Peringatan
sumpah Pemuda pertama kali diperingati pada tahun 1957 secara nasional
(beberapa sumber menyebut 1954 dan 1958) masa dimana Soekarno sedang agresif
mengkonsolidasikan kekuatannya bersama dengan TNI-AD yang saat itu dipimpin
oleh Nasution. Sumpah Pemuda adalah warisan “simbolisasi” politik masa
peralihan dari demokrasi parlementer ke demokrasi terpimpin. Dalam tulisan ini
akan digambarkan bagaimana proses penciptaan mitos sejarah sumpah pemuda dan
penggunaannya sebagai instrumen indoktrinisasi politik.
Tahun
1957 adalah senjakala bagi demokrasi parlementer, yang sering disebut sebagai
Masa-masa emas demokrasi Indonesia. Pada tahun-tahun itu, Hatta sudah
mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden dan membiarkan Soekarno seorang
diri memuaskan ambisi “megalomaniak” (Hatta,
1960). Di tahun-tahun kritis dalam demokrasi Indonesia tersebut,
pertarungan ide sistem pemerintahan sedang seru-serunya. Konstituante hasil
Pemilu 1955, pemilu yang demokratis dalam sejarah politik Indonesia (Feith, 1957), terbelah menjadi pro-federasi
dan pro-kesatuan (Buyung, 2000).
Saat
itu di konstituante PNI, PKI, Murba, IPKI, GPPS terlibat perdebatan sengit
mematahkan argumen teoritis akan keberadaan negara federal dari Partai
pendukung ide negara federal seperti, Masyumi, PSII, Partai Buruh, dan Parkindo
(Buyung, 2000). Situasi keamanan juga
sedang kritis, beberapa daerah sedang bergolak karena tidak puas dengan
kekuasaan Jakarta, sebut saja RMS di Maluku, DI/TII di beberapa daerah seperti
Jawa Barat, Aceh, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah (MMC). (Feith, 2007). Pada tahun 1957 tersebut,
tepatnya 21 Februari, Presiden Soekarno baru saja mengeluarkan konsepsi
Presiden sebagai tamparan bagi sistem parlementer dan konstituante yang sedang
berkerja menyusun Undang-Undang Dasar yang baru. (Lev, 2009) dan (Feith, 1963)
Soekarno
memerlukan sebuah “mitos” baru tentang Kesatuan Indonesia di tengah-tengah
sentimen ketidakpuasan daerah karena dominasi Jakarta. Padahal perlu diketahui
sebagian besar pergolakan di pusat digerakkan oleh konflik internal di TNI
khususnya Angkatan Darat (Crouch, 2007)
dan (Nasution, 1989).
Beberapa
daerah menuntut adanya distribusi kekuasaan yang vertikal sebagaimana yang
diamanatkan dalam UU No. 22 tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah dimana
otonomi diberikan kepada Propinsi, Kabupaten dan Desa. Tapi disinilah justru
awal mula kekacauan di daerah. Karena amanat UU No. 22 tahun 1948 menjadi dasar
daerah menuntut otonomi namun apa lacur, Jakarta malah mengeluarkan UU
pembentukan beberapa Propinsi dan Sumatera dan Jawa.
Sepertinya
halnya pergolakan di Aceh yang kecewa karena memasukan Aceh menjadi bagian dari
Propinsi Sumatera Utara, padahal janji Soekarno adalah memberikan Aceh
kedudukan sebagai Propinsi tersendiri (Legge,
1961, p. 29). Kekecewaan daerah semakin memuncak saat Jakarta merasa
berwenang untuk menunjuk Gubernur di Propinsi tersebut yang tidak berasal dari
daerah yang bersangkutan, memanfaatkan celah kosong regulasi saat masa
peralihan dari RIS ke RI. Penunjukan Jakarta tanpa memperhatikan usulan dari
daerah tersebut merupakan hal yang sangat bertolak belakang saat masa kolonial
dimana pejabat tertinggi pemerintahan sipil berasal dari daerah setempat.
