Indonesia adalah negara dengan kekayaan
yang melimpah dari segi Sumber Daya Alam (SDA) nya, seluruh dunia mengakuinnya. Tidak berlebihan kalau ada
sebuah lagu yang liriknya menyebut “tongkat kayu dan batu bisa jadi tanaman”.
Pertanyaanya, sudahkah kita sebagai negara kaya sumber daya alamnya sudah
memaksimalkan untuk kepentingan bangsa? Mungkin sebagian dari kita pesimis
untuk menjawab pertanyaan tersebut. Salah satu indikatornya adalah beberapa
bahan makanan justru mengeksport dari negara lain, juga investasi dari negara
lain yang sangat banyak di seluruh wilayah Indonesia.
Dengan masuknya investasi
dari negara asing, maka secara otomatis akulturasi budaya luar ke dalam
budaya Indonesia. Pertemuan
budaya yang berbeda ini tidak dapat dihindari akibat proses interaksi yang terjadi.
Salah satu contoh
investasi asing yang paling menonjol adalah investasi dari negara Amerika
Serikat (AS) di Papua, yaitu PT. Freeport. Freeport merupakan perusahaan
penambang bijih emas terbesar di dunia. Seluruh modal dan
hampir sebagian besar Sumber Daya Manusia
(SDM) perusahaan berasal dari Amerika Serikat, meskipun ada dari warga Indonesia tapi posisinya tidak
strategis.
Freeport kemudian mengambil kekayaan alam
Indonesia dan diolah dengan teknologi mereka,
yang sangat miris adalah pembagian hasil dari
percampuran SDM asing dan SDA Indonesia. Amerika Serikat
memperoleh hasil 99% sedangkan Indonesia mendapatkan hasilnya 1% untuk
Indonesia.
Disisi lain, atas pemberian PT.
Freeport yang sering kali melukai perasaan rakyat Indonesia, terdapat hal yang
positif atas datangnya investasi asing. Seperti dukungan PT. Chevron Pacific
Indonesia pada 14 Juni 2013 pada peningkatan gizi bayi, mereka memberikan
makanan tambahan bayi di Kec. Tanah Putih, Rokan Hilir, Riau. Selain itu PT.
Shell Indonesia bersama warga Surabaya menggelar kegiatan Community Festival yang dilakukan
di daerah Panjang Jawa, kegiatan yang positif ini bertujuan untuk mendaur ulang sampah menjadi hal
yang berguna.
Tak hanya kota besar atau pelosok
yang ada diluar pulau Jawa, yang menjadi sasaran investasi negara asing. Daerah-daerah kecil yang berpotensi menjadi tempat yang
strategis untuk menjadi target investasinnya. Kota
kecil seperti Kabupaten Purbalingga (Jawa Tengah) kota perwira
yang sangat bersahabat dengan investor-investor asing, juga
telah tersentuh investasi asing.
Hingga saat ini Purbalingga merupakan central
penghasil rambut dan bulu mata palsu terbesar di Indonesia dan terbesar kedua
di dunia setelah Guangzhou, Cina. Penanam
modal dan tenaga ahli dari Korea Selatan, Purbalingga telah mengalami
percepatan diberbagai bidang, meski jumlahnya sedikit para pemilik modal dan
tenaga ahli yang berasal dari Korea Selatan ini ikut tinggal di Purbalingga. Pada akhirnya mereka bertemu
dengan budaya Purbalingga tetapi mereka juga tidak bisa lepas
dari budaya asalanya, apalagi pada saat-saat awal mereka masih kental dengan
budaya Korea Selatan nya. Pertemuan dua negara
dan dua bangsa ini dapat memicu konflik yang dapat terjadi sewaktu-waktu tapi pertemuan
ini juga membawa hal positf dan harapan baru bagi kedua belah pihak.
Dimulai tahun 1976, seorang penanam
modal asing (PMA) Korea Selatan menginvestasikan modalnya di Purbalingga, yaitu dengan membangun PT.
