Sumber |
Ilmu Sejarah seperti ilmu-ilmu
lainnya mempunyai unsur yang merupakan alat untuk mengorganisasi seluruh tubuh
pengetahuannya serta menstrukturasi pikiran, yaitu metode sejarah. Kalau metode
berkaitan dengan masalah “bagaimana orang memperoleh pengetahuan” (how to know), metodologi menyangkut soal
“mengetahui bagaimana harus mengetahui” (to
know how to know). Secara implisit metodologi mengandung unsur teori
(Kartodirdjo, 1992: ix). Dalam kaitanya dengan sejarah, dengan sendirinya
metode sejarah adalah “bagaimana mengetahui sejarah”, sedangkah metodologi
adalah ”mengetahui bagaimana mengetahui sejarah (Sjamsuddin, 2007: 14).
Pada tahap awal suatu pengkajian,
peneliti perlu menetapkan bagaimana hendak mendekati objek studinya; pendeknya
menentukan approach atau pendekatan
yang akan diterapkan. Pengkajian sejarah yang memakai pendekatan itu akan lebih
mampu melakukan eksplanasi (penjelasan) daripada yang membatasi diri pada
pengungkapan bagaimana sesuatu terjadi atau menguraikan kejadian sebagai narasi
(cerita).
Suatu peristiwa harus diterangkan
secara lebih jauh dan lebih mendalam mengenai bagaimana terjadinya, latar
belakang kondisi sosial, ekonomis, politik, dan kulturalnya. Di sini kita
memperoleh dasar legitimasi mengapa dalam studi sejarah diperlukan metodologi
dan teori. Dalam perkembangannya pada abad ke-20 ini banyak dipakai
konsep-konsep dan teori-teori yang berasal dari antropologi, sosiologi, dan
ilmu sosial lainnya. Ada kecenderungan bahwa ilmu sejarah dan ilmu sosial mulai
berkembang ke arah rapproachement
(saling mendekati) (Kuntowijoyo, 2008: 117). Bagi studi sejarah, proses itu
memberi keuntungan banyak dan memperbesar produktivitas penulisannya.
Dalam kajian sejarah klasifikasi
yang dikemukakan oleh beberapa pakar sangat beragam, oleh Kuntowijoyo (1994:
19-130; 2003: 23-246) klasifikasi sejarah adalah, 1) sejarah sosial, 2) sejarah
politik, 3) sejarah mentalitas, 4) sejarah pemikiran, 5) sejarah pedesaan, 6)
sejarah Kebudayaan, 7) sejarah lisan, 8) sejarah kota, 9) sejarah Ekonomi
pedesaan, 10) sejarah wanita, 11) sejarah local, 12) sejarah agama, 13) sejarah kuantitatif dan 14) biografi.
Selain Kuntowijoyo, klasifikasi
yang lain juga dikemukaan oleh Suhartono (2010: 110) yaitu, 1) sejarah
sosial, 2) sejarah politik, 3) sejarah mentalitas, 4) sejarah pemikiran, 5)
sejarah agrarian (pertanian, perkebunan), 6) sejarah Kebudayaan dan kesenian,
7) sejarah lisan, 8) sejarah kota, 9) sejarah ekonomi, 10) sejarah perempuan,
11) sejarah lokal, 12) sejarah agama,
13) sejarah kuantitatif dan 14) sejarah psikologi, 15) sejarah demografi, 16)
sejarah budaya rakyat, 17) sejarah nasional, 18) sejarah keluarga, 19) sejarah
etnis, 20) sejarah pendidikan, 21) sejarah desa(petani) dan, 22) sejarah
maritim.
Bertolak dari pemikiran diatas,
penulis memilih topik sejarah agama dalam pembuatan review buku teori dan
metodologi sejarah. Buku Dra. Hermawati, M.A. yang berjudul sejarah agama dan
bangsa Yahudi, tentunya juga penulis menggunakan konsep, teori, dan metodologi.
