill Company Inc, 1965). Buku ini diterjemahkan oleh
Abdul Bar Salim dengan judul Bung
Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (Jakarta : Gunung Agung, 1966). Sebagai karya sejarah popular, autobiografi
tersebut tentu saja kadar subyektifitas dapat dikatakan tinggi. Seringkali apa
yang diutarakan dalam buku tersebut tampaknya bukan merupakan fakta yang
sebenarnya, hal tersebut tentunya menjadi tugas sejarawan untuk mendapatkan
fakta-fakta yang memang benar adanya. Ada baiknya menyimak apa yang dikatakan Soekarno berkaitan
dengan keinginan menulis buku tersebut. Dia mengatakan bahwa “untuk mendapatkan
simpati dan meminta supaya setiap orang suka kepadaku. Harapan hanyalah, agar
menambah pengertian yang lebih baik terhadap Indonesia yang tercinta.” Dari
kalimat tersebut dapat diketahui bahwa sebenarnya ada keinginan dari Soekarno
untuk membela diri serangan-serangan yang ditujukan kepadanya terutama sekali
kecaman-kecaman yang diperoleh dari pers Barat.
Tidak jelas apakah, dengan adanya buku
tersebut, maka orang mau mengerti tentang dirinya sebagai pahlawan dan manusia.
Tetapi yang jelas, Soekarno telah menjelaskan siapa sebenarnya dirinya. Setahun
kemudian terbit sebuah biografi yang ditulis Solichin Salam dalam judul Bung Karno Putera Sang Fajar. ( Jakarta : Gunung Agung, 1966).
Berbeda dengan autobiografi Soekarno, biografi Soekarno ini, sebagaimana
dikatakan Solichin Salam, ingin memberi inspirasi terhadap generasi muda
Indonesia. Karya-karya sejarah yang bersifat inspiratif cukup banyak beredar di
dunia Barat.
Di Indonesia sendiri sudah mulai dengan
diterbitkan buku-buku biografi oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia. Buku biografi semacam ini senantiasa berbicara mengenai
nilai-nilai kepahlawan yang dipatrikan orang-orang kepada dirinya, dan fakta
menjadi urusan nomor dua. Tetapi tulisan semacam ini sah adanya dalam penulisan
sejarah Indonesia. Pada tahun yang sama terbit sebuah buku dengan judul Sukarnos Kampft um Indonesien
Unabhangkeit (
Frankfurt am Main, Berlin : Alfred Metzner Verlag, 1966). Biografi intelektual
ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Mary F Somers Heidhues dengan
judul Sukarno
dan The Struggle for Indonesian
Independence (Ithaca and London : Cornell University
Press, 1969 ). Biografi intelektual ini merupakan disertasi dari Bernhard Dahm
yang sudah dilakukan revisi ulang untuk kepentingan penerbitan buku.
Karya sejarah sarjana Jerman tersebut
mencoba menelaah dasar-dasar pemikiran Soekarno melalui kebudayaan Jawa. Dalam
buku tersebut, ternyata Bernhard Dahm berhasil menunjukkan kepada sidang
pembaca bahwa betapa pentingnya pengaruh kebudayaan Jawa dalam proses
sosialisasi dan perkembangan intelektual Soekarno. Karya tersebut bukan tanpa
ada kesalahan. Misalnya, ada kritik yang ditujukan kepada Bernhard Dahm, bahwa
sarjana berkebangsaan Jerman itu terlalu memaksakan diri melihat Sorkarno
sebagai seorang pemikir tanpa melihat tingkah laku politik Soekarno sendiri.
Kendati demikian, buku ini tetap saja memberi sumbangan yang berarti bagi penulisan
sejarah Indonesia.
Ternyata karya serius mengenai Soekarno
terus berlanjut dengan terbitnya biografi politik Soekarno yang berjudul Sukarno A Political Biography (Allen Lane The Penguin Press, 1972).
Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Sukarno Biografi Politik (Jakarta : Penerbit Sinar Harapan,
1985). Buku yang diterbitkan dalam bahasa Inggris tersebut beredar ketika
terjadi demitologisasi Soekarno yang tampaknya berlebih-lebihan. Melalui buku Sukarno A Political Biography, John Legge mencoba menjelaskan kepada sidang pembaca mengenai
lingkungan sosial politik yang memungkinkan Soekarno sebagai operator politik tanpa
tandingan, dari tahun 1945–1967 menjadi presiden.
Sebenarnya banyak sekali buku sejarah yang berbicara mengenai Soekarno sebagai pahlawan maupun manusia, tetapi sayangnya karya-karya tersebut tidak bisa dibicarakan di sini. Hanya buku-buku yang terpenting saja yang mempunyai kaitan dengan penulisan artikel ini yang dibicarakan. Menurut Yayasan Idayu yang menerbitkan buku Bibliografi Soekarno, menyebutkan sekitar 80 buku yang berbicara mengenai Soekarno. Tampaknya tokoh kontroversial ini telah mengundang banyak orang untuk menulisnya dari dalam maupun luar negeri.
Sebenarnya banyak sekali buku sejarah yang berbicara mengenai Soekarno sebagai pahlawan maupun manusia, tetapi sayangnya karya-karya tersebut tidak bisa dibicarakan di sini. Hanya buku-buku yang terpenting saja yang mempunyai kaitan dengan penulisan artikel ini yang dibicarakan. Menurut Yayasan Idayu yang menerbitkan buku Bibliografi Soekarno, menyebutkan sekitar 80 buku yang berbicara mengenai Soekarno. Tampaknya tokoh kontroversial ini telah mengundang banyak orang untuk menulisnya dari dalam maupun luar negeri.
Kultur Munafik ?
Dalam urairan berikut, saya mencoba
menguraikan mengenai polemik yang ditimbulkan akibat dari nama Soekarno yang
disebut-sebut dalam karya sejarah. Ada baiknya menyimak apa yang ditulis oleh
jurnal ilmiah Prisma
pada bulan Agustus 1977. Jurnal ilmiah
tersebut berbicara mengenai orang-orang yang gagasan-gagasan maupun tindakannya
dianggap ikut mempengaruhi jalannya sejarah Indonesia. Antara lain, Soekarno,
Kahar Muzakar dan Tan Malaka yang dikenal sebagai tokoh yang penuh kontroversi.
Di dalam jurnal ilmiah tersebut,
Onghokham menulis mengenai Soekarno dengan judul “Soekarno : Mitos dan Realitas”. Dia mengatakan “masalah Soekarno
erat kaitannya dengan persoalan bangsa Indonesia.” Dikatakan ada kemunafikan
yang terjadi dalam diri bangsa Indonesia dalam memperlakukan pribadi Soekarno.
Pada puncak masa kekuasaannya, Soekarno digelari Pemimpin Besar Revolusi, Penyambung
Lidah Rakyat, Walijul Amri, Panglima Tertinggi, dan lain-lain.
Secara tiba-tiba semua gelarnya
dicopot. Jasa dan peranannya ditiadakan dan bahkan diejek. Persoalannya kini
bukan saja “Siapakah Soekarno“, kata sejarawan UI ini, tetapi juga “Siapa
sebenarnya kita dahulu dan siapa kita sekarang?” Apa dulu kita yang munafik
atau sekarang kita munafik, Onghokham bertanya. Ketika Soekarno menduduki
singgasana kekuasaan berbagai puja-puji diarahkan kepada Soekarno. Tetapi
sesudah itu Soekarno mau dibuang ke keranjang sampah sejarah. Ini adalah suatu
ironi dari suatu penilaian sejarah, tetapi itu memang kenyataan.
Orang-orang tak boleh lupa kadangkala
situasi membuat orang berbuat sesuatu yang tabu dilakukan, hal itu terpaksa
dilakukan. Arah politik sudah berpindah, maka ia juga harus ikut pindah. Tak
heran apabila budayawan terkemuka, Mochtar Lubis melalui bukunya Manusia Indonesia (sebuah
pertanggung jawab) mengatakan
kalau kultur munafik sudah menjadi budaya dari bangsa Indonesia.
