Persatuan
Indonesia yang kita nikmati saat ini berakar kuat dari sejarah yang
menjadi landasan memori kolektif
masyarakatnya dalam menjaga kebhinekaan, seperti kata Mohammad Natsir, “Cita-cita
persatuan Indonesia itu bukan omong kosong, tapi benar-benar didukung oleh
kekuatan-kekuatan yang timbul pada akar sejarah bangsa kita sendiri.” Salah
satu founding father ini mengingatkan kita tentang pentingnya akar
sejarah sebagai sebuah bangsa. Mempelajari sejarah menjadi sebuah keharusan,
bukan pilihan, karena dari sejarah lah integrasi bangsa dapat terangkai kuat
hingga saat ini. Sejarah adalah kita dan kita adalah sejarah, artinya, sejarah
adalah sebuah puzzle yang tak bisa terpisahkan dalam dinamika kehidupan
setiap orang, masyarakat maupun sebagai sebuah bangsa, karena banyak rahasia
dalam setiap peristiwanya, seperti kata Winston Churchill, “Belajarlah pada
sejarah, karena dalam sejarah terdapat semua rahasia negara.”
Dalam konteks
Indonesia yang sebagian besar masyarakatnya tinggal di desa-desa, mereka tidak
terpikirkan untuk belajar sejarah, untuk mengenyam pendidikan formal saja masih
ada sebagian orang yang punya paradigma “kolot”, bahwa tidak perlu sekolah
tinggi-tinggi, tidak ada gunanya, apalagi kaum perempuan, jauh lebih
terpinggirkan lagi, seolah lupa bahwa R.A Kartini pernah mendorong semangat
untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, beliau berkata, “Kita harus
membuat sejarah kita untuk menentukan masa depan, yang sesuai dengan keperluan
kaum perempuan dan harus mendapat pendidikan yang cukup seperti kaum laki-laki.”
Pesan R.A Kartini sepertinya masih relevan untuk masa kini, bahwa pendidikan
merupakan senjata paling ampuh untuk membentuk generasi unggul pada masa depan,
yang berpijak pada karakter dan budaya bangsa.
Untuk menuju
pada unggulnya bangsa ini, terlebih dahulu harus meningkatkan kualitas dan
kuantitas para generasi muda yang terdidik. Tentu dengan kolaborasi yang serasi
antara orang tua dan anak yang menjadi modal paling kuat untuk menuju “Generasi
Emas” pada tahun 2045. Modal mempunyai orang tua inilah yang saya artikan
sebagai sebuah anugerah, karena orang tua saya begitu mementingkan pendidikan
anak-anaknya, meski dengan segala keterbatasan ekonomi. Saya dibesarkan dalam
keluarga sederhana dari orang tua yang berprofesi sebagai petani, dan terbiasa
hidup dengan kesederhanaan. Meski orang tua terbiasa bergelut di sawah, namun
pemikiran mereka tentang pentingnya pendidikan sangat “mewah”. Kemewahan itu
bisa saya rasakan dari keinginan mereka untuk melihat anaknya mengenyam
pendidikan setinggi-tingginya.
Keinginan itu
dimulai dari masa sekolah dasar di kota kelahiran, Purbalingga. SD Negeri 1
Galuh menjadi titik awal mengenyam “kawah candradimuka” ilmu selama 6 tahun
mereguk nikmatnya pendidikan. Di sini, saya selalu masuk peringkat 3 besar di
kelas hingga lulus. Melanjutkan jenjang SMP di SMP Negeri 5 Purbalingga.
Prestasi di SMP didapat dalam bidang olah raga, pernah menjadi juara 1 lomba
futsal tingkat Kabupaten Purbalingga. Dalam akademik selalu masuk peringkat 5
besar di kelas. Setelah lulus, tahun 2003 melanjutkan ke SMK Muhammadiyah
Purbalingga sesuai saran orang tua. Di jenjang ini, mulai belajar
berorganisasi, yaitu Pramuka. Pernah menjabat sebagai Pradana di SMK Muhamamdiyah Purbalingga periode 2004/2005. Hingga mewakili Jawa Tengah pada
acara Jambore Nasional Hizbul Wathon di Klaten pada 2005.
Setelah lulus
SMK tahun 2006, ingin melanjutkan kuliah tapi kondisi keuangan orang tua tidak
memungkinkan. Akhirnya, selama 1 tahun mencoba bekerja menjadi penjaga warnet
untuk mengumpulkan tabungan registrasi masuk perkuliahan. Hingga tahun 2007,
rasa haus ingin kuliah tak bisa ditahan lagi. Dengan meminta doa restu orang
tua, saya ijin untuk melanjutkan pendidikan yang tertunda. Meski keuangan yang
pas-pasan, orang tua mendukung penuh, beliau berpesan, “Kalau itu sudah jadi
tekadmu, lakukan. Bismillah, yang terpenting harus serius dalam kuliah.”
