BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Budaya adalah sebuah
kata yang banyak diperbincangkan oleh berbagai kalangan dari yang demikian
variatif ditinjau dari perspektif strata sosial, intelektual, dan finansial.
Dengan berbagai macam interpretasi untuk memaknai kebudayaan baik dari sejarah,
perkembangan, maupun eksistensinya, manusia secara sadar atau pun tidak
sebenarnya telah bersinggungan dengan budaya itu sendiri dalam sepanjang
sejarah hidupnya. Manusia yang dalam hidupnya senantiasa dihadapkan pada berbagai
kompleksitas masalah dan upaya pemecahannya pastilah secara langsung maupun
tidak langsung akan berjibaku dengan budaya yang melekat pada dirinya sejak
lahir sebagai bawaan lingkungan tempat ia lahir, tumbuh, dan besar, tetai juga
adanya pengaruh budaya dari luar lingkungan asalnya yang mungkin didapatnya
ketika ia harus mengalami masa peralihan domisili atau lingkungan pergaulan
selama fase kehidupannya.
Ada banyak orang
membicarakan kebudayaan dengan berbagai aspeknya, tetapi tak banyak orang yang
mampu mendefinisikan apa sesungguhnya kebudayaan itu dan mengapa kebudayaan
demikian kuat memberikan pengaruh pada kehidupan manusia selama perjalanan
hidupnya. Secara umum banyak orang yang menganggap budaya terkotak hanya
sebatas bersinggungan dengan hal-hal yang berbau seni saja, padahal lebih dalam
dibandingkan sebatas seni, pada dasarnya budaya adalah pondasi yang demikian
fundamen sebagai akar terciptanya peradaban manusia.
Raymond Williams
(dalam Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, 2005: 7) menyatakan bahwa kata
kebudayaan merupakan salah satu dari dua atau tiga kata yang paling kompleks
penggunaannya dalam bahasa Inggris yaitu culture.
Kebudayaan didefinisikan
sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang
digunakannya untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungan dan
pengalamanya, serta menjadi landasan bagi tingkah-lakunya. Dengan demikian,
kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk,
rencana-rencana, dan strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian model-model
kognitif yang dipunyai oleh manusia, dan digunakannya secara selektif dalam
menghadapi lingkungannya sebagaimana terwujud dalam tingkah-laku dan
tindakan-tindakannya.
Suku
Madura merupakan etnis dengan
populasi besar di Indonesia, jumlahnya
sekitar 20 juta jiwa. Mereka berasal dari Pulau Madura dan pulau-pulau sekitarnya, seperti Gili Raja, Sapudi, Raas,
dan Kangean. Selain itu, orang Madura tinggal di bagian timur
Jawa Timur biasa disebut wilayah Tapal kuda,dari Pasuruan sampai utara Banyuwangi. Orang
Madura yang berada di Situbondo dan Bondowoso, serta timur Probolinggo, Jember, jumlahnya paling banyak dan jarang yang bisa berbahasa Jawa, juga termasuk Surabaya Utara ,serta sebagian
Malang.
Madura
adalah salah satu dari contoh cerminan etnisitas di Indonesia yang sangat
beragam. Sejarah Madura yang sangat panjang semenjak pendudukannya oleh
pemerintahan kolonial hingga saat ini memberikan ciri tersendiri kepada
Masyarakat Madura. Memang dapat dibenarkan jika Madura mendapat pengaruh yang kuat dari Jawa.
Sepanjang yang diketahui Madura telah merupakan bagian dari kerajaan Hindu dan
kekuasaan Islam yang pusatnya di Jawa, seperti misalnya Singosari, Majapahit,
Demak, Kudus, Gresik, Surabaya, dan Mataram. Raja-raja Madura pada zaman dahulu
mempunyai hubungan keluarga dengan bangsawan Jawa dan meniru-niru cara hidup
kraton Jawa. Walaupun keadaannya demikian, kebudayaan Madura mempunyai cirri
khasnya sendiri dan telah melalui proses perkembangan tersendiri.
Tulisan ini akan memaparkan kondisi budaya, sosial, dan politik pada
masyarakat Madura. Dengan metode ekspohistoris dan pemaparan tentang data yang
diperoleh dari berbagai artikel, buku dan tulisan lainnya untuk melengkapi
informasi mengenai keadaan masyarakat Madura hingga menjadi seperti saat ini.
Penetrasi yang kuat akan agama islam dalam masyarakat Madura yang sedikit
banyak merubah pandangan masyarakat Madura terhadap hidupnya. Dari mulai
masalah pendidikan, upacara-upacara keagamaan, sampai orientasi politiknya.
Agama Islam pada masa perkembangannya juga membentuk perekonomian rakyat Madura
dan menimbulkan budaya merantau dan berpindah tempat.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan
sebagai berikut.
1. Bagaimanakah sejarah masyarakat Madura?
2. Apa
saja aspek-aspek
perubahan budaya di Madura?
C. Tujuan
Adapun
tujuan dari makalah ini adalah:
1. Untuk
mengetahui sejarah
masyarakat Madura.
2. Untuk
mengetahui aspek-aspek
perubahan budaya di Madura.
D. Kegunaan
1. Kegunaan
Teoretis
Adapun
kegunaan teoretis dari makalah ini adalah untuk menambah khazanah pengetahuan tentang
kebudayaan Madura yang
mempunyai daya tarik tersendiri
dalam memperkaya pengetahuan
suku-suku di Indonesia.
2. Kegunaan
Praktis
Adapun
kegunaan praktis dari makalah ini dapat dispesifikasikan sebagai berikut.
a. Bagi
Penulis
1) Sebagai
salah satu sarana mempelajari dan memperdalam kebudayaan Madura.
2) Sebagai
salah satu cara mencintai dan menghargai keanekaragaman kebudayaan
yang merupakan warisan nenek moyang.
