Masih
ingatkah anda dengan Sumpah Palapa
Patih Kerajaan Majapahit, Gajah Mada, yang telah didoktrin
semenjak menempuh pendidikan di Sekolah Dasar. Kalimat itu berbunyi: ”Sira
Gadjah Mada paptih amangkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gadjah Mada: Lamun
huwus kalah Nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran,
Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang,
Tumasik, samana isun amukti palapa” (Gajah Mada, Padmapuspita, 1966:38).
Maknanya kurang lebih seperti ini, Gadjah Mada sang Mahapatih tak akan
menikmati palapa, berkata Gadjah Mada, ”selama aku belum menyatukan nusantara,
aku takkan menikmati palapa, sebelum aku menaklukan Pulau Gurun, Pulau Seram,
Tanjungpura, Pulau Haru, Pahang, Dompu, Pulau Bali, Sunda, Palembang, dan
Tumasik, aku takkan mencicipi palapa”. Istilah ”Nusantara” yang katanya
diucapkan oleh Gajah Mada, kini mulai disanggah. Khususnya, dalam hal cakupan
wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit (1293-1500 M).
Fakta
baru mengenai sejarah Kerajaan Majapahit kembali terungkap. Sebagaimana yang
dikabarkan oleh Nationalgeoraphic
(11/10/2013) dan Kompas
(13/10/2013), bahwa ternyata wilayah kekuasaan Majapahit tidak seperti yang
telah banyak dituliskan dalam buku-buku pendidikan sejarah yang selama ini
dijadikan bahan pengajaran di lembaga pendidikan. Baik di sekolah-sekolah
hingga perguruan tinggi disebutkan bahwa, wilayah kekuasaan Majapahit meliputi
seluruh bagian Nusantara yang mirip seperti teritori Republik Indonesia saat
ini.
Seorang
ahli arkeologi, epigrafi dan sejarah kuno, Hasan Djafar, menyampaikan bahwa,
omong kosong kalau dikatakan Majapahit memiliki wilayah kekuasaan seluas
Nusantara. Menurutnya,
wilayah Kerajaan Majapahit cuma berada di pulau Jawa. Itu pun hanya Jawa Tengah
dan Jawa Timur.
Lagenda
kekuasaan Majapahit tidak lain adalah ”ide” Soekarno untuk membentuk dan
menyatukan Indonesia.
Dengan cara itu, ia berharap akan meraih dukungan besar yang membuat cita-cita
penyatuan Negara akan lebih mudah tercapai. Sebab, mayoritas penduduk Indonesia
berasal dari etnis yang sering ”memuja” Majapahit. Bahkan tidak hanya itu, mitos
Majapahit juga menjadi ”inspirasi” Soekarno yang berhasrat menganeksasi
Malaysia ke dalam NKRI. Karena Malaysia dianggap bagian dari wilayah
”Nusantaranya” Majapahit. Tidak mengherankan, bila konfrontasi
Indonesia-Malaysia (1962-1966 M) sebenarnya memang sengaja di ”setting”
untuk memuluskan rencana. Slogan Soekarno yang berbunyi ”Ganyang Malaysia”,
bahkan mampu membuat sebagian besar Rakyat Indonesia ”lupa” akan kerasnya
himpitan ekonomi yang mendera masa itu. Tapi pada akhirnya, hasil yang dicapai
tidaklah sesuai perencanaan semula.
Sejarawan
Jean Gelman Taylor menulis satu bab ”Majapahit Visions: Sukarno and Suharto
in the Indonesian Histories” dalam buku Indonesia: Peoples and
Histories. Bab ini khusus membandingkan Majapahit versi arkeologi dan
Majapahit versi propaganda. Dari sudut arkeologi, Taylor menerangkan bahwa
Majapahit sebuah Kerajaan kecil yang berada di perbatasan Jawa Timur dan Jawa
Tengah. Rezim Soekarno dan Soeharto berkepentingan membuat mitos Majapahit
sebagai ”Kerajaan besar” guna mendukung agenda mereka masing-masing. Nation
building dan economic development.
Manipulasi
sejarah Kerajaan Majapahit juga tidak terlepas dari sosok Muhammad Yamin. Salah seorang tokoh pendiri Negara
Indonesia ini, pernah menuliskan sebuah buku yang berjudul Gajah Mada,
Pahlawan Persatuan Nusantara, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1945
dan telah belasan kali dicetak ulang. Buku itu mengisahkan epos kepahlawanan
Gajah Mada sebagai Patih Kerajaan Majapahit.
Dalam
lampirannya terdapat secarik peta wilayah Indonesia. Terbentang mulai dari
Sabang hingga Merauke, dari Timor sampai Talaud. Dengan judul Daerah
Nusantara dalam Keradjaan Madjapahit. Mengenai peta ini, Hasan Djafar
mengungkapkan bahwa, ”gagasan persatuan ini oleh para sejarawan telah
ditafsirkan sebagai wilayah Majapahit sehingga seolah ada penaklukan. Itu
salahnya!”
Tidak
hanya itu. Kejanggalan lainnya adalah foto yang menampilkan sekeping
terakota yang mewujudkan sosok Gajah Mada, yang dalam imajinasi Yamin
digambarkan dengan wajah lelaki berpipi tembam dan berbibir tebal.
”Itu
skandal ilmiah dalam sejarah,” ujar Hasan Djafar.
PERBAIKI PENULISAN SEJARAH NASIONAL
Sejarawan
Universitas Negeri Medan, Dr. Ichwan Azhari, mengatakan bahwa penulisan
dan pengajaran sejarah nasional dengan mengangkat teks Jawa sebagai fakta
sejarah diperkirakan tidak dapat dipertahankan lagi dan harus dihilangkan. (Antara:
25/05/2007)
Ia
juga mengatakan bahwa dalam sistem penulisan yang sentralistik, wacana-wacana
yang hidup di luar Jawa seolah-olah diabaikan. Namun, gelombang perubahan,
seharusnya memunculkan orientasi penulisan sejarah yang desentralistik. Pusat
kekuasaan tidak bisa lagi memonopoli satu wacana yang dianggapnya benar.
”Untuk
itu, sudah sepantasnya reproduksi teks klasik Jawa tentang kebesaran kekuasaan
Majapahit yang penuh kebohongan itu segera diakhiri dalam penulisan sejarah
nasional, termasuk dalam pelajaran di sekolah-sekolah,” tegas Ichwan.
Kebesaran
kekuasaan Majapahit yang mengandung banyak kisah fiktif , memang sudah
seharusnya di koreksi. Ini untuk memperbaiki literatur-literatur sejarah
nasional agar tidak ”meracuni” pikiran adik-adik kita yang masih berada di
bangku sekolah. Sudah saatnya mereka mendapatkan pengajaran sejarah nasional
yang benar dan akurat. Bukan sejarah fiktif.
Sumber: http://edukasi.kompasiana.com/2013/10/19/fiktif-wilayah-majapahit-seluas-nusantara-601850.html