Sehingga, seperti yang digambarkan oleh Mohammad Syafei, tokoh dari Sumatera
Barat, sebagai hegomoni Jawa terhadap luar Jawa (Kahin,
2005, p. 257)
Situasi
kerasnya pembangkangan daerah luar jawa tersebut ditambah manuver elit militer
dan sipil yang memanfaat sistuasi untuk mencari perhatian guna negosiasi
kekuasan dengan Jakarta “menuntut” Soekarno memerlukan suatu alat propaganda
yang “sakral” untuk mempertahankan kekuasaan Jakarta terhadap daerah. Selain
itu Soekarno memerlukan alat untuk membungkam politisi-politisi sipil di
Konstituante.
Soekarno
memanfaatkan momentumnya pada saat pembukaan Kongres Bahasa II tanggal 28
Oktober 1954. Saat itu Soekarno menyitir keputusan Kerapatan Pemuda 1928 tapi
tujuannya jelas, Konstituante dari partai-partai politik di dalamnya. Soekarno
juga menggunakan kesempatan itu pembukaan Konggres Bahasa II tersebut untuk
menyalahkan partai-partai politik sebagai biang keladi carut-marutnya politik
nasional saat itu.
Peringatan
hari Sumpah Pemuda awalnya memang gagasan Soekarno sejak tahun 1949 tapi bukan
untuk memperingati putusan kerapatan Pemuda 1928, namun justru untuk
memperingati hari kelahiran lagu kebangsaan Indonesia Raya. Pada tahun 1950
mulai dilakukan formulasi politik untuk mendukung pembangunan nation character building dan
Konggres Pemuda dijadikan salah satu milestone
sejarah nasional Indonesia.
Tahun
1954, tanggal 28 Oktober dipilih sebagai hari pergerakan nasional, sebuah
peringatan biasa yang tanpa gembar-gembor seremonial, tanpa upacara bendera
seperti hari-hari besar nasional. Tahun-tahun selanjutnya, terutama 1956,
Soekarno mulai memakai Sumpah Pemuda sebagai “palu godam” dan kali ini jelas
ditujukan kepada daerah-daerah yang membangkang ke Jakarta. Dalam salah satu
pidatonya, Soekarno mengatakan “Jangan
coba-coba mengkhianati Proklamasi dan Sumpah Pemuda. Mereka yang sekarang ingin
memisahkan diri dari Indonesia adalah para pengkhianat yang lupa kepada Sumpah
bangsa ini”.
Mitologisasi
Putusan Kerapatan Pemuda menjadi peringatan Sumpah Pemuda terjadi tahun 1958
dimana hari pergerakan nasional telah berubah menjadi Hari Sumpah Pemuda,
edaran pemerintah disebarkan ke seluruh kantor-kantor pemerintahan,
sekolah-sekolah dan kantor swasta untuk mengibarkan bendera merah putih dan
melakukan upacara. Sumpah pemuda akhirnya Indonesian
the holy trinity, tritunggal suci – bangsa, bahasa, tanah
air (Dhakidae, 2001)
Isi
dan kandungan putusan Kerapatan Pemuda 1928 yang akhirnya disebut sebagai
Sumpah Pemuda tersebut tak lepas dari dekonstruksi sejarah yang dilakukan oleh
Mohammad Yamin. Pakar hukum lulusan Recht
Hogeschool (RHS) ini
memang memainkan peranan penting dan dekonstruksi sejarah Indonesia. Yamin
merupakan kampiun narasi dan “sejarahwan rezim Soekarno” dan atas usulan dan
ide-idenya tentang Sumpah Pemuda kepada Soekarno. Sehingga Soekarno begitu
leluasa menggunakan jargon-jargon tersebut untuk melemahkan politisi sipil di
Konstituante, menyentil pembangkangan daerah yang sebenarnya legal dan konstitusional
dan meletakkannya mereka sebagai “pengkhianatan” kepada Republik.
Mohammad
Yamin, memang sosok kontroversial dalam konstruksi sejarah Indonesia. Benedict
Anderson menulis bahwa tak ada satu orang pun yang bisa mengontrol Yamin. Orang
ini keras kepala, sembarangan, menjengkelkan dan dibiarkan saja semau sendiri.
Zaman itu tak ada yang peduli soal campur aduk fakta dan fiksi. Ia dianggap tak
sepenting soal revolusi melawan Belanda. Yamin menerbitkan sandiwara Gadjah Mada pada 1946. (Anderson, 2006). Asvi Warman Adam menilai,
Yamin adalah seorang ahli propaganda (Adam,
2010, pp. 165-179). Progandis rezim Soekarno yang menyediakan berbagai
keperluan rezim “kebalikan Mephistopeles – meminjam “cemooh” Bung Hatta – untuk
membenarkan segala tindakan politiknya dalam melawan konstituante dan dominasi
partai politik di Konstituante.