3) Sebagai
upaya kecil untuk mengetahui
selek beluk suku Madura agar lebih dikenal oleh masyarakat luas.
b. Bagi
Pembaca
1) Untuk
menambah pengetahuan dan pemahaman tentang suku Madura.
2) Untuk mengetahui tentang aspek-aspek budaya yang ada
di Madura
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Masyarakat Madura
- Tertanamnya Kekuasaan Belanda di Sumenep,
Madura
Cara bagaimana
Madura digabungkan ke dalam negara kolonial sangat berbeda dengan cara pulau
dan daerah lain di kepulauan Indonesia. Sampai pergantian abad ini kekusaan
pemerintah kolonial berbeda-beda di daerah satu dengan daerah lainnya. Mereka
tidak memiliki kekuasaan yang sama untuk seluruh wilayah. Sebagai akibatnya,
proses pembentukan negara tidak memberi kesan adanya suatu penyatuan yang
lancar dari berbagai bagian koloni ini. Sebaliknya, perkembangan ini mempunyai
sifat yang tidak beraturan. Iini terutama disebabkan oleh kenyataan bahwa baru
kira-kira tahun 1800 gagasan untuk menyatukan daerah-daerah jajahan ini menjadi
suatu negar mendapatkan perhatian di negara induk di Eropa. Konsolidasi wilayah
dimulai setelah VOC aktif di bagian Asia Tenggara ini selama hampir lebih dari
dua ratus tahun di samping itu, suatu dareah seluas ini, yang meliputi berbagai
jenis negara lokal yang dibentuk atas dasar yang berbeda-beda, idak dapat
digabungkan dengan cara yang sama. Untuk tujuan itu sarana-sarana yang
diperlukan tidak mencukupi. Lagipula, suatu perbedaan antara daerah-daerah
timbul, karena mereka tidak semuanya sama pentingnya bagi negeri Belanda.
Sampai tahun 1877 Hindia Belanda pertama-tama adalah sebuah wingewest,
sebuah “negara penghisap”, yang memungkinakan tercapainya suatu batig slot
atau surplus dalam neraca perdagangan Belanda.
Sejak awal
beroperasinya di kepulauan Indonesia, VOC, yang didirikan sebagai suatu
perusahaan dagang, merasa terpaksa untuk turut campur tangan dalam
urusan-urusan intern berbagai kerajaan setempat. Ini perlu mengingat tujuan VOC
yaitu diperolehnya produk-produk dengan harga yang tidak terlalu tinggi dan
perlindungan atas rute-rute perdagangan. Mula-mula campur tangan itu terbatas
berupa pemaksaan monopoli jual-beli dan permintaan upeti, yang disebut
kontingen, dan pengiriman palksa tertentu. KarenaVOC menguasai
persenjataan-persenjataan laut yang modern dan strategi militer yang maju, bagi
mereka mengarahkan lawan yang lebih besar jumlahnya untuk menuruti kemauannya
adalah sangat mudah (Burger 1975, I: 20-32). Setelah beberapa waktu,
perpecahan-perpecahan politik yang meningkat di dalam kerajaan-kerajaan
setempat dan usaha yang terus-menerus dari kekuatan-kekuatan saingan Eropa
untuk menetap di daerah ini menyebabkan campur tangan langsung menjadi semakin
dalam.
Pencengkraman
Sumenep oleh VOC didorong oleh adanya kesulitan serius di dalam kerajaan Jawa
Tengah Mataram yang setelah suatu pertempuran sengit menaklukan Madura pada
tahun 1624. pemberontakan itu dengan segera menjadi demikian hebat sehingga
menyebabkan kekuasaan pusa menjadi goncang. Raja Mataram terpaksa harus meminta bantuan kepada Belanda yang dibenci.
VOC
mengambil manfaat dari situasi ini dengan membuat bantuan mereka tergantung
pada dipenuhinya beberapa syarat yang menguntungkan mereka sendiri. Mengingat
situasi tersebut raja hanya bisa menuruti dengan menytujui beberapa kontrak
yang dibuat selama perang, VOC berhasil memperoleh demikian banyak hak istimewa
sehingga dari saat itu sampai seterusnya tidak mungkin lagi bagi Mataram untuk
memainkan peranan yang penting di sepanjang pantai utara dan dalam perdagangan
luar negeri.
Pulau ini
dimaksudkan untuk tetap berada di bawah supremasi Mataram. Akan tetapi,
setetlah suatu pergolakan baru di Mataram pada tahun 1680, Pamekasan dan
Sumenep berusaha sekuat tenaga untuk menghindarkan diri menjadi bawahan
kekuasan kerajaan Jawa ini, mereka dengan sungguh-sungguh berusaha supaya VOC
menguasai daerah itu.
Pada tahun
1705, ketika Jawa Tengah sekali lagi terpecah dengan parah oleh sebuah perang
perebutan kekuasaan dan permintaan tolong kepada VOC sekali lagi tidak dapat
dihindarkan, VOC berhasil memaksakan suatu keputusan mengenai Madura Timur.
Anggota Dewan Hidian Belanda, Herman de Wilde, dan pasukannya berhasil dalam
mendudukan seorang susuhunan baru di atas tahta kartasura. Sebagai utusan
khusus pemerintah Batavia, de Wilde diberi hak untuk memperbarui kontrak yang
ada, di mana disamping pengesahan perjanjian-perjanjian terdahulu dan bebrapa
konsesia baru, “yang Mulia dengan ini secara resmi menganugerahkan dan
memberikan negara Sumenep dan Pamekasan yang terletak di nagian Timur Pulau
Madura kebawah perlindungan VOC.” (Heeres 1935: 244). Ini merupakam suatu
pukulan bagi Jwa, sebuah rampasan baru bagi VOC.
