BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tokoh
Raden Sayyid Kuning
Mengenai
tokoh Raden Sayyid Kuning ini penulis memang penuh hati-hati dalam
menuliskannya, karena dalam naskah Babad Onje nama Sayyid Kuning tidak disebut,
yang disebut adalah sebuah nama Ngabdulah Syarif yang berasal dari Timur Tengah
dia bertemu dengan Syarif Hidayatulloh
(Sunan Gunung Jati) di Cirebon dan ditugaskan untuk melakukan Islamisasi di
Purwokerto tepatnya di desa Karangluas bersamaan dengan Syekh Madum Wali dan
Syekh Madum Umar. Syekh Madum wali mempunyai Pondok Pesantren dan Ngabdulah
Syarif diperbantukan untuk mengajar di pesantren tersebut. Karena di tanah Onje
belum ada yang mendalami ilmu agama, sewaktu
Adipati Onje yang bernama Hadiwijaya ke-2 atau Nyokropati yang masih
mempunyai hubungan keluarga dengan Syekh Madum Umar yang merupakan mertua dari
Adipati Onje yang mempunyai istri Keling Wati dan merupakan anak dari Syekh
madum Umar, setelah mengetahui ada pemuda mengajar mengaji di pondok tersebut
maka diambilah dia sebagai Imam sekaligus dinikahkan dengan anak wanitanya yang
bernama Kuning Wati dan Ngabdulah Syarif menetap di Onje setelah Ngabdulah
Syarif menjadi penghulu dia akrab dipanggil Raden Sayyid Kuning yang sampai
sekarang namanya digunakan sebagai nama masjid di desa Onje, Kecamatan Mrebet,
Kabupaten Purbalingga.
B.
Legenda Masjid Sayyid Kuning
Untuk
membandingkan sejarah yang sebenarnya berdirinya Masjid Sayyid Kuning, perlu
dikemukakan tentang legenda masjid Raden Sayyid Kuning. Legenda yang berkenaan
dengan masjid Raden Sayyid Kuning merupakan suatu keunikan tersendiri bagi setiap
bangunan yang bersifat sakral. Legenda-legenda tersebut kecuali mengandung
nilai filosofis yang tinggi, juga dapat dicari nilai-nilai sejarah yang ada di
dalamnya. Legenda tentang masjid Raden Sayyid Kuning, meskipun semua tidak
berkenaan dengan sunan, namun dalam hal ini sunan menduduki tempat yang
penting.
Sejarah Masjid
Raden Sayyid Kuning diambil dari kisah Babad Onje yang merupakan cikal bakal
kabupaten Purbalingga. Menurut para sesepuh desa Onje, keberadaan masjid Onje
sebenarnya jauh sebelum adanya masa desa onje. Diceritakan bahwa sebelum
datangnya seorang tokoh ke Tempat yang kemudian bernama desa Onje sudah ada
masjid di desa tersebut. Tokoh tersebut bernama Ki Tepus Rumput. Diceritakan
oleh tokoh sesepuh desa Onje bahwa masjid tersebut yang mendirikan adalah para
Wali Sanga. Meskipun dikisahkan bahwa tidak semua ikut mendirikan. Disebut yang
ikut mendirikan masjid adalah Sunan
Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga. Kelima sunan
tersebut di atas sebelum masuk ke Onje, terlebih dahulu mendirikan masjid di
Desa Keramat Kabupaten Tegal. Kemudian, di desa Gunung Jimat Kabupaten
Pemalang. Di tempat itulah bertemu dengan Syekh Maulana Mahribi yang mempunyai
nama lain Ki Tepus Rumput.
Syekh Maulana
Mahribi di tempat tersebut sedang mengejar Syeh Jambu Karang yang lari ke
Gunung Jim Belik. Kemudian Syekh Maulana Mahribi menyuruh kelima sunan tersebut
untuk pergi ke arah selatan (desa Onje, Purbalingga). Kalau kelima sunan itu
tidak pergi ke selatan (Onje) maka Syekh Jambu Karang tidak akan keluar dari
Gunung Jimat. Kelima sunan seperti diatas adalah Sunan Ampel, Sunan Bonang,
Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati dan Sunan Kalijaga.
Para sunan
tersebut sebelum mendirikan masjid Onje bermusyawarah terlebih dahulu di tepi
sungai Tempuran Tiga atau yang lebih dikenal Kedung Pertelu. Diceritakan bahwa sehabis bermusyawarah para sunan
pergi naik menuju tempat untuk mencari kiblat. Tempat inilah yang sekarang
menjadi perempatan tempat di depan masjid sekarang. Ternyata dari kelima sunan
tersebut ada seseorang sunan yang tidak ikut naik dan masih berada di sungai,
yaitu Sunan Gunung Jati. Yang ternyata sedang mengiringi batu dari tepi sungai.