Royal Korindah, demikian perusahaan rambut palsu pertama di daerah ini. Tiga
tahun berselang, dua penanam modal asing Korea Selatan ikut mendirikan
perusahaan rambut Indokores Sahabat dan Yuro Mustika tak hanya oleh penanam
modal asing tapi juga pihak lokal mulai tertarik untuk investasi dibidang ini. Tercatat
hingga 2013 ada 23 penanam modal asing (sebagian besar didanai oleh Korea
Selatan) dan 500 penanam modal dalam negeri. Ketersedian sumber tenaga kerja
manusia (perusahaan rambut dan bulu mata palsu menggunakan tenaga kerja manusia,
hanya sebagian kecil yang dilakukan oleh mesin) dalam jumlah yang banyak,
peraturan pemerintah yang mendukung investasi ini, kondisi wilayah yang aman,
kondusif serta masyarakat yang ramah membuat pihak Korea Selatan makin tertarik
di Purbalingga.
Indonesia saja yang berbeda suku
tapi masih satu bangsa mempunyai budaya yang berbeda, apalagi antara Korea
Selatan dan Purbalinnga.Kaum pemilik modal dan tenaga ahli dari Korea Selatan
menjadi kaum minoritas di Purbalingga.Jumlahnya lebih sedikit jika dibandingkan
dengan kaum pendatang baik Arab maupun Cina.Namun posisinya juga begitu kuat di
Purbalingga.Korea Selatan memiliki budaya, bahasa, dan agama yang
berbeda.Membutuhkan waktu untuk menyesuaikan budaya mereka pada budaya
Indonesia, salah satu budaya orang Korea Selatan yang kurang bisa diterima di
budaya Indonesia adalah budaya minum soju (minuman beralkohol). Di Korea
Selatan sana, setelah sepulang kerja dari perusahaan atau pabrik mereka akan
ramai-ramai meminum minuman beralkohol, tak peduli itu bos, mandor atau sekedar
baruh, hal ini tentu tidak bisa diterima oleh masyarakat Purbalingga, selain
tidak cocok dengan hawa panas negara tropis seperti Indonesia alkohol juga
merupakan minuman yang dilarang dalam budaya adat Jawa.
Contoh lain, Korea Selatan adalah
negara yang memiliki etos kerja tinggi dan disiplin waktu yang ketat. Mereka
akan bekerja dengan semangat yang besar, tepat waktu dari mulai kerja hingga
selesai, bila belum mencapai target sesuai harapan, mereka akan menambah jam
kerja hinnga sesuai targer. Dititik ini pula, budaya kita dipertentangkan,
entah mengapa etos kerja Indonesia lebih rendah dari pada orang Korea.Demi
mengikuti pemilik modal masyarakat Purbalingga mulai menyesuaikan etos kerja
mereka.Mau tidak mau mereka harus ikut dengan segala aturan kerja orang Korea.
Jurang perbedaan juga terdapat pada
bahasa dan tulisan, meski rata-rata produk dan tata cara pengerjaannya
menggunakan bahasa inggris, tetapi terkadang orang Korea menyampaikan hal itu
dalam bahasa Hangul (bahasa Korea Selatan). Namun hal ini dapat segera diatasi,
beberapa karyawan berinisiatif untuk mempelajari bahasa Korea.Demikian pula,
para mister (sebutan untuk pemilik dan tenaga ahli Korea Selatan di Pabrik)
belajar sedikit kosakata bahasa Indonesia.Dengan berjalannya waktu perbedaan
bahasa ini dapat dilalui oleh kedua belah pihak.