Evolusi Teks Putusan
Kerapatan Pemuda 1928
Keith
Foulcher menjelaskan adanya tafsir-tafsir ideologis-politis terhadap Sumpah
Pemuda pada masa kolonialisme, Orde Lama, dan Orde Baru. Evolusi teks Sumpah
Pemuda tersebut merupakan Tafsir-tafsir yang muncul dengan sekian dalil dan
pamrih mengacu pada kondisi politik dan arus kesadaran sejarah.
Pada
versi 1928, kalimat “Kami
poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.”
Kalimat itu kerap mengalami perubahan semantik dan konsekuensi politik. Kalimat
tersebut sering dirubah-ubah menjadi: “Kami
putra dan putri Indonesia mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia.”
(Foulcher, 2000). Perubahan kalimat itu merepresentasikan
kesengajaan dalam pengendalian ingatan historis dan politis. Folcher
menjelaskan hal ini dalam konteks “bahasa” sebagai simbol komunikasi politik
mengalami reduksi dalam konteks pemaknaan dan implikasi. Disinilah, hasil
kerapatan pemuda 1928 yang mengandung semangat zaman dan imaji nasionalisme
malah menjadi instrumen kekuasaan dan pembungkaman aspirasi politik.
Lebih
lanjut Keith Foulcher, menegaskan formulasi teks Sumpah Pemuda tersebut sebagai
realisasi kesatuan tanpa kompromi oleh kepentingan rezim Orde Baru dalam
mekanisme sentralisasi dan kontrol. Formula “satu bahasa” itu menjadi kunci
untuk operasionalisasi politik bahasa versi Orde Baru. Foulcher menilai
perubahan kata itu masuk perkara simbol dan makna nasionalisme. (Foulcher, 1990)
Mengapa kata “Sumpah” menggantikan
kata “Ikrar” dalam hasil putusan kerapatan pemuda 1928? Hal ini merupakan salah
satu metode penguasa untuk mencari legitimasi kekuasaannya. Dhakidae dalam
pengantarnya di buku “Imagined
Community” menjelaskan adanya sebuah Holy Trinity dalam wacana politik kekuasaan di
Indonesia. Menurut Dhakidae, Holy
Trinity tersebut yang terdiri dari bangsa, tanah air dan bahasa,
menjadi un-holly trinity,
“Satu bahasa” tidak lagi dengan sendirinya
mengharuskan Indonesia menjadi satu bangsa, satu tanah air tidak dengan
sendirinya mengharuskannya jadi “satu bangsa”. Dengan demikian, lanjut Daniel,
bangsa-bahasa dan tanah air seolah-olah melibatkan dirinya dalam satu perang
besar Hobbesian — Bellum
omnium contra omnes, perang
semua terhadap semua orang, sebegitu rupa sehingga bangsa mencair, rasa
kebangsaan menciut bahkan sirna sekaligus. Realitas kebangsaan yang demikian
itu sekarang tentu harus menjadi keprihatinan bersama. Memang sungguh sangat
ironis, sebuah bangsa yang besar ini hanya terbangun secara imajiner yang
direpresentasikan oleh bahasa sumpah. Yang mana inti sumpah ini sendiri pada
awalnya mempunyai tujuannya yang temporer yakni melawan imperialisme.” (Dhakidae,
2001)
Dalam
teks aslinya, hasil kerapatan pemuda 1928 tersebut berbunyi sebagai berikut :
POETOESAN
CONGRES PEMOEDA-PEMOEDA INDONESIA
Kerapatan
Pemoeda-Pemoeda Indonesia jang diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan
pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan, dengan namanja: Jong Java, Jong
Sumatranen Bond (Pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen
Pasoendan, Jong Islamieten Bond, Jong Bataks, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem
Betawi dan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia;
membuka rapat pada tanggal 27 dan 28 October
tahoen 1928 dinegeri Djakarta;
sesoedahnja mendengar pidato-pidato dan
pembitjaraan jang diadakan dalam kerapatan tadi;
sesoedahnja menimbang segala isi pidato-pidato
dan pembitjaraan ini;
kerapatan
laloe mengambil poetoesan:
PERTAMA.