Struktur
pemerintahan lokal yang dijumpai VOC di Sumenep sebagian besar sama dengan
struktur yang dijumpai di kerajaan-kerajaan Jawa. Raja atau pangeran merupakan
kepala negara. Di dalam pelaksanaan pemerintahan sehari-hari dia dibantu oleh
beberapa orang mantri (pejabat istana), yang diantara mereka patih atau wakil
bupati merupakan primus inter pares-nya. Bersama-sama mereka merupakan
struktur pemerintahan paling atas yang menjangkar ke bawah ke tingkat lokal di
bagian pusat kerajaan, yaitu sebuah dataran rendah yang dapat ditanami padi
sawah pada musim penghujan. Di daerah-daerah yang lebih sulit dicapai dan di
pulau-pulau kecil bawahan, pemerintah jauh lebih terbelakang. Raja tidak mempunyai sarana untuk melakukan suatu pengawasan permanen atas
kawasan ini.
- Sumenep dan Negara Kolonial Sampai Tahun 1883
Revolusi
politik di negeri Belanda dan peralihan dari republik provinsi-provinsi serikat
ke republik Batavia mempunyai akibat-akibat yang penting untuk situasi di tanah
jajahan. Pada tahun 1800 pemerintah baru itu mengambil alih semua milik VOC. Pada
saat yang sama diputuskan bhawa administrasi tanah jajahan akan diubah,
sehingga akan lebih sesuai dengan kepentingan negara. Ketegangan-ketegangan
yang semakin meningkat antara kekuatan-kekuatan di Eropa menandai dimulainya
reorganisasi yang dimkasudkan sampai Daendels diangkat pada tahun 1808.
daendels menghancurkan semua kontrak dengan regen-regen Jawa, menurunkan
derajat mereka dengan meletakkan pulai ini (yaitu Jwa) dibawah pemerintahan
langsung pemerintah pusat negara kolonial (Stapel 1943: 199).
Tetap dipertahankannya pemerintahan
tidak langsung atas Sumenep oleh pemerintah kolonial selama kurun waktu dua
ratus tahun menyebabkan proliferasi hubungan-hubungan politik setempat. Di
dalam organisaisi administrative setempat yang mengembang in iterjadi diferensiasi
yang makin meningkat, yaitu suatu perkembagnan di mana kebiasaan membayar
pejabat dan bangsawan dengan hal-hak penarikan pajak dan tanah bengkok
dipertahankan secara terus-menerus.
Tekanan terhadap rakyat yang
diakibatkannya merupakan hasil yang tidak disengaja dan tidak direncanakan dari
beberapa hasil yang tidak disengaja dan tidak direncanakan dari beberapa faktor
yang saling mempengaruhi. Berkat perlindungan mula-mula dari VOC dan kemudian
dari pemerintah kolonial, regen sangat berhasil menentramkan wilayahnnya.
Kontrak-kontrak yang dibuat VOC dengan Sumenep dan kerajaan-kerajaan
tetangganya, bersama dengan kehadiran pos-pos militer yang diletakkan di
tempat-tempa yang strategis, mencegah ancaman dari luar terhadap wilayah ini.
Pada saat itu Sumenep relatif
terisolir karena dominasi politik kolonial. Pada abad kedelapan belas, di bawah
administrasi VOC, pemerintahan setempat sedikit banyak dalam banyak hal telah
dengan sengaja memua\tuskan hubungan dengan dunia luar, karena disibukkan oleh usaha-usaha
penentraman intern, suatu kenyataan yang sangat memuaskan bagi VOC. Lagipula,
selama berkembanganya negara kolonial, Sumenep telah memperoleh satu tempat
khusus di kepulauan Indonesia sebagai akibat dari diteruskannya pemerintahan
tidak langsung. Sumenep merupakan daerah tandus dan terpencil tanpa sesuatu
harapan akan memberikan keuntungan pada Belanda. Ekonominya tetap sangat
berdasarkan pada pertanian rakyat.tetap diteruskannya pemerintahan sendiri juga
berarti bhwa pemerintah kolonial tidak mengubah struktur politik setempat.
Tindakan-tindakan yang dicetuskan di dalam kontrak-kontrak memberikan
pembatasan terhadap kekuasaan pejabat-pejabat setempat. Tindakan-tindakan
tersebut tidak diarahkan pada perubahan atas pola yang ada.
Perkembangan penduduk yang sangat
cepat di dalam rezim agraris tradisional, perluasan birokrasi setempat dan
pemerkayaan kultur istana merupakan faktor-faktor yang didalam batas-batas yang
dikenakan oleh kolonialisme mempercepat proliferasi hubungan-hubungan politik
dan ekonomi yang ada. Makin lama makin banyak orang diantaranya adalah satu
golongan parasit yang sedang berkembang, menjadi tergantung pada hasil
pertanian yang hampir tidak pernah meningkat. Kaum bangsawan karena terikat oleh kontrak, tidak mempunyai kemungkinan
lain dalam masyarakat kolonial. Kaum petani pada gilirannya berada dalam
cengkraman kekuasaan istana dan pengikut-pengikutnya yang didukung kekuasaan
dari luar.
- Agama Islam dan Politik : Gerakan Sarekat
Islam Lokal di Madura
Sarekat Islam
(SI) dalam tahap-tahap awalnya merupakan contoh tentang dalam dan luasnya
keterlibatan agama islam dan politik Indonesia modern yang pada gilirannya
memberi cirri pada kegiatan-kegiatan politik islam selama berpuluh-puluh tahun.
Namun, sejauh ini belum ada publikasi mengenai SI yang mempelajari gerakan ini
dipandang dari segi politik lokal menunjukan dalam kehidupan kecil proses
penentuan diri sendiri SI.