Pesan itulah
yang saya pegang selama kuliah S-1. Pilihan untuk kuliah sesuai saran orang tua
tertuju ke Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP). Alasan orang tua
sederhana: yang terdekat dan meminimalisir biaya kos dan biaya hidup, karena
bisa ditempuh dengan Pulang-Pergi. Meski jarak dari Purbalingga-Purwokerto
cukup jauh, sekitar 30 km, namun saya menjalaninya dengan kerelaan, “Untuk
kuliah saja saya sudah sangat bersyukur,” begitu tekad ku. Untuk memilih
jurusan saya dibebaskan, saya memantapkan pilihan di program studi pendidikan
sejarah, alasanya seperti pesan Confoucius, bahwa, “Pelajari masa lalu, jika
kamu ingin mendefinisikan masa depan.” dari sinilah saya memulai untuk
mendefinisikan masa depan yang lebih baik. Pesan orang tua berusaha
sungguh-sungguh saya jalankan dengan cara :
Pertama, kuliah dengan target
lulus tepat waktu. Waktu 3,9 tahun proses perkuliahan saya selesaikan dengan
lancar. Nilai yang didapat juga tergolong sangat memuaskan dengan IPK 3,40 di
akhir masa kuliah. Nilai ini yang sudah mengantarkan saya mendapatkan beasiswa
dari DIKTI untuk kategori Beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM) selama 3
tahun berturut-turut, dari tahun 2008 sampai 2011. Ketika
memasuki semester akhir, saya diikutkan menjadi asisten dosen untuk meneliti
tentang sosialisasi bahaya Tsunami di Cilacap. Sebuah kesempatan langka yang
hanya diberikan kepada saya diantara teman-teman satu angkatan lainnya.
Kedua,
berorganisasi sesuai pilihan hati. Dunia kampus menawarkan alternatif untuk
mengembangkan diri selain di ruang kelas, tentu saja dengan cara berorganisasi.
Organisasi di kampus menawarkan banyak pilihan untuk mengasah softskill.
Tercatat selama kuliah, saya pernah menjajal berbagai organisasi kampus,
seperti, Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Pendidikan Sejarah (Sekertaris
periode 2008/2009). Badan Eksekutif Mahasiswa FKIP (Sekertaris periode
2009/2010) dan menjadi anggota di BEM pusat UMP.
Selain organisasi
“ruang kelas”, saya juga mengikuti beberapa organisasi “luar kelas”, seperti
bela diri Tarung Derajat Satlat UMP, jadi wakil ketua tahun 2010. Dan menjadi
anggota pada UKM Sepak Bola, jadi penjaga gawang UMP tahun 2008-2010. Dari
berbagai organisasi itu, saya sering terlibat sebagai panitia dalam berbagai
acara. Selain sebagai panitia, rentan tahun berorganisasi ini, banyak kegiatan
seminar, workshop dan pelatihan yang
diikuti. Baik itu utusan dari organisasi maupun individu [ada 37 sertifikat]. Semua
kegiatan organisasi ini saya ikuti karena pilihan hati. Apabila sudah masuk ke hati,
semua rintangan akan mudah teratasi dan tetap berprestasi.
Ketiga, masuk pondok
pesantren. Dengan aktifitas organisasi dan kegiatan kampus yang begitu padat,
tidak memungkinkan lagi untuk pulang pergi dari Purbalingga-Purwokerto.
Akhirnya saya mendaftarkan diri di Pondok Pesantren Roudhotut Tholibin yang
letaknya tidak jauh dari kampus. Terhitung sejak tahun 2008 (semester 3), saya
diterima sebagai santri “Kalong” di pondok itu. Di sini, saya diminta membantu
mengajar MTs-SA Roudhotut Tholibin sejak dirintis tahun 2009. Disaat
kawan-kawan yang lain masih berkutat pada teori, saya sudah terjun langsung
merasakan dinamika dunia pendidikan secara nyata. Selain menjadi pengajar di
MTs, saya juga sesekali menjadi pengajar untuk Sekolah Kesetaraan Paket C yang
diadakan oleh pondok. Memang tidak setiap hari, karena harus berbagi waktu
dengan urusan akademik dan organisasi kampus. Urusan ilmu di pondok memang
tidak maksimal, namun yang pasti, ilmu “kehidupan” di pondok sangat terasa
hingga saat ini, terutama tentang kesederhanaan, pengabdian, keikhlasan dan
perjuangan.
Keempat, bekerja sekuat tenaga.
Bekerja dalam konteks ini adalah mengajar, karena membantu mengajar inilah, segala
biaya hidup di pondok digratiskan, seperti makan dan tempat tinggal. Jadi
selama kuliah, meski tidak pernah kost, saya bisa menjalani hidup dengan
mandiri, tanpa membebani orang tua. Selain itu, saya juga berjualan pulsa lewat
HP sejak 2008-2011, yang saat itu masih jarang dan sangat menguntungkan.