Selain itu juga menggunakan pendekatan yang digunakan untuk membantu dalam
menganalisis peristiwa. Oleh karena itu kami akan mencoba untuk menganalisis
pendekatan teori serta metodologi yang digunakan oleh penulis buku tersebut.
Dra. Hermawati, M.A lahir di Padang pada tanggal 26 Desember 1954, memperoleh
gelar sarjana perbandingan agama Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 1984, dan memperoleh gelar Magister Program Sejarah Peradaban
Islam, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Sejak 1985 hingga saat ini, penulis adalah pengajar
sejarah peradaban Islam, SPII, Agama-agama Dunia, Yudaisme. Buku
tulisan Dra. Hermawati, M.A merupakan hasil penelitian yang kemudian
diterbitkan menjadi buku oleh RajaGrafindo Persada tahun 2004, buku ini
mengungkapkan fakta sejarah, terutama yang berkaitan dengan fakta sejarah
terkait konflik Palestina dan Israel, yang beberapa minggu terakhir ramai
diperbincangkan oleh media, lagi-lagi karena Israel membom bardir Jalur Gaza
(Palestina).
B.
Menganalisi Konsep,
Teori dan Metodologi
Kontak antara Israel dan Palestina
dikategorikan pada hubungan internasional yang dapat didefinisikan sebagai
berbagai rangkaian aksi dan reaksi antara kelompok, baik berbenruk Negara,
bangsa, organisasi internasional, kelompok perorangan, maupun pribadi yang
berpengaruh (Hamidjodjo, 1987: 1). Sebab hubungan internasional tidak hanya
mencakup pada bidang politik, tetapi menjangkau segala kehidupan manusia,
seperti ekonomi, sosial, budaya, agama, serta lainya. Sedangkan sebagai objek
studi, hubungan internasional memeliki tujuan dasar untuk mempelajari perilaku
internasional, yaitu perilaku para actor, Negara, maupun non Negara, didalam
arena transaksi internasional (Mas’oed, 1990: 28). Perilaku tersebut dapat
berupa perang, konflik, kerjasama, pembentukan aliansi, interaksi dalam
organisasi internasional, dan sebagainya. Berdasarkan pada uraian ini, kasus
persengketaan Palestina dan Israel dapat dikategorikan kedalam kajian studi
hubungan Internasional, karena kasus tersebut membentuk rangkaian aksi-reaksi
antara dua Negara, dan melibatkan Negara-negara lain dengan sifat hubungan yang
konfliktual.
Konflik yang terjadi pada Palestina
dan Israel terdorong dari Nasionalisme. Nasionalisme adalah kata dan paham yang
pertama kali digunakan oleh Augustin Barruel pada tahun 1789. Nasionalisme
merupakan paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus
diserahkan kepda Negara kebangasaan. Nasionalisme dapat terbentuk oleh ikatan
rasa kebangsaan kelompok individu, persamaan ras, bahasa, warisan budaya, serta
kesatuan atau kedekataan wilayah. Kesadaran nasioalisme pada bangsa-bangsa baru
tumbuh sejak akhir abad ke-18 setelah sebelumnya kesetiaan individu hanya
ditujukan kepada berbagai kekuasaan sosial, seperti pada organisasi politik,
raja-raja, serta kesatuan ideology atau agama. Pada masa modern, nasionalisme
dilembagakan dalam bentuk Negara. Unsure-unsur utama dalam pembentukan suatu
Negara adalah wilayah, penduduk, pemerintahan yang sah, dan kedaulatan.
Kesadaran dan semangat nasionalisme
bangsa-bangsa Arab baru timbul pada akhir abad ke 19, seiring dengan semakin
menurunya pengaruh kekuasaan Imperium Turki Utsmani. Namun, semangat
nasionalisme dan cita-cita pendirian Negara Palestina terbentur oleh kedatangan
bangsa Yahudi ke wilayah mereka yang memiliki semgat dan cita-cita yang sama.