Madura
merupakan tanah yang subur untuk mempelajari gerakan-gerakan politik Islam
karena beberapa alasan. Pertama,
madura merupakan satu diantara banyak tempat dimana penetrasi kapitalis pada
abad kesembilan belas telah mempengaruhi kehidupan rakyat sehari-hari. Para penguasa Madura sudah terbiasa menyewakan apanage mereka kepada
lintah darat Cina. Kedua, Madura
menderita akibat sisa-sisa dari suatu system stratifikasi sosial yang ketat
telah memusatkan kekuasaan dan hak-hak istimewa semata-mata dalam tangan
golongan yang memerintah saja. Ketiga,
madura terkenal karena rakyatnya yang taat pada agama, sedemikian sehingga ketaatan
ini sedikit banyak mencerminkan perilaku keagamaan umat Islam di Indonsia. Keempat, kerumitan struktur sosial
Mdura mencerminkan masyarakat Indonesia yang berbeda dengan yang lainnya.
SI
memperkenalkan rakyat Madura pada dunia modern. Dasawarsa setelah oreng kenek
dibebaskan dari hubungan ketergantungan mereka pada kaum bangsawan berlalu
tanpa perubahan berarti, dan SI-lah yang menjadikan kebebasan itu terwujud.
Kepemimpinan SI menyediakan sebuah alternatif baru untuk hubungan vertical
antara mereka yang tinggal di daerah pedesaan dan perkotaan. Persekutuan antara
cendekiawan kota dan pemimpin agama di pedesaan menandai suatu fase baru dalam
sejarah politik Indonesia. SI menarik massa baik dari perkotaan maupun
pedesaan. Belum pernah ada sebelumnya mobilisasi massa begitu berhasil. Madura
secara tradisional bukan merupakan tanah yang subur untuk mobilisasi umum.
B.
Aspek-aspek
perubahan yang terjadi di Madura
1. Masyarakat yang Berubah
Madura pada
peralihan abad ini merupakan pencerminan masyarakat Indonesia lainnya dimana
masyarakat tradisional diletakkan di bawah pemerintahan kolonial. Merosotnya
masyarakat patrimonial dan pembentukan birokrasi kolonial di Madura
mengakibatkan melaratnya kaum bangsawan. Para bekas pemegang apanage ini
kehilangan desa mereka, petani mereka dan hak-hak istimewa yang telah mereka
nikmati selama beberapa generasi pemerintahan pribumi. Penghapusan tiga
kerajaan Madura, Paemkasan, Sumenep, dan Bangkalan, selesai pada akhir abad
kesembilan belas. Tetapi tidak semua kaum bangsawan diangkat dalam birokrasi
kolonial. Birokrat-birokrat bangsawan ini, bersama-sama dengan birokrat bukan
bangsawan, merupakan suatu lapisan masyarakat baru yang disebut priayi.
Sebagai
rekasi terhadap perubahan sosial, pada yahun 1889 kaum bangsawan setempat bi
Bangkalan mendirikan perkumpulan yang pertama kali dikenal, Condong Manah (secara
harfiah berrati “Persesuaian Hati”), dipimpin oleh Wedono Bangkalan.
Perkumpulan ini mengambil anggota dari kalangan kaum priayi dan kaum bangsawan.
Apa yang penting mengenai organisasi sukarela yang pertama ini ialah bahwa
pemerintah kolonial menganggapnya sebagai bahaya terhadap stabilitas politik.
Karena takut Condong Manah akan terlibat dalam kegiatan politik, pengusa
Belanda memutuskan melarang pertemuan-pertemuannya. Akan tetapi, kesulitan yang
sesungguhnya dating dari satu sumber lain. Terdapat tanda-tanda kebangkitan
agama yang semakin meningkat di Bangkalan. Laporan waktu itu menyatakan bahwa
lebih banyak langgar dibangun di Bangkalan.
Akan tetapi,
kecurigaan politis terhadap kaum bangsawan ini tertutup oleh kekhawatiran
pemerintah akan masalah tingkah laku tidak senonoh dari kaum bangsawan yang
jatuh miskin yang lebih banyak menibulkan kesulitan.
Beban utang
kaum bangsawan kepada lintah darat Cina telah mengakibatkan adanya sikap
bermusuhan yang umum terhadap orang Cina. Belanda berusaha untuk mengurangi
sikap bermusuhan ini dengan memberikan bantuan keuangan dan bantuan hukum
kepada kaum bangsawan yang jatuh melarat tersebut. Meskipun demikian, banyak
kaum ningrat yang masih menjadi korban orang-orang Cina yang mempunyai
kedudukan hukum yang kuat.
Kenyataan
bahwa Cina telah mendominasi ekonomi Madura tidak berarti bahwa tidak ada kelas
menengah pribumi. Sampai batas-batas tertentu pedagang-pedagang pribumi masih
menguasai usaha-usaha kecil dan eceran, kecuali usaha-usaha antar- pulau dan
perdagangan borongan. Perdagangan komoditas bukan hasil petanian dan industri
transportasi sebagia besa dikuasai oleh orang Cina. Cina bahkan juga mengusasai
perusahaan kereta api yang disponsori pemerintah.
2.
Organisasi
sosial Kepercayaan
Masyarakat
Madura adalah Islam. Pemandangan desa-desa mewujudkan hubungan yang erat antara
agama dan kehidupan sehari-hari. Hampir semua rumah terutama rumah-rumah di
Sumenep, mempunyai sebuah langgar. Di satu desa
terdapat sekurang-kurangnya satu mesigit (mesjid) umum. Di desa
kehidupan keagamaan diatur oleh masyarakat sendiri. Di sini kiai memainkan
peranan yang penting baik dalam pendidikan agama maupun peristiwa-peristiwa
keagmaan pada umumnya. Pejabat keagamaan tingkat desa, disebut modin, hanya
mengurusi masalah yang kaitannya dengan hukum seperti pendaftaran kelahiran
(seringkali mencakup vaksinasi anak-anak maupun orang dewasa), perkawinan,
perceraian, dan kematian.