KAMI
POETERA DAN POETERI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH-DARAH JANG SATOE, TANAH
INDONESIA.
KEDOEA.
KAMI
POETERA DAN POETERI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA.
KETIGA.
KAMI
POETERA DAN POETERI INDONESIA MENDJOENDJOENG BAHASA PERSATUAN, BAHASA
INDONESIA.
Setelah
mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib
dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia;
mengeloearkan
kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar
persatoeannja:
kemaoean
sejarah
bahasa
hoekoem-adat
pendidikan
dan kepandoean;
dan
mengeloearkan pengharapan soepaja poetoesan ini disiarkan dalam segala soerat
kabar dan dibatjakan dimoeka rapat perkoempoelan-perkoempoelan kita
Ada
kalimat tegas dalam teks ini di alenia terakhir tentang persatuan Indonesia
dengan memperhatikan kemauan, sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan dan
kepanduan. Jelas disini masih diterimanya konsep pluralisme dalam wacana
persatuan. Namun dalam perjalanan sejarah, konsep persatuan ini dijadikan
sebagai mitos yang menyingkirkan pluralisme atau ke-bhineka-an.
Dari
sisi teks hasil putusan Konggres Pemuda 1928 tersebut terdapat beberapa
perubahan sehingga menjadi “Sumpah Pemuda” dan akhirnya menjadi unholy trinity rezim kekuasaan
otoriter. Teks asli hasil kerapatan Pemuda 1928 berubah pada Konggres Bahasa
Indonesia pertama 28 Oktober 1938, sepuluh tahun setelah Kerapatan Pemuda 1928.
Gubahan pertama ini dilakukan oleh Muhammad
Thabrani sehingga berubah menjadi : (1) Kita
bertanah air satu, yaitu Tanah Air Indonesia; (2) Kita berbangsa satu, yaitu Bangsa Indonesia;
(3) Kita berbahasa satu, yaitu
Bahasa Indonesia. Dalam versi lain dikatakan pada tahun 1938, Yamin
secara sadar dan sengaja mengubah kembali Ikrar Pemuda 1928 menjadi Sumpah
Pemuda sehingga kata “berikrar” menjadi “bersumpah”. Yamin pada tahun
1930 dalam pamflet “Pemberontakan Indonesia Muda” dari kata “ikrar” menjadi
kata “Sumpah”. (Gonggong, 2012).
Tahun
1949, saat menjelang akhir pelaksanaan Konfrensi Meja Bundar, diadakan Konggres
Pemuda pertama. Teks kerapatan Pemuda 1928 kembali digubah menjadi : (1) Satu bangsa, Bangsa Indonesia; (2) Satu bahasa, Bahasa Indonesia; (3) Satu tanah air, Tanah Air Indonesia; (4) Satu negara, Negara Indonesia.”
Kongres Pemuda Tahun 1949 dilatarbelakangi oleh kembalinya Belanda ke Indonesia
yang diikuti pembentukan negara-negara boneka bentukan Van Mook.
Pada
tahun 1954, sesuai dengan surat edaran Menteri Pendidikan saat itu, Yamin,
tentunya dengan menyelipkan kata “Sumpah” berbunyi : (1) Kami Putra-Putri Indonesia Mengakui Satu
Tanah Air, Tanah Air Indonesia; (2) Kami Putra-Putri Indonesia Mengakui Satu Bangsa, Bangsa Indonesia;
(3) Kami Putra-Putri Indonesia
Mengakui Satu Bahasa, Bahasa Indonesia.
Era orde baru, teks Sumpah Pemuda kembali digubah,
dengan merubah kata “bangsa” kembali menjadi “tanah air”, kata “Sumpah” tetap
digunakan, sebab saat itu Soeharto menggunakan Sumpah Pemuda sebagai instrumen
pengendalian emosi politik. (1)
Mengaku Berbangsa Satu, Bangsa Indonesia; (2) Mengaku Bertanah Air Satu, Tanah Air
Indonesia; (3) Mengaku
Berbahasa Satu, Bahasa Indonesia.
Kemudian pada tahun 1988, saat peringatan 60 tahun
Sumpah Pemuda, sebuah teks gubahan Sumpah Pemuda beredar dalam bentuk kaos.