Tujuanya adalah untuk mendirikan suatu tanah air untuk mempersatukan Bangsa
Yahudi yang hidup terpencar-pencar diseluruh dunia (diaspora).
Benturan antara
keduanya kemudian berkembang menjadi sebuah konflik terbuka yang memperebutkan
wilayah Palestina. Disatu pihak, Palestina berjuang untuk merebut kembali
wilayah tanah air mereka yang sah. Sedangkan Israel berusaha untuk
mempertahankan dan memperluas wilayah yang telah berhasil direbut dan dikuasai.
Umumya negara-negara yang baru berdiri mudah terjebak pada konflik-konflik
serius yang disebabkan oleh ikatan-ikatan primordial. Ikatan primordial
tersebut diartikan sebagai perasaan yang lahir dalam kehidupan sosial, sebagian
besar dari hubungan langsung dan hubungan kekerabatan, tetapi juga meliputi
keanggotaan dalam lingkungan agama tertentu. Frans Magnis Suseno mengartikan
primordial sebagai “keterlibatan hati atau motivasi berdasarkan lingkungan
sosial asli. Artinya satu-satunya loyalitas yang dirasakan adalah realitas
sosial lingkungan pengalaman asli misalnya daerah, suku, agama, dan ras”.
Clifford Greetz dalam bukunya The
Integrative Revolution : Primordial Sentiments and Civil Politics in the New
State tahun 1963, dalam hal ini berpendapat bahwa “pada negara-negara yang
baru berdiri, salah satu penyebab konflik umumnya adalah masalah-masalah yang
disebabkan oleh ikatan-ikatan primordial antara lain hubungan daerah (suku),
jenis bangsa (ras), bahasa, kedaerahan, (regionalisme), agama, kebiasaan
(tradisi). Meskipun sebagian besar masalah yang timbul dari ikatan-ikatan
primordial tersebut terjadi di dalam wilayah suatu negara namun ada konflik
internasional yang berpusat dan digerakan oleh ikatan-ikatan primordial negara-negara
baru”.
Konflik yang
terjadi antara Israel dan Palestina, merupakan salah satu contoh sengketa,
disebabkan oleh masalah primordial yang sudah berakar, sejak Israel
memproklamasikan kemerdekaannya tahun 1948 sampai sekarang belum memperlihatkan
tanda-tanda akan berakhir.
Disamping itu,
sengketa tersebut juga dipengaruhi oleh adanya sentimen nasionalisme yang
berbeda pada masing-masing pihak yang bersengketa. Dengan demikian, adanya
kecintaan terhadap tanah, ras, bahasa atau budaya historis dan keinginan untuk
memilih kemerdekaan secara politik, keamanan, kebanggaan terhadap bangsa,
menyebabkan sengketa Israel dan Palestina menjadi masalah yang lebih kompleks
karena masalah nasionalisme itu berkaitan langsung dengna primordial. Hal
tersebut terlihat dari adanya keterkaitan antara rasa nasionalisme dengan agama
dan etnis yang menyebabkan konflik menjadi kompleks.
Konflik antara
Israel dan Palestina timbul karena kedua negara tersebut menginginkan wilayah
Palestina. Palestina dianggap bernilai bagi masing-masing pihak dan berusaha
untuk menghalangi keinginan pihak lainya. Dalam hal ini, kedua negara tersebut
selalu berupaya melakukan tindakan-tindakan dengan tujuan untuk memenangkan
konflik tersebut.