Kehidupan
keagamaan berakar kuat dalam adat orang Madura. Sepanjang tahun penuh dengan
selamatan untuk mengenang keluarga yang telah meniggal dunia, dilaksanakan pada
hari kamis malam. Pesta-pesta bulanan atau selamatan dilaksanakan unutk
mengenang pendiri mazhab Qadariyah Sufi, Syekh Abdul Qadir al-Jilani. Terdapat
banyak upacara lain sepanjang tahun. Tajin Sora, sebuah selamatan bubur
dan ayam, dilaksanakan pada bulan Sora atau Muharram, bulan pertama tahun
islam. Selamatan ini dilaksanakan ini dilaksanakan untuk mengenang Husaain, cucu
Nabi. Bulan berikutnya, Safar, sebuah sedekah lain akan dilaksanakan untuk
mengenang Sayid Abubakar yang telah memenangkan peperangan melawan Dajjal, Raja
Iblis. Pada bulan Rabiul-akhir dilaksanakan sedekah arasol. Pada tanggal
27 Rajab, ada selamatan untuk mikraj Nabi Muhammad SAW. Dalam bulan Sya’ban
orang-orang desa mengadakan upacara yang berlangsung seusai Maghrib sampai
habis Isya sebelum fajar. Sambil berjalan sepanjang pantai atau daerah
pinggiran kota, mereka mengucapkan doa-doa tertentu, meminta kesehatan, umur
panjang, dan kemakmuran. Bulan puasa adalah bulan untuk beribadah berpuasa.
Pada tanggal 21 sampai 29 ada sedekah amal iman. Hari pertama bulan Syawal
adalah hari besar, pesta ketupat merayakan berakhirnya minggu puasa sunat.
Akhirnya dalam bulan Zulhijjah, di laksanakan perayaan pesta haj dan disebut
sedekah telasan haji.
Kehidupan
sehari-hari anak-anak juga penuh dengan suasana keagamaan. Sebelum tidur
anak-anak membaca dua kalimat syahadat. Tentu saja, siklus kehidupan, kelahiran
perkawinan dan kematian, penuh dengan upacara keagamaan. Para santri suka
sekali hadra, atau main gendang dan menyanyi. Singkatnya, agama memainkan suatu
peranan yang penting dalam sosialisasi anak-anak dan kehidupan sehari-hari
orang pada umumnya. Ada beberapa kegiatan yang lebih bersifat duniawi, seperti
mele’an atau tidak tidur semalaman suntuk sambil membaca cerita-cerita
kesusasteraan Jawa lama. Bahkan di beberapa tempat tari sosial jawa, tayub,
menjadi bagian dari Budaya madura.
Penting juga
untuk diperhatikan bagaimana kehidupan keagamaan diturunkan dari generasi ke
generasi. Pendidikan agama memenuhi kegiatan sehari-hari baik tua maupun yang
muda. Lembaga pendidikan yang terendah adalah sekolah-sekolah langgar yang
merupakan milik pribadi guru-guru agama. Pendidikan langgar dasar
memperkenalkan anak-anak pada pembacaan Quran, mulai dengan pengetahuan
sederhana mengenai huruf Arab (alif-alifan), bergerak maju ke turutan (bab-bab
yang pendek) dan pembacaan seluruh Al-Quran. Untuk pelajaran lebih lanjut murid
pergi ke pesantren di mana diajarkan kitab atau buku-buku keagamaan. Akan
tetapi, karena kebanyakan santri menjadi dewasa pada akhir pendidikan agama
mereka dan tenaga mereka piperlukan oleh orang tua mereka, banyak murid
mengakhiri pelajaran mereka setelah khatam atau tamat ngaji (menyelsaikan quran
di sekolah langgar).
3.
Gerakan Sarekat Islam
Terutama karena
alasan-alasan ekologis, Madura tidak pernah bisa menjadi tanah subur untuk
tindakan kolektif. Sebuah laporan pemerintah pada tahun 1906 menyimpulkan bhawa
untuk orang Madura, mengorganisir suatu gerakan sosial adalah suatu
kemustahilan. Ekologi tegalan tidak memerlukan system pengairan komunal yang
dapat merupakan jalan bagi munculnya perasaan kolektif.
Jadi
satu-satunya sarana komunikasi yang efektif ialah melalui agama. Sembahyang
Jum’at yang dilakukan seminggu sekali di mesjid desa, menyediakan suatu
saluran, walaupun khutbah pada saat itu disampaikan dalam bahasa dan berkaitan
dengan masalah keagamaan murni.
Meskipun
demikian, kiai rasanya bukan pemimpin yang cocok untuk gerakan sosial modern.
Gaya kepemimpinan pribadi kiai yang kharismatis tidak dilengkapi dengan
keterampilan yang perlu untuk mengorganisir kegiatan-kegiatan yang berisi
ideology, struktur dan tujuan tertentu. Jenis kepemimpinan agama yang lainlah,
haji, yang memberikan alternatif. Haji kebanyakan adalah pedagang, dan dengan
demikian mereka merupakan bagian masyarakat yang paling mobil.
Haji saydzili,
pendiri dan pemimpin gerakan SI di Madura, adalah seorang pedagang beras yang
seringkali bepergian ke Surabaya. Kenyataan bahwa setiap haji mampu untuk
bepergian ke Mekkah, yang ongkosnya lebih dari 500 gulden pada pergantian abad
ini, menunjukkan bahwa mereka kaya sekali.
Dipilihnya Haji
Syadzili dan kota Sampang untuk pendirian SI yang pertama di Madura memerlukan
sedikit penjelasan. Mas Gondosasmito, yang setelah kembali dari mekah disebut
Haji Syadzili, adalah sorang mantri guru, kepala sekolah, pada sekolah umum
pemerintah di kota Sampang sebelum pergi naik haji pada usia 25 pada tahun 1911.
mungkin, karena memperkirakan akan adanya konflik-konflik tertentu menjadi haji
dan sekaligus seorang kepala sekolah, dia mengundurkan, atau kalau tidak begitu
mungkin dia telah diberhentikan dari pekerjaan mengajarnya. Setelah kawin
dengan seorang pedagang wanita yang berhasil, dia mengadu nasibnya dalam
perdagangan beras. Di Surabaya, pusat perdagangan Jawa Timur, dia berhubungan
dengan Cokroaminoto stelah markas besar SI dipindahkan ke kota itu. Dia mengunjungi Cokroaminoto dan beberapa lama bersama dia mempelajari
ideology dan organisasi gerakan SI. Sementara itu, kota Sampang agaknya telah
dipersiapkan dengan baik untuk kegiatan-kegiatan Syadzili.