Pada 18 Maret 1976, Panitia Penyusun
Buku Sejarah Nasional Indonesia sebagai buku standard sejarah Indonesia
menghadap Presiden Soeharto. Sehabis penyerahan buku standard tersebut, Sartono
Kartodirdjo sejarawan terkemuka Indonesia sebagai ketua panitia mengakui dalam
penulisan sejarah tersebut kadar subyektifitas tetap ada, dan dia meminta
khalayak ramai untuk memberi tanggapan terhadap isi buku standard tersebut agar
dapat mengadakan revisi ulang seperlunya.
Tak lama kemudian serangan-serangan
yang cukup gencar dilancarkan lewat tulisan-tulisan di harian Merdeka. Kritik tersebut diarahkan kepada
peranan Presiden Soekarno pada tahun-tahun sebelum kejatuhannya akibat
Peristiwa Gerakan 30 September, Masalahnya adalah sejumlah fakta yang yang
dianggap kurang lengkap dan seperti biasanya berkaitan dengan penafsiran. Di
mana penulis buku Sejarah
Nasional Indonesia, Jilid VI terlalu yakin dengan
pernyataan yang dibuat secara sepihak tanpa disertai pernyataan pihak yang
lain.
Dalam kata pengatar pada buku Sejarah Nasional Indonesia, Jilid VI, Nugroho Notosusanto sebagai editor mengatakan bahwa tidak mudah
menulis mengenai peristiwaperistiwa dan tokoh-tokoh yang termasuk jenis
kontroversial, dan diakuinya memang dalam penulisan sejarah kontemporer atau
sejarah sezaman kadar subyektifitasnya terlalu tinggi dibandingkan dengan masa
sebelumnya. Penulis buku Sejarah
Nasional Indonesia Jilid
VI mencoba memberikan interprestasi yang sejauh mungkin seimbang dan layak. Tetapi
sayangnya, penulis buku kurang bisa menjaga jarak dengan tokoh-tokoh yang dibicarakan,
terutama Presiden Soekarno.
Nugroho Notosusanto kemudian menulis
buku dengan judul Proses
Perumusan Pancasia sebagai Dasar Negara (Jakarta: Balai Pustaka, 1981). Buku
Nugroho Notosusanto tersebut dilampiri dengan tulisan dari A.G. Pringgodigdo
serta disertai kata pengantar oleh Dardji Darmodiardjo. Mereka berdua mempunyai
pandangan yang sama dengan pandangan Nugroho Notosusanto bahwa Soekarno bukan
satu-satunya orang yang membicarakan mengenai Pancasila sebagai dasar negara.
Tulisan Nugroho Notosusanto yang pernah
terbit dalam majalah Persepsi
pada tahun 1970 tersebut, kemudian disebarkan melalui media massa
atas permintaan Departemen Penerangan Republik Indonesia. Tampaknya ada
keselarasan, antara keinginan pemerintah Orde Baru dengan tulisan tersebut. Ternyata
tulisan tersebut mendapat tanggapan dari berbagai pihak, ada yang bersikap
emosional dan ada pula yang melihat persoalan dengan kepala dingin. Yang
menjadi titik permasalahan adalah bagian dari pidato Muhammad Yamin dalam
bukunya Naskah
Persiapan UUD 1945 yang
memuat pidatonya pada tanggal 29 Mei 1945, khalayak sangat meragukan isi pidato
Muh Yamin tersebut.