Werner Levi dalam
bukunya International Politics Foundation
of the Sistem tahun 1974, menyebutkan bahwa karakter yang dimiliki oleh
suatu masyarakat akan memberikan nuansa khusus bagi hubungan antarnegara. Hal
ini akan mengakibatkan penggunaan ancaman atau kekuatan oleh suatu negara dalam
menyelesaikan konflik akan lebih menonjol. Jika suatu negara dapat menggunakan
kekuatanya dengna sewenang-wenang dan sepihak, potensi destruktif yang
diakibatkan oleh konflik tersebut menjadi semakin besar dan dampak sosial yang
diakibatkan oleh konflik tersebut menjadi semakin besar dan dampak sosial yang
harus dipikul untuk mengatasi konflik tersebut akan semakin luas. Oleh karena
itu, dengan semakin meningkatnya penggunaan kekerasaan dalam masyarakat
internasional, penyelesaian konflik yang bersifat konstruktif (negosiasi untuk
mencapai promosi), cenderung diabaikan.
Karena konflik
tersebut juga berkaitan dengan sentimen agama, etnis, ideologi dan rasa
nasionalis yang berbeda anata Palestina dan Israel, maka digunakan teori
primordial dan teori nasionalisme. Dengan terjadinya konflik militer terbuka
sejak tahun 1948 menunjukan bahwa konflik tersebut telah menjadi kekerasaan
yang terorganisir, karena masing-masing pihak mempunyai sikap dan persepsi yang
berbeda terhadap suatu masalah dan saling bermusuhan dan perlunya dimaksimalkan
peranan negara-negara besar sebagai aktor internasional seperti AS dan
sekutunya serta negara-negara Arab bagi kepentingan penyelesaian konflik
tersebut sehingga dapat memperluas wilayah yang berhasil direbut dan
dikuasainya.
Berbagai upaya
telah dilakukan untuk mendamaikan kedua belah pihak dan menyelesaikan
permasalahan yang berkepanjangan. Upaya-upaya tersebut kerap dilakukan melalui
cara mediasi, melibatkan pihak ketiga untuk mencapai kompromi, dan
mempertemukan kedua belah pihak dalam perundingan damai. Seperti berbagai upaya
perundingan damai yang diprakrasai oleh negara-negara Arab di Timur Tengah
antara lain Mesir, Arab Saudi, dan negera-negara yang tergabung dalam OKI, juga
Amerika Serikat sejak tahun 1991. Namun kenyataanya, permasalahan tidak dapat
diselesaikan. Hal ini disebabkan selain faktor sejarah dan politik, terdapat
faktor religius yang ikut berperan dalam melatarbelakangi konflik. Paham
zionisme bangsa Yahudi, yaitu paham semangat kebangsaann yang kental dilandasi
oleh semangat keagamaan telah menyulut pula semangat keagamaan di pihak
Palestina, terutama di kalangan umat Islam.
Kenyataan inilah
yang sangat sulit untuk dapat dicarikan titik temu. Keadaan ini semakin
bertambah rumit dengan adanya tumpang tindih kepentingan dari berbagai pihak
yang ingin memainkan peran dan menanamkan pengaruhnya di kawasan Timur Tengah
yang dalam perkembangan masalah ini khususnya Amerika Serikat dan negara-negara
Barat lainya.
Adapun teknik
pengumpulan data penelitian ini, dilakukan dengan studi kepustakaan dari
berbagai referensi, seperti buku-buku, jurnal ilmiah, majalah, koran, dan media
lain yang relevan dengan penulisan buku ini.
Dalam menganalisis
penulisan buku ini, digunakan deskriptif analisis dan historis yang bertujuan
untuk menggambarkan fenomena sosial tertentu, fakta (konflik Palestina dan
Israel) yang terjadi dan bagaimana dengan fenomena lain. Sedangkan metode
pendekatan yang digunakan adalah kualitatif.
Buku ini kajiannya masuk ke dalam
konteks sejarah agama.
Untuk menjelaskan permasalahan, penulis buku ini menggunakan berbagai macam
pendekatan. Sebagian buku ini memang hasil riset penulis dalam perkuliahan perbandingan agama dan studi
agama-agama. Akan tetapi sebagian lain banyak
diambil dari sumber-sumber sekunder, terutama dari buku dan riset sejarah yang
dilakukan oleh peneliti lain. Meskipun demikian konstruksi ilmiah dari buku ini
tetap berada dalam konstruksi penulis buku ini.