Perkembangan
SI berhasil dengan baik. Syadzili bepergian sampai sejauh pulau sapudi di timur
untuk menjual saham sebuah toko koperasi SI di Surabaya. Pemerintah menjadi
panik melihat penyebaran SI di Surabaya. Banyak pegawai pemerintah bergabung
pada gerakan ini dan mengangkat sumpah. Pemerintah khawatir bahwa SI akan
menjadi suatu gerakan masyarakat rahasia, yang menarik anggota dan mengharuskan
mereka mengangkat sumpah setia kepada SI. Pejabat-pejabat pemerintah setempat
di kota Pamekasan segera memberikan reaksi dengan melarang sumpah-sumpah
rahasia dan meminta bantuan pejabat-pejabat keagamaan dalam pemerintahan untuk
melawan pengaruh SI. Akan tetapi, baik larangan tersebut maupun pejabat
keagamaan tidak dapat berbuat apa-apa untuk menghentikan gerakan ini.
Pemerintah terpaksa menyerah pada tuntutan rakyat banyak. Pada tanggal 31
Desember 1913 permohonan untuk pengakuan status resmi SI Sampang dan Sumenep
diserahkan kepada pemerintah, dan tahun berikutnya dating permohonan dari
Pamekasan (9 Februari 1914), dari Duko (25 Februari), dari Bangkalan (2 April).
Tidak ada alas an bagi pemerintah untuk menolak status resmi tersebut, dan
pemerintah akhirnya terpaksa mengabulkan permohonan-permohonan tersebut.
Walaupun
terdapat banyak pemimpin priayi, tokoh-tokoh SI yang menonjol di Madura pada
umumnya adalah oreng kenek, dan sementara terdapat cukup banyak kiai, kesadaran
keagamaan haji adalah dominan. Dengan kata lain, SI di Madura adalah sebuah
gerakan oreng kenek atau wong cilik dan sekaligus sebuah gerakan ummat.
Partisipasi oreng kenek merupakan suatu tanda kesadaran baru. Setelah bebas
dari hubungan kepatuhan kepada kaum bangsawan yang telah berjalan lama, mereka
muncul sebagai suatu kelas sosial baru dengan kepentingan yang sama. Banyak
peristiwa yang menunjukkan ketidakpuasan dan permusuhan rakyat terhadap kaum
bangsawan yang menurun wibawanya terjadi selama periode yang sedang dipelajari
ini.
Pentinganya
gerakan Si di Madura untuk memahami gerakan islam secara umum ialah bahwa
sejarah lokal dan awal SI merupakan contoh hakikat dan proses gerakan islam
pada umumnya. Gerakan oreng kenek atau wong cilik dengan pimpinan
yang melintasi batas golongan – cendekiawan, priayi dan pedagang – dan pimpinan
yang berasal baik dari latar belakang perkotaan maupun pedesaan, telah
merupakan ciri gerakan islam Indonesia. Gerakan wong cilik ini
seringkali terpaksa untuk bersifat lebih khusus dan untuk membatasi horizon
politiknya. Munculnya solidaritas umat yang berbeda atau sering bertentangan
dengan gerakan nasionalsi lainnya adalah akibat proses sejarah yang demikian
itu. Dibentuknya komite tentara kanjeng Nabi Muhammad pada tahun 1918 adalah
hanya satu kasus di antara banyak keharusan sejarah.
Kemunduran
SI di Madura menandai suatu era sejarah baru dalam politik madura. Kurangnya
keterpaduan dan integrasi SI kemudian diganti oleh Nahdlatul Ulama, dimana
lebih banyak pemimpin desa dan wong cilik tampil ke depandalam kehidupan
politik. Masa magang yang lama dari kiai desadalam tubuh SI menghasilkan
kematangan mereka. Tetapi kemunduran kepemimpinan Islam kota mempunyai
akibat-akibat yang tidak menguntungkan bagi Madura. Kemudian diakui bahwa
relatif lambatnya proses modernisasi di Madura adalah disebabkan oleh kuatnya
pimpinan desa dalam gerakan Islam. Pimpinan intelektual kota, seperti pimpinan
Muhammadiyah dan gerakan sosial lainnya membatasi kegiatan mereka pada daerah
perkotaan saja. Desa diserahkan pada pemimpin-pemimpin dsa tadi, yaitu kiai.
Implikasi
yang lebih luas dari SI di Madura ialah bahwa mobilisasi massa Islam selalu
disalurkan lewat daya tarik pada perasaan nasionalis, wong cilik dan
ummat. Pada permulaannya, SI lebih banyak mewakili perasaan-perasaan nasionalis
dan wong cilik, tetapi kemudian terpaksa mewakili ummat, posisi yang
dipegang oleh gerakan-gerakan Islam saat ini. Kebangkitan kembali Islam dalam
politik Indonesia dapat terjadi jika gerakan-gerakan Islam yang sekarang
mempertimbangkan kembali untuk mewakili perasaan-perasaan nasionalistis dan wong
cilik (dan persoalan sosial ekonomi yang menyertainya) sebagaimana telah
dilakukan oleh SI pada tahap-tapah awal keberadaannya. Kalau gerakan Islam
dapat melepaskan diri dari definisi sempit dari ummat yang dilaksanaan, suatu
daya tarik lang lebih luas pada mobilisasi massa dapat diharapkan.
4.