Batu-batu itulah yang digunakan untuk benteng masjid sebelah selatan dan sampai
sekarang benteng tersebut masih berdiri meskipun masih dipermanen.
Sunan Kalijaga
juga telah member isyarat kepada sunan lainnya untuk mencari arah kiblat. Maka
Sunan Kali Jaga menghadap ke utara, timur, selatan, barat dan beliau
mengajungkan jari kearah barat batu kiblat. Kemudian para sunan lainnya menuju
kearah barat. Hanya sunan Gunung Jatilah yang tidak ikut dikarenakan sedang
memasang batu di sebelah selatan.
Menurut para
sesepuh desa Onje yang memahami sejarah, masjid didirikan jam satu malam
sesudah shalat tahajud. Sesudah menegakan tiang empat yang terbuat dari tatal,
kemudian memasang selorok dan kemudian memasang atap yang terbuat dari ijuk abyad. Setelah selesai mendirikan
tiang atau saka empat dan atapnya, diteruskan membuat mimbar bedug, satu batu dipasang disebelah
timur tepatnya di bawah atap tetesan air (tritisan/titikan).
Para sunan belum sempat membuat pagar mereka meneruskan perjalanan/pindah ke
Demak.
Diceritakan
bahwa pada masa Kadipaten Onje, masjid yang sudah berdiri tersebut diteruskan
pengelolaannya oleh Ki Tepus Rumput dan putra angkatnya yaitu Adipati Onje II
yang bernma Nyokropati. Pada masa inilah datang seorang penyebar agama Islam ke
Kadipaten Onje. Yaitu Raden Sayyid Kuning yang mempunyai nama asli Ngabdulah
Syarif Raden Sayyid Kuning beliau meneruskan dalam mengelola masjid bahkan
menjadi Imam masjid pertama. Ngabdulah Syarif Sayyid Kuning sebelum datang ke
Kadipaten Onje, beliau mengajar/mengaji kepada Sunan Drajad. Kemudian
menyebarkan agama Islam ke Karang Lewas, Purwokerto. Di tempat inilah beliau
bertemu dengan Kyai Arsayuda menantu Arsantaka dan bersama-sama menyebarkan
agama Islam bersama dengan Syekh Mahdum Wali dan Syekh Mahdum Umar. Namun
Sayyid Kuning meneruskan ke Kadipaten Onje (Kabupaten Purbalingga sekarang) dan
dijadikan menantu Adipati Onje.
Raden Sayyid
Kuning membuat dari Kayu Sidaduri. Namun bedug
tersebut diberikan kepada murid/santrinya yang berasal dari Purbasari.
Kemudian Raden Sayyid Kuning membuat bedug
lagi yang terbuat dari kayu Duren Siklambi. Konon kayu tersebut adalah pohon
yang sering digunakan oleh Adipati Onje II untuk menggantungkan baju sewaktu
dia mandi di Sungai Paingen, maka pohon tersebut dinamai Pohon Duren Siklambi.
Ada yang pernah mengatakan bahwa bedug
masjid Onje berbunyi sendiri. Pada suatu ketika memang ada orang yang mendengar
bedug berbunyi sendiri tanpa ada yang
memukulnya. Ada pula yang pernah mengalami kejadian aneh yaitu seorang peziarah
yang sedang melakukan mujahadah ritual
di masjid menceritakan bahwa mendengar adanys suara kletek-kletek. Kemudian, dicari oleh orang tersebut ternyata tidak
ada apa-apa. Disamping itu, ada juga orang yang mengalami kejadian aneh lainya
yaitu suara seperti motor di starter dari arah bedug, kemudian orang tersebut mendekati bedug dan disenteri, ternyata welulang
bedug bergerak keluar masuk. Dan orang tersebut keluar dari masjid dengan
lari ketakutan.
C.
Latar
Belakang Sejarah Berdirinya Masjid Sayyid Kuning.
Pada Abad 14 M
desa Onje belum ada dan belum bernama Onje masih dalam kondisi alas (Hutan, Gunung liwang-liwung). Datanglah seorang pengelana yang bernama Syekh
Samsyudin. Beliau adalah utusan raja dari Negara Arab untuk datang ke Jawa.
Karena di Jawa sedang terkena pageblug
(wabah). Syekh Samsyudin singgah di suatu tempat yang sekarang bernama Onje.
Beliau istirahat untuk melaksanakan shalat. Tempat untuk shalat itu adalah
sebuah batu. Di tempat inilah yang kemudian berdiri sebuah Masjid. Batu
tersebut sekarang tersimpan dibawah lantai keramik tepatnya di bawah mimbar
Masjid Raden Sayid Kuning. Meskipun tidak atau belum ada catatan sejarah
namun cerita turun-temurun ini tetap ada
dan berkembang di Masyarakat Onje, bahkan sebagian besar percaya kebenarannya.
Dan narasumber menceritakan bahwa peristiwa itu terjadi pada sekitar abad ke-14
M.
