Tepat 48 tahun yang lalu, bangsa Indonesia mengalami
pesristiwa yang dikemudian hari akan merubah arah perjalanan Indonesia, yaitu
Gerakan 30 September (para pelaku menamakan sendiri gerakannya, tanpa
disingkat). Tapi, sekarang mungkin tidak banyak orang yang mengingat peristiwa
itu, jarang yang memasang bendera setengah tiang di depan rumah atau bahkan di depan kantor pemerintahan sebagai
bentuk rasa nasionalisme, dan juga sebagai fakta historis, bahwa ada 7 Perwira
Tinggi TNI yang terbunuh oleh gerakan ini. Lebih menakutkan lagi peristiwa
sesudahnya, yaitu terbunuhnya warga -angka minimal 500.000 orang terbunuh- yang
dianggap sebagai anggota PKI.
Peristiwa
Gerakan 30 September 1965
boleh dikatakan sebagai persitiwa sejarah yang paling banyak menimbulkan
kontroversi sampai sekarang. Pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari para
petinggi Angkatan Darat (AD) diculik dan beberapa objek vital seperti RRI dan
Telkom diduduki oleh pasukan militer (Batalion 454 Diponegoro, Batalion 530
Brawidjaja, dan pasukan Kehormatan Pengawal Presiden Cakrabirawa) yang dipimpin
oleh Untung, Latif, Sujono, Pono, dan Sjam Kammaruzaman. Menurut Asvi Warman
Adam (2010: 59) salah satu ciri konflik 1965 adalah memanfaatkan sejarah untuk
mengawetkan konflik.
Berkaitan
dengan G30S, banyak teori yang diungkapkan oleh para ahli berkaitan dengan
peristiwa “kudeta” tersebut. Pemahaman yang
berkembang di masyarakat berkaitan dengan peristiwa seputar G30S selama ini
adalah bahwa yang menjadi dalang peristiwa tersebut adalah PKI. Hal ini
terutama didukung dengan adanya buku tentang peristiwa G30S yang diterbitkan
oleh Kesekretariatan Negara atau yang sering disebut dengan “Buku Putih” Sekretariat Negara pada tahun 1994. Dengan
adanya pendapat-pendapat baru berkaitan dengan masalah G30S telah menjadikan
peristiwa ini menjadi peristiwa sejarah yang sangat kontroversial, bahkan
paling kontroversial dalam periode sejarah Indonesia modern.
Paling
tidak ada lima teori berkaitan dengan peristiwa G30S ini. Menurut Elfahmi Lubis
(2006: 67-70) menyebutkan teori-teori tentang G30S, yakni, (1) versi sejarah resmi
pemerintah Indonesia, yang menjadi dalang peristiwa G30S adalah PKI, (2)
masalah internal yang terjadi di dalam tubuh AD, (3) Presiden Soekarno sendiri
yang menjadi dalangnya, (4) presiden Soeharto diduga sebagai dalangnya, dan (5)
jaringan intelijen Central Intellegence
Agency (CIA) dibalik gerakan tersebut.
Teori
pertama adalah pendapat yang
menyatakan bahwa dalang G30S adalah PKI. Pendapat ini dipakai oleh pemerintah
pada masa Orde Baru, sebagai upaya legitmasi kekuasaan. Pendapat ini diperkuat
dengan hadirnya pimpinan politik
biro PKI, D.N. Aidit di pangkalan udara Halim Perdanakusuma pada tanggal 1
Oktober 1965, serta sejumlah anggota dan organisasi massa komunis di lokasi
penguburan para jendral di lubang buaya. Selain itu ada pengakuan dari seorang
PKI Nyoto dan D.N. Aidit sendiri, terlepas apakah pengakuan itu di bawah
intimidasi atau tidak.
Teori
kedua adalah teori yang menyatakan
bahwa itu masalah internal yang terjadi di dalam tubuh Angkatan Darat (AD).
Pendapat ini diusung oleh Ben Anderson dan Ryth Mc.Vey dalam sebuah makalah
berjudul: A Preliminary Analysis of The Oktober 1, 1965 Coup In Indonesia.