Perilaku Agama
Orang Madura
merupakan penganut agama Islam yang taat. Dalam masalah agama mereka lebih
monolit dibandingkan dengan orang Jawa. Semua orang Madura adalah santri atau
paling tidak menurut anggapan mereka sendiri. Untuk memahami arti agama di
dalam kehidupan mereka sehari-hari, kami akan meninjaunya dari tiga aspek yaitu
perspektif tujuan hidup, praktek agama sehari-hari dan pendidikan.
Untuk memahami
persepsi tujuan hidup orang Madura kami akan mejelaskan melalui penggambaran
kehidupan seseorang bernama Syamsuri. Syamsuri adalah seorang pedagang di suatu
pasar di kecamatan Lumajang. Sebelum dia
dating ke Lumajang, di Madura dia hidup dari sepetak kecil tanah pertanian.
Karena dengan tanah pertanian itu dia tidak dapat menghidupi keluarganya secara
memadai maka dia mencari pekerjaan ke Jawa. Di memutuskan untuk berdiam di
Lumajang. Pekerjaan sehari-hari dia adalah mracang (menjual kebutuhan
dapur bagi ibu-ibu rumah tangga) di pasar.
Sehabis
bekerja ia selalu tidak lupa melaksanakan shalat lima waktu, termasuk shalat
Jum’at. Hasil kerjanya dikumpulkan dengan baik dengan cara menyewa tanah
pertanian. Dengan demikian, selain berjualan
di pasar keluarga ini juga melakukan aktivitas pertanian. Meskipun demikian,
mereka tetap bnerhemat. Apa yang mereka dapatkan, baik dari hasil penjualan di
pasar maupun dari hasil pertaniannya, sedikit demi sedikit dikumpulkan sehingga
akhirnya mereka bisa membeli beberapa petak sawah.
Setelah
usahanya berhasil, berkat letelunanya, Syamsuri sempat menunaikan ibadah haji
ke Mekkah bersama dengan istrinya. Sebelum ke Mekkah, ia dan keluarganya memang
jarang bepergian ke luar wilayah kabupaten Lumajang. Kecuali, jika berziarah ke
kiai atau sekali setahun “turun” ke Madura.
Bagi orang
Madura, naik haji mempunyai makna sosial. Di samping mempunyai arti telah
menunaikan rukun Islam yang ke lima, orang telah naik haji akan dipanggil tuan,
dan prestisnya akan naik sehingga akan memperoleh penghargaan dan penghormatan
oleh masyarakat lingkungannya. Karrena itu tidak heran bilamana tujuan hidup
orang Madura yang utama adalah menunaikan ibadah haji ke Mekkah.
Orang Madura
umumnya sulit membedakan antara Islam dan (kebudayaan) Madura. Hal ini tampak
pada praktek kehidupan mereka sehari-hari yang tidak bisa lepas dari dimensi
agama islam. Selain shalat lima waktu, orang-orang Madura melaksanakan pula
kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan peringatan hari-hari penting agama
Islam. Misalnya, selama bula Asyuro, mereka membuat selamatan jenang suro,
selama bulan Safar diadakanlah se lamatan jenang sapar, di bulan Maulud mereka
memperingati dengan selamatan Mauludan. Di bulan Ramadhan, selain mereka
menunaikan ibadah puasa juga aktif melaksanakan kegiatan keagamaan lainnya
seperti mengaji, membayar zakat fitrah dan sebagainya.
5.
Perilaku Politik
Perilaku politik orang Madura mencakup bagaimana pemberian suara pada waktu
pemilihan umum untuk anggota DPRD Tingkat II Lumajang. Banyak orang terlalu
mudah berpendapat bahwa agama bagi orang Madura merupakan faktor paling dominan
pengaruhnya terhadap perilaku politik mereka. Akan tetapi, data-data yang
disajikan disini memberikan circumstantial evidence (bukti tidak langsung)
bahwa walaupun agama merupakan faktor yang mempengaruhi politik namun agama
tidak menentukan segala-galanya. Sebaliknya, pengaruh agama tergantung juga
pada faktor-faktor lain yang mempunyai arti sosial-ekonomi seperti status
ekonomi, diferensiasi sosial-ekonomi, gaya hidup, pola permukiman, jarak
geografis ke kota, dan sebagainya. Seperti halnya suku bangsa yang lain, orang
madura memperlakukan semua faktor secara seimbang sebelum mereka memberikan
suaranya dalam pemilu.dan mereka mengetahui bagaimana membuat perbedaan yang
jelas antara kepentingan religius dan kepentingan sosial-ekonomi. Tentu saja,
orang santri lebih cenderung memberikan suaranya kepada partai Islam daripada
yang bukan santri. Akan tetapi, dalam memutuskan pilihannya mereka bertindak seperti
halnya orang Madura yang lain. Perilaku politik pertama-tama tergantung kepada
komposisi dan perkembangan faktor-faktor yang telah disebutkan.
Kepemimpinan lokal – informal atau formal – mempunyai arti yang sangat
penting bagi masyarakat madura di kabupaten Lumajang. Pemimpn lokal ini
merupakan mediator antara dunia setempat dan dunia yang lebih luas, misalnya
seorang kepala desa dapat bertindak sebagai penengah antara rakyat dan
pemerintah, seorang kiai sebagai penengah antara penganut agama Islam lokal dan
ummat Islam lainnya. Para perantara ini,dalam hal-hal tertentu, menontrol
kesenjangan antara “orang terpelajar dan tidak terpelajar, orang kota dengan
orang desa, modern dan tradisional, serta penguasa dan rakyat.
Arti pentingnya kepemimpinan informal dalam masyarakat Madura sangat
signifikan. Hal ini terlihat pada cerita tentang santri seorang kiai yang
senang bermain sabung ayam, padahal dalam islam hal ini dilarang. Lantas kiai
tersebut berkunjung kerumah santri tersebut untuk minta dimasakan sup ayam dari
ayam yang menjadi jagoannya dalam bermain. Santri tersebut hanya bisa menuruti
kemauan kiai gurunya tersebut yang sangat dihormatinya. Sang santri rela
mengorbankan kegemarannya terhadap guru yang dihormati memperlihatkan betapa
dijunjung tingginya pemimpin informal dalam masyarakat Madura untuk menentukan
perilaku yang benar atau salah.