Buku ini tersusun menjadi tujuh bab. Bagian pertama
berisi tentang pendahuluan.
Pada bagian ini dilakukan analasis
penelitian penulisan buku, dan alasan-alasan teori dalam penulisan buku.
Bagian kedua berisi Israel masa prasejarah, membahas tentang asal nama
Israel, dan sejarahnya sampai masa kejayaan pada masa raja David (Daud) sampai
masa kemunduran dan pembuangan (diaspora).
Bab tiga menceritakan berdirinya zionisme dan berdirinya negara
Israel, seperti gerakan pembaharuan agama yahudi dan sejarah berdirinya gerakan
Zionisme serta migrasi Yahudi dan berdirinya negara israel di Palestina.
Bagian empat membicarakan Palestina dalam lintas Sejarah, seperti
sejarah awal Palestina dan sebelum kedatangan bangsa Arab, kemudian palestina
masa Islam, peristiea perang salib dan pengaruhnya terhadap, dan palestina pada
masa kekuasaan Turki Utsmani.
Bagian lima membahas tentang nasionalisme bangsa Palestina, seperti
kebangkitan-nasionalisme bangsa Palestina, latar belakan berfirinya PLO, dan
Hamas tentnag perjuanganya di Palestina.
Bab enam penulis
membahas negara-negara Islam dalam penyelesaian konflik Israel dan Palestina
seperti negara-negara di Arab, Mesir dan Organisasi Konfrensi Islam (OKI).
Bab ke tujuh
merupakan bab terakhir merupakan bab penutup, dan penulis menyimpulkan
pemaparan yang dilakukan dari awal sampai akhir sehingga menarik suatu
kesimpulan.
C.
Kesimpulan
Konflik yang
terjadi antara Palestina dan Israel melibatkan negara-negara Arab disebabkan
oleh pendudukan wilayah Palestina dan negara-negara Arab oleh Israel. Mengkaji
sejarah Israel, tidak terlepas dari sejarah Yahudi, berawal sejak zaman Nabi Ibrahim yang
mempunyai dua orang putra, yaitu Ismael dan Ishaq, kemudian keturunan Ishaq
lahirlah Bani Israel. Ibrahim mampu tampil dengan revolusi pemikiran dengan
melakukan protes terhadap tradisi masyarakat yang telah mapan.
Dalam perjalanan panjang
sejarahnya, umat Yahudi merasakan masa-masa jaya seperti masa Daud dan
Sulaiman. Namun pasca Sulaiman, mereka mengalami penjajahan, penindasan dan
pengusiran (diaspora). Dalam masa pengasingan mereka tetap eksis, kemudian
mampu menampilkan sebuah gerakan pembaruan yang lebih dikenal dengan gerakan
Zionisme yang dicetuskan oleh Theodor Herzl. Melalui perjuangan Zionisme,
Israel dibentuk menjadi sebuah negara. Mereka mngklaim Palestina sebagai
wilayah leluhur mereka “tanah yang dijanjikan” Tuhan terhadap umat Yahudi.
Israel setelah
memproklamirkan diri sebagai negara yang berdaulat, maka selalu mendapat
bantuan, perlindungan dan dorongan dari AS dan sekutunya, sehingga bisa tampil
menjadi negara yang terkuat di kawasan Timur Tengah. Begbagai perundingan kedua
belah pihak sebenarnya telah dilakukan tetapi selalu mengalami kebuntuan yang
disebabkan oleh dukungan lobi pro-Israel di negara-negara Barat yang mempunyai
hak veto dalam PBB, disamping itu lemahnya persatuan negara-negara Arab
menambahkan kendala dalam penyelesaian konflik. Pengaruh kemerdekaan Palestina
seperti HAMAS dan organisasi lainya yang sering tidak sepakat dengan kebijakan
penguasa resmi Palestina PLO, memperpanjang masalah yang dihadapi Palestina.