Dari perbedaan yang ada, tidak ada
bisa dihindari gejolak permasalahan. Hal ini tidak dapat di pisahkan dari
pertemuan dua budaya ini dan juga tidak dapat diprediksi kapan permasalahan
akan timbul. Seperti diberitakan dalam Antara Jateng (15 Februari 2013) ribuan
buruh pabrik rambut PT. Sungchang melakukan mogok masal, menyebabkan produksi
lumpuh sementara dan ketegangan di kedua belah pihak.Para buruh menuntut
perlakuan orang Korea Selatan sebagai tenaga ahli untuk lebih menghormati
mereka.Para buruh membawa spanduk dalam tulisan Indonesia maupun Korea “Kami
Datang Untuk Bekerja Bukan Dihina, Kami Manusia Biasa Jangan Dihina.”Selain itu
mereka juga menuntut pembatalan lembur yang berlebihan akibat kuarang
tercapainya target produksi. Hal ini ditengahi oleh pemerintah, melalui dinas
sosial dan tenaga kerja, pihaknya merupakan jembatan penghubung antara buruh
Purbalingga dan pemilik modal serta tenaga ahli dari Korea Selatan. Pengaturan
jam kerja oleh pemerintah yang kemudian diterapkan pihak perusahaan sangatlah
penting bagi karyawan dan kelangsungan produksi itu sendiri.
Selain itu, adanya buruh anak yang
bekerja di pabrik rambut akan dikembalikan ke sekolah, hal ini dicantumkan
dalam tempo (bulan Agustus 2013). Mereka yang masih berada di usia wajib
belajar 9 tahun haruslah menikmati waktunya untuk belajar, bukanlah untuk
bekerja. Mereka dapat kembali bekerja bila sudah saatnya, ketika sudah melewati
usia wajib belajar, ketika usia dewasa telah datang, peraturan wajib belajar 9
tahun harus turut ditegakkan pabrik rambut dan diawasi oleh Pemerintah
Purbalingga. Adalah suatu hak dan kewajiban setiap warga Indonesia untuk
mendapat pendidikan yang cukup.Purbalingga membutuhkan Korea Selatan sebagai
penanam modal asing.Demikian pula Korea Selatan membutuhkan Purbalingga sebagai
pembuat produknya.Tak hanya menimbulkan konflik, tapi pertemuan ini
menghasilkan sesuatu yang lebih indah.Penurunan jumlah pengangguran di
Purbalingga dan sekitarnya, karena ribuan orang terserap dalam perusahaan
rambut.Semakin banyak perusahaan rambut yang berdiri, semakin turun pula jumlah
panganggurannya dan produk yang dihasilkan sebagian besar diekspor ke luar
negeri, Australia, Amerika Serikat, Jepang dan negara-negara Eropa.Selain itu,
hal ini menyebabkan naiknya angka ekspor untuk produk rambut palsu Purbalingga.
Dilaporkan PT. Lembaga Penelitian Pengembangan Sumber Daya Lingkungan Hidup
(PT. LPPSDLH) Purbalingga menyumbang 56,10% Investasi industri seluruh
Indonesia. Dikatakan investasi yang masuk senilai U$ 19.033.000 dari total U$
21.985.000 pada tahun 2013. Sementara dipihak Korea Selatan pun semakin
tertarik dengan investasi perusahaan rambut.Disebutkan, hingga 2013 sudah ada 2
Penanam Modal Asing yang siap untuk memasukkan dananya di Purbalingga.
Dari perbedaan yang ada, konflik
yang sempat terjadi hal ini akan semakin mempererat hubungan Purbalingga (Indonesia)-Korea Selatan.
Kebersamaan yang ada haruslah tetap terjaga, seperti rel kereta yang
berdampingan untuk menggapai satu tujuan yang sama. Purbalingga sebagai
mayoritas harus bisa menghormati budaya Korea, demikian pula Korea Selatan
harus bisa menghargai warga Purbalingga. Konflik tidak akan bisa dihindari,
hanya bisa diperkecil dampaknya benturan itu. Saling memberi dan mengisi
kekosongan kedua belah pihak, menghormati antar budaya masing-masing dan peran
serta Pemerintah sebagai mediator merupakan salah satu kunci keberhasilan
Purbalingga-Korea yang bersatu.Sebuah perbedaan bukanlah penghalang untuk hidup
harmonis. Berasal
dari tangan Purbalingga dan modal Korea Selatan, majulah terus produk rambut
palsu.