Sebuah perlawanan gerakan mahasiswa yang sudah tumbuh saat itu terhadap rezim
otoriter Soeharto. Teks tersebut berbunyi (1) Kami Mahasiswa Indonesia Mengaku Bertanah Air Satu, Tanah Air Tanpa
Penindasan; (2) Kami
Mahasiswa Indonesia Mengaku Berbagsa satu, Bangsa yang Gandrung akan Keadilan;
(3) Kami Mahasiswa Indonesia
Mengaku Berbahasa Satu, Bahasa Kebenaran. Teks ini menjadi salah
satu battle cry pada
berbagai aksi demonstrasi mahasiswa sejak 2008 sampai saat ini.
Pasca
reformasi, Sumpah Pemuda kembali menjadi salah satu instrumen kekuasaan dan
indoktrinisasi. Entah bagaimana dan memang sulit dijelaskan, Sumpah pemuda
menjelma menjadi sesuatu yang kramat dan sakral, dan di luar akal sehat menjadi
dalih bagi pembungkaman aspirasi daerah terhadap hegomoni Jakarta, terutama di
luar jawa. Bahkan menjadi alasan bagi jargon baru dalam emosi politik, NKRI
Harga Mati. Hal ini ditemukan pada sebuah pamflet anonym yang pernah diperoleh
penulis dalam satu kesempatan. (1) Kami
Putera-Puteri Indonesia Mengaku Bertanah Air Satu, Tanah Air Indonesia;
(2) Kami Putera-Puteri Indonesia
Mengaku Berbangsa Satu, Bangsa Indonesia; (3) Kami Putera-Puteri Indonesia Menjunjung Bahasa
Persatuan, Bahasa Indonesia; (4) Kami
Putera-Puteri Indonesia Berideologi Satu, Ideologi Pancasila; (5) Kami Bersatu Mengembalikan Konstitusi Kepada
UUD 1945 yang Asli.
Desakralisasi
Sumpah Pemuda
Ada
sesuatu yang lebih radikal dibandingkan Sumpah Pemuda tersebut. Manifesto
Politik Perhimpunan Indonesia, sebuah gerakan pemuda yang lebih radikal
daripada para “anak-anak priyayi” yang sekolah di Batavia. Lahirnya pernyataan
asas-asas Perhimpunan Indonesia tahun 1925 disebutkan oleh Sartono Kartodirdjo,
sebagai Manifesto Politik 1925. Perhimpunan
Indonesia, yang telah dipersiapkan sejak tahun 1923 itu dengan Mohammad Hatta
sebagai penggerak utamanya. Menurut ahli sejarah ini, Sumpah Pemuda 1928
merupakan pengumandangan (amplification)
dimensi-dimensi Manifesto
Politik 1925 ini. Dari pernyataan Perhimpunan Indonesia tahun 1923
dan tahun 1925 itu, dapat ditarik hakikat Manifesto itu: (1) perjuangan memperoleh otonomi, mencapai
kemerdekaan Indonesia; (2) pemerintahan
yang dipegang dan dipilih oleh bangsa Indonesia sendiri; (3) kesatuan sebagai syarat perjuangan mencapai
tujuan; dan (4) menolak
bantuan dari pihak penjajah atau pihak lain manapun. (Kartodirdjo, 1993).
Kartodirjo dengan panjang lebar menjelaskan Manifesto Politik Perhimpunan
Indonesia jauh lebih radikal daripada Kerapatan Pemuda “priyayi” 1928.
Kartodirdjo menyebut Manifesto 1925 itu lebih penting daripada Sumpah Pemuda.
Ini karena di dalamnya terdapat tiga prinsip dasar unity (persatuan), fraternity
(kesetaraan), dan liberty
(kemerdekaan) konsep yang menginspirasi dari semangat revolusi Prancis liberte-egalite-fraternite (Kartodirdjo, 1993).