Buku Nugroho Nosusanto tersebut,
kemudian mendapat respon dari Lembaga Soekarno – Hatta, yang menerbitkan buku
dengan judul Sejarah
Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 dan
Pancasila ( Jakarta :
Inti Idayu Pers, 1984). Buku tandingan tersebut mempunyai pendapat yang berbeda
dengan Nugroho Notosusanto dan dikatakan bahwa pidato yang disampaikan Soekarno
pada tanggal 1 Juni 1945 tersebut yang mengungkapkan mengenai Pancasila sebagai
satu-satunya sumber dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara dan UUD dari
18 Agustus 1945.
John Ingelson
Tulisan Rosihan Anwar mengenai Perbedaan Analisa Politik antara
Soekarno dan Hatta (Kompas, 15 September 1980) mengatakan
bahwa salah satu perbedaan kedua tokoh tersebut adalah “dalam sikap politik
terhadap Pemerintah Jajahan Hindia Belanda. Hatta bersikap teguh, konsisten dan
konsekuen. Sebaliknya Soekarno, ahli pidato yang bergembor-gembor lekas
bertekuk lutut jika menghadapi keadaan yang sulit dan tidak menyenangkan bagi
dirinya pribadi.”
Ternyata pendapat wartawan senior
tersebut dikutip dari buku yang ditulis sarjana Australia, John Ingelson, yang
berjudul The
Indonesian Nationalist Movement, 1927–1934. (Singapore : Heinemaan Educational
Books (Asia) Ltd, 1979 ). Buku John Ingelson ini merupakan disertasi yang ditulis ketika dia
menyelesaikan studi pasca sarjana pada jurusan Sejarah di Universitas Monash,
Australia. Buku John Ingelson tersebut menyebutkan tentang empat pucuk surat
yang ditulis Soekarno dari penjara Sukamiskin kepada Jaksa Agung Pemerintah
Hindia Belanda pada tahun 1933. Arsip yang ditemukan oleh sarjana Australia
pada Kementerian Dalam Negeri di Den Haag tersebut mengatakan bahwa Soekarno
minta dilepaskan dari penjara sebagai imbalannya dia tidak akan ikut lagi dalam
kegiatan politik sampai akhir hayatnya.
Tulisan Rosihan Anwar tersebut membangkitkan
polemik yang berkepanjangan di harian maupun majalah di Indonesia.
Sampai-sampai Wakil Presiden Republik Indonesia, Adam Malik meminta agar
polemik tersebut dihentikan saja. Yang menarik adalah sebelum Rosihan Anwar
menulis, sebenarnya surat-surat tersebut sudah disinyalir majalah mingguan Tempo pada tanggal 6 Oktober 1979. Dikalangan
sejarawan sendiri masih mempertanyakan apakah surat salinan tersebut memang
benar-benar merupakan surat-surat dari Soekarno. Ada kesulitan untuk
menghentikan keraguan yang timbul terhadap surat-surat tersebut, selama
surat-surat yang asli tidak terdapat. Sejarawan terkemuka Taufik Abdullah
mengatakan bahwa apabila itu benar apa artinya bagi sejarah Indonesia. Memang
tidak ada. Ada surat atau tidak, Soekarno tetap berjuang untuk Indonesia
Merdeka.
Memang serba salah. Orang-orang
senantiasa mencampur-adukan antara Soekarno sebagai pahlawan maupun sebagai
manusia belaka. Sebagai pahlawan Soekarno dipenuhi dengan nilai-nilai yang
dipatrikan orang kepada dirinya. Sedangkan sebagai manusia tentu saja tidak
luput dari kesalahan. Ada baiknya menyimak apa yang diungkapkan dalam
autobiografinya sebagai berikut ”Aku bukan manusia yang tidak mempunyai
kesalahan. Setiap makhluk membuat kesalahan. Di hari-hari keramat aku minta
maaf kepada rakyatku di muka umum atas kesalahan yang kutahu telah kuperbuat, dan
atas kekeliruan-kekeliruan yang tidak kusadari. Barangkali suatu kesalahan
ialah, bahwa aku selalu mengejar suatu cita-cita dan bukan persoalan-persoalan
yang dingin.” Memang kesalahan sebagai manusia tidak dapat dikenakan pada
peranannya dalam sejarah. Dalam penulisan sejarah yang harus ditulis hanya
peristiwa-peristiwa yang
dianggap penting saja.