Pada waktu itu
menurut (M. Maksudi), ada seorang Wali singgah di pelataran jojok telu. Mereka mengadakan suatu musyawarah.
Selanjutnya, mendatangi sebuah tempat yang sekarang menjadi perempatan masjid.
Kemudian menuju ke arah Barat dan disitulah terdapat batu yang kemudian dipakai
untuk shalat. Sesuai melaksanakan shalat mereka mendirikan sebuah bangunan yang
berbentuk masjid. Belum keseluruan bangunan itu selesai mereka meninggalkan
tempat itu. Mengenai tokoh Sayyid Kuning ini penulis memang penuh hati-hati
dalam menulisnya. Karena dalam naskah babad Onje nama Sayyid Kuning tidak
disebutkan hanya “Ngabdulah ing Onje” sebagai pengulu di Onje, pada masa
Kadipaten Onje dengan Adipati Anykrapati sebagai adipatinya.
Bangunan
peninggalan wali yang berbentuk masjid diperbaiki atau dipugar. Kayu yang di
pakai adalah kayu jati yang berasal dari Jati Wangi. Sebagai seorang adipati,
Adipati Anykrapati melengkapi tugas pemerintahannya di bidang keagamaam. Yaitu
dengan mengangkat Ngabdullah Syarif sebagai pengulu Kadipaten. Ngabdullah
Syarif adalah seorang pengulu besar yang berasal dari Cirebon. Selain itu
sebagai pengulu beliau juga merupakan imam Masjid Onje, yang mengeloloa dan
mengurus masjid. Ngabdulah Syarif lebih dikenal dengan nama Raden Sayyid
Kuning. Nama tersebut dipakai setelah beliau menjadi kerabat Adipati Onje II.
Dengan memperistri putrinya yang bernama Kuningwati. Putri dari Kelingwati
istri Adipati Onje II. Yang berasal dari Kadipaten Pesisir Luhur.
Tahun 1940 waktu
itu Onje sudah menjadi desa di bawah pemeritahan Bupati Purbalingga. Pada tahun
inilah Masjid Onje untuk pertama kalinya direhab. Semenjak diperbaiki pada masa
kadipaten dan perdikan sampai dengan pemerintahan Kabupaten Purbalingga. Pada
saat itu Desa Onje dipimpin oleh seorang Penatus/Lurah/Kepala Desa yang bernama
Arsaredja. Di Desa Onje sampai dengan taun 1980-an ada satu masjid. Sampai pada
tahun 1983 dibangun masjid lainnya hal ini yang menggugah para jamaah dan
pengurus masjid Onje unuk memberi nama masjid yang hanya terkenal dengan sebutan
masjid Onje. Untuk pemberian nama masjid para pengurus bermusyawarah sekiranya
nama apa yang tepat untuk masjid tersebut.
Ada beberapa
usulan nama yang disampaikan pada saat musyawarah. Namun akhirnya karena ada
beberapa hal yang perlu ditanyakan kepada kesepuhan, maka pengurus masjid dan
beberapa jamaah sowan (berkunjung) ke tempat Habib Lutfi bin Yahya di
Pekalongan. Maka Habib Lutfi bin Yahya memberikan saran dan nasehatnya yang
kemudian diterima oleh pengurus masjid serta perwakilan jamaah. Masjid Onje
diberi nama Masjid Raden Sayyid Kuning oleh Habib Lutfi. Maka boleh dikatakan
bahwa pemberi nama untuk masjid Onje adalah Habib Lutfi bin Yahya seorang ulama
besar yang berasal dari kota Pekalongan, Jawa Tengah.
Sejak itulah
masjid yang hanya dikenal dengan masjid Onje dikenal dengan nama Masjid raden
sayyid Kuning. Nama tersebut mengandung makna tersendiri, terutama dengan
sejarah keberadaan masjid tersebut. Ada beberapa pendapat mengenai nama-nama
Imam Masjid Onje. Berikut ini nama-nama
Imam Masjid Raden Sayyid Kuning. Yang penulis peroleh dari penuturan para
narasumber dan sesepuh masjid, yaitu:
1. Raden
Sayyid Kuning/Ngabdullah Syarif Sayyid Kuning
2. Kyai
Samirudin
3. Kyai
Ibrahim
4. Kyai
Ilyas
5. Kyai
Murmareja bin Mustahal
6. Kyai
Murjani
7. Kyai
Ibrahin
8. Kyai
Sanrawi
9. Kyai
Masngadi tahun 1945-1996
10.Khotib
H. M. Soemarno tahun 1996-2007
11.Kyai
M. Maksudi
Berdasarkan
Surat Keputusan Kepala Desa Onje Nomor Tahun 2008, beliau sebagai pengganti
Kyai Masngadi, dan masih bersifat Pelaksanan Tugas (sampai dengan tahun 2010
ini belum definitif).