Menurut hasil riset Anderson dan Mc.Vey yang dikenal dengan cornel paper-nya diajukan setelah
beberapa waktu setelah kejadian G30S yaitu tepatnya Januari 1966. Motif dari
alasan ini adalah sekelompok perwira “progresif‟
yang berasal dari Divisi Diponegoro merasa tidak puas dengan cara kehidupan
mewah pimpinan AD di Jakarta yang dianggapnya tidak sesuai dengan semangat
revolusi serta mangabaikan kesejahteraan anak buahnya. Pimpinan AD tersebut
ingin “dibersihkan‟ supaya politik Soekarno dapat
dilanjutkan. Di samping itu mungkin ada tujuan lain, yaitu mencegah kudeta oleh
pihak Dewan Jenderal.
Teori
ketiga adalah pendapat yang
menyatakan bahwa dalang G30S adalah Soekarno. Pendapat ini diusung oleh Anthony
C.A. Dake, dalam bukunya In the spirit of
the red banteng: Indonesa Communist Between and Peking yang mengajukan hipotesis bahwa Soekarno sendiri yang
menyusun skenario G30S. Pendapat ini dilandasi adanya motif yang menggambarkan
Soekarno sebagai orang yang egoistis dan haus kekuasaan, sehingga dia ingin
menghapuskan oposisi militer. Amerika Serikat juga mencurigai adanya peran
Soekarno atas peristiwa tersebut, terutama ketika kemuculannya di pangkalan
militier Halim Perdanakusumah, perlindungannya terhadap pimpinan PKI, serta
kegagalannya untuk menunjukan simpati atas terbunuhnya pada perwira tinggi AD.
Teori
keempat adalah teori yang menyatakan
bahwa dalang G30S adalah Angkatan Darat dan Soeharto, dimana pendapat ini
diungkapkan oleh sosiolog dan sejarawan Belanda W.F. Wertheim, motif yang
melatar belakangi pendapat ini adalah bahwa tujuan Soeharto adalah untuk
menghancurkan PKI, menjatuhkan Soekarno dan menyingkirkan kubu-kubu lain dalam
AD, serta menjadi pahlawan dan Presiden RI menggantikan Soekarno. Pendapat ini
diusung juga oleh M.R. Siregar, Coen Holtzappel, serta Wimandjaja K. Litohoe.
Teori
kelima adalah yang menyatakan bahwa
dalang G30S adalah unsur asing (dalam hal ini adalah Amerika Serikat melalui
CIA-nya). Pendapat ini diusung oleh Peter Dale Scott dan Teri Cavanagh. Alasan
kuat teori ini adalah karena situasi internasional yang terjadi pada masa itu,
yaitu adanya perang dingin dan pengaruh paham antara blok Barat yang dipimpin
AS dengan kapitalisme-nya dan blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet dengan
komunisme-nya serta adanya kepentingan AS atas Indonesia yang sangat potensial
bila dilihat dari sumber alamnya. Kecurigaan tersebut mencuat setelah
ditemukannya dokumen Gilchrist.
Isinya antara lain mengenai rencana serangan AS ke Indonesia yang ketika itu
dianggap terlalu dekat dengan kekuatan Komunis internasional yaitu Soviet dan
China. Dalam harian Kompas (edisi 29 Januari 2008) dokumen itu juga disebut AS harus
memberikan kesempatan kepada militer di Indonesia yang disebut "our local army friends" yang akan
bekerjsama meredam kekuatan komunis di Indonesia.
Selain
kelima hipotesis diatas ada pendapat lain yaitu tentang teori chaos yang
menyatakan bahwa pelaku dari peristiwa kudeta tersebut tidak hanya satu.
Soekarno dalam Pengumuman Pelengkap Nawaksara di Istana Merdeka pada 10 Januari
1967, menyebutkan bahwa paling tidak ada tiga unsur yang menyebabkan kudeta,
yaitu (1) keblingeran pimpinan PKI (Partai Komunis Indonesia), (2)
kelihaian subversi Neokolim
(neo-kolonialisme dan imperialisme), (3) memang adanya oknum-oknum yang “tidak
benar” (Soekarno, 2007: 257). Landasan
teori chaos ini adalah bahwa situasi yang terjadi pada masa itu sangat
rumit, dan petunjuk dari masing-masing teori memiliki posisi dan argumentasi
yang kuat, sehingga ada keterkaitan antara satu faktor dan faktor lain.