Sartono
Kartodirdjo menegaskan posisinya mendukung Manifesto Politik yang menurutnya
berhasil merumuskan nasionalisme Indonesia sebagai Ideologi. Bagi Sartono,
Manifesto itu akan mengarahkan gerakan-gerakan etno-nasionalisme menjadi gerakan ke arah Indonesia
merdeka, jadi konsep kesatuan telah roh spiritualitas kesukuan dan
regionalisme. Sartono juga mempertanyakan mengapa sampai sekarang yang
diperingati secara nasional adalah “Sumpah Pemuda” dan bukan Manifesto Politik
1925, padahal konsep-konsep dalam pernyataan Perhimpunan Indonesia itu lebih
fundamental bagi nasionalisme sedangkan Sumpah Pemuda dapat dianggap sebagai
sebuah pelengkap saja dari Manifesto Politik 1925. (Kartodirdjo, 1993).
Sartono
tidak sendirian, banyak pemikiran tokoh yang menggugat sakralisasi Sumpah
Pemuda yang tak lebih dari instrumen pengendalian ingatan politik. Seolah-olah
segala sesuatu yang berbau mempertanyakan kembali hegemony Jakarta terhadap daerah
dianggap sebagai pelanggaran dan bahkan pengkhianatan pada Sumpah Pemuda.
Penutup
“Sejarah ditulis oleh pemenang”
demikian quote terkenal dari Winston Churchill; dan memang begitulah yang
terjadi. Sakralisasi “Pesatuan dan Kesatuan” telah memenangkan pertarung
kesadaran dan ingatan politik sebagian besar rakyat Indonesia. Dengan
sakralisasi dengan akronim “Sumpah” yang dibuat dengan sengaja dan sadar oleh
progandis sekaliber M. Yamin, Soekarno memiliki amunisi untuk membungkan
konstituante. Akhirnya Konstituante bubar setelah draft UUD yang baru berhasil
disepakati. Dengan dalih “Persatuan dan Kesatuan” Soekarno mengeluarkan dekrit
Presiden yang ternyata membunuh Demokrasi yang baru bersemi, Hatta meradang
karenanya, dan Buya Hamka harus mendekam di penjara karena menerbitkan tulisan
Hatta yang tak terbantahkan itu, Demokrasi Kita. Kemudian ditambah lagi dalih
persatuan dan kesatuan tersebutlah, PRRI-Permesta dibungkam yang akhirnya malah
memberikan ruang bagi perimbangan kekuatan politik yang semu antara
Soekarno-PKI dan TNI-AD.
Rezim Soekarno jatuh, namun
penggantinya, Soeharto masih menggunakan instrumen “Sumpah Pemuda” sebagai alat
propaganda. Hasilnya adalah stabiltas politik yang bertumpu pada peniadaan
tafsir lain tentang “persatuan kesatuan”. Hanya ada tafsir tunggal tentang
persatuan dan kesatuan, tafsir rezim Soeharto sendiri. Doktrinisasi politik
dicangkokkan ke otak murid-murid di sekolah dengan kurikulum yang menjadi alat
kekuasaan. Semua dibungkam, politik lokal mengabdi pada kemauan Jakarta,
sentralisasi kekuasaan dan sentralisasi ekonomi. Orde Baru dengan perangkat
kekuasaannya hadir dalam setiap ruang hidup rakyat. Bahkan dinding pun
bertelinga, negara intel.
Sekali lagi rezim berganti, dan
akhirnya ada perubahan, tapi tidak dengan konsep persatuan. Sebelum
meninggalkan panggung politik, propagandis TNI, justru memobilisasi sebuah
usaha masif untuk mengendalikan kesadaran dan ingatan politik. NKRI harga Mati.
Negara kesatuan Republik Indonesia menjelma menjadi jargon-jargon politik. Sejak
reformasi, NKRI menjadi jargon yang mematikan tafsir lain terhadap sistem
negara. Dan seperti biasa, Sumpah Pemuda tetap sebagai instrumennya.
Inilah warisan Yamin terhadap
Indonesia, sebuah sakralisasi peristiwa yang sebenarnya tidak ada apa-apanya
dibandingkan dengan apa yang dilahirkan oleh Perhimpunan Indonesia di jantung
negeri penjajah. Selayaknya, manifesto politik Perhimpunan Indonesia, yang
lebih radikal daripada sekedar Sumpah Pemuda menjadi konstruksi baru pada
politik Indonesia. Baik pada konsep persatuan yang pluralis, persaudaraannya
dan kemerdekaannya.
Sumber: http://sejarah.kompasiana.com/2013/10/28/menggugat-mitos-sumpah-pemuda-603182.html