Untuk pemimpin formal, orang Madura biasanya lrbih banyak berhubungan
dengan tingkatan kepemimpinan yang terbawah seperti kepala kampung atau kepala
desa. Namun demikian mereka cenderung tetap beranggapan bhwa pemimpin informal
lebuh penting. Pemimpin formal mereka anggap hanya sebagai wakil dari tingkat
yang lebih tinggi dalam administrasi pemerintahan. Pemimpin informal,
sebaliknya, dilihat sebagai wakil masyarakat setempat. Dengan demikian pemimpin
pemimpin informal ini bisa lebih berpengaruh pula di bidang politik, tepatnya
terhadap perilaku politik mereka.
Sumber kepemimpinan formal juga berbeda dengan kepemimpinan informal.
Kepala desa atau kepala kampung misalnya,dapat berkuasa oleh karena mereka
memperoleh legitimasi dari pihak pemerintah. Dengan adanya legitimasi ini para
pemimpin formal justru cenderung bertindak sebagai penerjemah
keinginan-keinginan pemerintah yang harus diteruskan kepada atau dilaksanakan
oleh rakyat. Namun, hanya mengandalakan pada legitimasai tersebut nampaknya
tidak cukup. Para pemimpin formal masih merasa perlu pula untuk minta bantuan
pemimpin formal masih merasa perlu pula untuk minta bantuan pada pemimpin
informal dalam melaksanakan kepemimpinannya. Dengan demikian, bagi orang Madura
pemimpin formal akan dirasakan kurang penting dari pada pemimpin informal.
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
Masyarakat
Madura memiliki unsur islam yang sangat kental. Kehidupan masyarakatnya yang
islami terlihat dalam kegiatan keeagamaan serta penilaian masyarakat yang
menganggap dirinya ialah seorang santri yang mempelajari agama dari kecil
hingga dewasa. Kehidupan masyarakatnya penuh dengan upacara keagamaan dan
sedekahan sebagai bentuk rasa syukur kepada tuhan yang maha Esa. Masyarakat
Madura memandang naik haji merupakan prestise tersendiri karena dapat juga
berpengaruh terhadap kondisi sosial-ekonomi mereka.
Pekembangan
Islam berlanjut dalam kehidupan politik masyarakat Madura. Dari santri-santri
yang belajar pada langgar atau pesantren menjadi perkumpulan yang berbasis
politik sebagai akomodasi kepentingan mereka. Madura dinilai sebagai tanah yang
kurang baik dalam rangka mobilisasi. Akan tetapi, perkembangan Sarekat Islam
dapat memobilisasi masyarakat sebagai wujud penyatuan kepentingan bersama dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat Madura.
B.
Saran
Akan sangat
disayangkan jika seni Dongkrek nantinya hanya tinggal kenangan saja, untuk itu
sangat diharapkan bantuan dari pihak-pihak yang terkait dalam bidang kesenian
khususnya di wilayah Kabupaten Madiun
untuk bersama-sama melestarikan kembali kesenian asli Kota Caruban ini, jangan
sampai generasi muda nantinya benar-benar tidak mengenal kesenian yang berasal
dari daerahnya sendiri. Jika hanya masyarakat
sendiri yang melestarikan pasti akan sangat kesulitan untuk berkembang dan
cenderung akan hilang tapi berbeda jika ada campur tangan dari pihak pemerintah
setempat hasilnya pasti akan jauh berbeda dan bermakna.
DAFTAR PUSTAKA
Adonna
Kanugrahan. 2010. Sejarah Kesenian Dongkrek di Madiun. http://sosbud.kompasiana.com/2010/09/30/sejarah-kesenian-dongkrek-di-madiun/
(online). Diakses tanggal 7 November 2011 pukul 22.15.
Andi Setyo W.
2009. Pengertian, Asal-Usul, serta
Macam-Macam Kebudayaan. http://seabass86.wordpress.com/2009/05/07/pengertian-budayadan-asal-usul-kebudayaan-serta-macam-macam-kebudayaan/
(online). Diakses tanggal 5 November 2011 pukul 12.20 WIB.
Hartoyo.
2011. Muasal
Dongkrek. http://hartoyosbk.wordpress.com/2011/06/24/muasal-dongkrek/(online).
Diakses tanggal 8 November 2011 pukul 21.40).
Kodrat
Kurniawan. 2011. Budaya Nusantara: Dongkrek Kesenian Rakyat Madiun. http://senandungkurniandiko.blogspot.com/2011/05/dongkrek-kesenian-rakyat-madiun.html
(online). Diakses tanggal 7 November 2011 pukul 22.13.
Masyhuri Arifin.
2009. Pengertian Kebudayaan Menurut para
Ahli. http://www.anakkendari.co.cc/2009/03/pengertian-kebudayaan-menurut-para-ahli/
(online). Diakses tanggal 4 November 2011 pukul 12.15 WIB.
Mudji Sutrisno
dan Hendar Putranto. 2005, cetakan ketiga 2007. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Rustopo.
2007. Menjadi Jawa: Orang-Orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa di Surakarta,
1895-1998. Yogyakarta: Ombak.
Sayekti. Tanpa
Tahun. Budaya Jawa sebagai Identitas Indonesia. http://www.kohesi.org/budaya-jawa-identitas-indonesia-10
(online). Diakses tanggal 5 November 2011 pukul 12. 27 WIB.
Tanpa Tahun. Dongkrek
Kesenian Kota Caruban. http://www.kotacaruban.com/dongkrek-kesenian-kota-caruban
(online). Diakses tanggal 8 November pukul 21.30.