Lain lagi dengan ini, setahun setelah
Lembaga Penelitian Sejarah Nasional
mengadakan seminar mengenai sejarah
Indonesia di Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta pada bulan September 1985, Ruben
Nalenan, Sekretaris Lembaga tersebut membicarakan hasil seminar di depan pers. Dia
menghimbau agar Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan meninjau kembali materi buku
Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa,
karena dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid III untuk SMP yang terdiri dari
154 halaman itu memuat kata-kata sebagai
berikut “Dalam pada itu Presiden Soekarno
sendiri menerima komisi dari perusahaan
asing yang melakukan impor ke Indonesia.
Pada pelbagai bank di luar negeri
tersimpan uang jutaan dollar atas nama Presiden”
Akibat teks tersebut mulai orang
bertanya-tanya apakah bekas Presiden Republik Indonesia
yang pertama ini pernah berbuat semacam itu. Memang masalah yang dibicarakan di sini lebih serius
daripada tulisan Rosihan Anwar, karena hal ini menyangkut masalah pendidikan. Banyak orang menganggap bahwa
penulisan tersebut tampaknya kurang tepat apabila disajikan kepada murid-murid
SMP. Dengan adanya teks tersebut bisa saja membingungkan murid-murid tersebut.
Penutup
Dari uraian diatas, tampak sekali
terlihat membicarakan tokoh semacam Soekarno dalam penulisan sejarah Indonesia
perlu hati-hati, karena berbicara mengenai dia seringkali menimbulkan
guncangan-guncangan yang tentu saja menarik perhatian khalayak ramai. Perlunya
bagi pembaca untuk mengetahui bahwa dalam melakukan penulisan seajarah,
sejarawan adakalanya terpengaruh oleh situasi dan kondisi-kondisi yang
melingkupinya, hal itu tentu saja, mempunyai pengaruh dalam penulisan sejarah tersebut.
Yang harus dicatat dalam mengerjakan ilmu sejarah adalah ada kemampuan teknis
dan wawasan teori serta tidak melupakan adanya integritas yang tinggi dari sejarawan
tersebut. Ada baiknya sejarawan meninjau kembali apa yang sudah menjadi keyakinannya,
bukanlah setiap karya sejarah hanya bersifat sementara belaka atau penafsiran
sementara Bisa saja seorang sejarawan berlaku semata-mata sebagai seorang cendikiawan
yang melibatkan diri semata-mata sebagai seorang ideologi yang bertugas mencari
pembenaran belaka, Memang hal tersebut tidak salah, tetapi tentu saja masalah tersebut
berada diluar ilmu sejarah.
Sekali lagi, masalah politik tidak
dapat dilepaskan begitu saja dengan sejarah. Sejarah mencatat banyak tokoh yang
diagung-agungkan bagaikan seorang dewa dimasa dia masih duduk di singgasana,
tetapi sesudah itu boleh dikatakan nama tersebut tak pernah disebut-sebut. Di
Republik Indonesia ini hampir saja hal itu terjadi. Tetapi rupanya bangsa
Indonesia masih menghargai jasa-jasa para pahlawannya. Soekarno ketika masih
berada di puncak kekuasaan mengatakan bahwa “Tidak seorangpun dalam peradaban
modern ini yang menimbulkan demikian banyak perasaan pro dan kontra seperti
Soekarno. Aku dikutuk seperti bandit dan dipuja bagai dewa“.
Dari ucapan tersebut Soekarno merasakan
dirinya senantiasa menjadi bahan pembicaraan bagi khalayak ramai. Apa Soekarno mengetahui
juga bahwa sesudah pulang ke Rahmatullah ada suatu masa bahwa namanya tak
disebut-sebut lagi dengan berbagai alasan. Untuk sementara ini orang hanya bisa
menilai peranan yang dimainkan selama hidupnya dalam sejarah Republik Indonesia
tercinta ini. Lalu, orang bertanya-tanya, dimanakah tempat Soekarno dalam
sejarah bangsa Indonesia ini? Lebih baik pertanyaan tersebut diserahkan pada
sejarah untuk menilai.
Sumber: Sketsa Sosok
Soekarno tulisan Peter Kasenda