Pada
proses peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto, terdapat sebuah dokumen
yang penting dan menjadi kunci peristiwa tersebut, yakni Surat Perintah Sebelas
Maret atau yang lebih dikenal dengan Supersemar. Supersemar, merupakan satu hal
lagi yang sampai sekarang masih menjadi kontroversi dalam sejarah Indonesia.
Hal itu disebabkan dokumen yang menjadi landasan kelahiran Orde Baru telah
hilang secara misterius. Adapun isi dari Supersemar adalah diberikannya
wewenang dari Presiden Soekarno kepada Soeharto untuk (1) mengambil segala
tindakan jang dianggap perlu, untuk terdjaminnja keamanan dan ketenangan serta
kestabilan djalannja Pemerintahan dan djalannya Revolusi, serta mendjamin
keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/ Panglima Tertinggi/
Pemimpin Besar Revolusi/ mandataris M.P.R.S, demi untuk keutuhan Bangsa dan
Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala adjaran
Pemimpin Besar Revolusi, (2) mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan
Panglima-Panglima angkatan-angkatan lain dengan sebaik-baiknja, (3) supaja
melaporkan segala sesuatu jang bersangkut-paut dalam tugas dan tanggung djawab
seperti tersebut di atas (Pambudi, 2006).
Isi
dalam Supersemar itu adalah memerintahkan kepada Soeharto untuk mengamankan
Pancasila, mengamankan UUD ‘45, menjaga stabilitas nasional dan menjaga
keamanan Presiden Soekarno dan bukan pengalihan kekuasaan tapi hanya pemulihan
keamanan (Okezonenews, 11 Maret
2008). Akan tetapi dalam perkembangannya terjadi berbagai macam kontroversi
tentang naskah asli Supersemar. Sampai sekarang ada tiga naskah Supersemar yang
beredar, dua versi seperti yang terdapat dalam buku 30 Tahun Indonesia Merdeka,
di mana Supersemar hanya terdiri dari satu halaman, dan versi ketiga adalah
seperti yang terdapat dalam biografi Jendral M. Yusuf, di mana naskah itu
terdiri dari dua halaman.
Pada
dasarnya isi dari ketiga naskah tersebut sama, hanya ada perbedaan dalam hal
penulisan. Adanya tiga naskah Supersemar sangat membingungkan masyarakat,
timbul pertanyaan mendasar yang muncul “manakah di antara ketiga naskah
tersebut yang asli?” pakar telematika dan Menpora saat ini (2013) Roy Suryo
memberikan jawaban lewat analisa telematikanya, yaitu supersemar yang beredar
selama ini semuanya adalah palsu. Penjelasannya, ketiga naskah diperbandingkan,
dapat dilihat bentuk tanda tangan Presiden Soekarno, tata cara/justifikasi
penulisan, rata kiri dan kanan pun berbeda, jarak antara penulisan Jakarta
berbeda serta letak logo naskah pun berbeda (Okezonenews, 17 Januari 2008).
Kontroversi
lain yang berkembang seputar
Supersemar selain otentisitas naskah adalah tentang proses keluarnya Supersemar
dan dampak dari keluarnya Supersemar. Tentang proses keluarnya Supersemar,
kontroversi yang bererdar adalah tentang pertanyaan-pertanyaan “apakah Soekarno
mengeluarkan Supersemar dengan tanpa tekanan?” (Pambudi, 2006). Banyak versi
yang menyebutkan tentang proses lahirnya supesemar tersebut,
pertaynaan yang selalu ada dibenak kita semua adalah, dimanakah teks asli
supersemar itu??
Sumber:
diambil dari sub bab Tesis penulis, yaitu “Analisis Pembelajaran Sejarah
Isu-Isu Kontroversial di SMA”