Sesuatu yang selalu saya syukuri, karena dari hasil kerja dan bantuan beasiswa,
praktis saya tidak pernah meminta uang saku lagi pada orang tua.
Memang tidak
semua yang saya jalani berhasil maksimal, banyak kekurangan di sana-sini,
karena harus membagi waktu diantara semuanya. Bukan tanpa masalah, namun semua
masalah teratasi dengan tekad untuk menyelesaikan perkuliahan tepat waktu.
Tepat 8 Oktober 2011, saya diwisuda. Dengan semangat yang belum padam untuk belajar,
saya langsung melanjutkan pendidikan ke Program Pascasarjana. Lagi-lagi orang
tua berperan sangat besar, dengan doa restu beliau, saya tekadkan untuk
langsung melanjutkan pendidikan ke jenjang magister.
Tujuan untuk
melanjutkan perkuliahan adalah Program Pascasarjana Pendidikan Sejarah
Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Sejak awal tahun 2012 resmi menjadi
Mahasiswa. Passion baru muncul di
masa-masa perkuliahan, yaitu menulis. Menulis menjadi hobi tersendiri dengan
langkah awal membangun web pribadi www.arifsae.com,
berbagai pandangan dan pemikiran bisa saya ekspresikan di sini. Lalu hobi
menulis ini merambah ke media massa koran cetak untuk menulis opini, hingga
saat ini sudah ada 20 artikel opini yang sudah saya hasilkan. Prosses
perkuliahan S-2 ini berhasil saya selesaikan hanya 1,5 tahun dengan nilai IPK
3,64.
Sejak lulus
magister, saya sudah berkomitmen untuk mentransferkan ilmu yang sudah ditekuni
selama perkuliahan hanya untuk dunia pendidikan. Pertengahan 2013, saya
mentransformasikan ilmu di SMA Negeri 2 Purbalingga. Di sini, saya terus
mengasah hobi tulis-menulis yang akhirnya berbagai prestasi dan penghargaan
saya raih. Saya juga mengajarkan kepada peserta didik untuk tidak takut
berkompetisi, meski saingannya ribuan. Terbukti, ada 18 (delapan belas)
kejuaran bersama anak-anak yang berhasil dimenangkan. Paling membuat bangga
adalah berhasil mengantarkan menjadi Juara ke-3 LKIR LIPI. Mereka akhirnya
mewakili Indonesia dalam ajang INTEL ISEF di Pitsbug, Amerika Serikat untuk
bersaing dengan kontestan dari 100 negara di dunia. Sayangnya, saya tidak bisa
mendampingi sampai ke Amerika karena dalam waktu bersamaan harus pindah tugas
mengajar ke CLC Terusan 2, Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK), Negeri Sabah, Malaysia.
Selain
memotivasi dengan jadi pembimbing, saya juga mencoba untuk berkompetisi
individu. Dalam dunia kompetisi, saya pernah menjadi Pemenang Karya Tulis
Ilmiah Simposium Guru Nasional 2015, dan diundang ke Istora Senayan untuk
merayakan Hari Guru Nasional 2015 bersama Presiden Joko Widodo dan Mendikbud
waktu itu, Anies Baswedan. Masih banyak kompetisi dan karya lain yang sudah
dimenangkan, saya sertakan dalam bagian “PRESTASI” di pendaftaran [ada 60 item].
Awal 2017, dipercayai menjadi penerima bantuan dari Direktorat Sejarah,
Kemendikbud untuk menulis Biografi Usman Janatin, Pahlawan Nasional kelahiran
Purbalingga. Hingga pada pertengahan 2017, saya mendapatkan amanah menjadi guru
untuk anak-anak Indonesia di Perkebunan Sawit di Negeri Sabah yang di inisiasi
oleh Dirjen GTK, Kemendikbud. Di tempat tugas baru, beban pekerjaan lama
“bersatu” dengan pekerjaan baru. Selain menyelesaikan penulisan Biografi Usman
Janatin, yang penelitiannya dilakukan sebelum berangkat, juga harus
menyelesaikan setumpuk pekerjaan baru. Semua pekerjaan itu bisa terselesaikan
sesuai terget yang ditentukan.
Menjadi guru di
Ladang Sawit yang gersang menjadi pengalaman yang akan abadi dalam memori, karena
sangat berbeda dengan lingkungan di Jawa. Tantangan itu seperti sinyal yang susah,
rumah dan sekolah yang terbuat dari kayu, juga listrik yang tidak 24 jam
menjadi bumbu-bumbu tersendiri dalam pengabdian. Untuk memenuhi kebutuhan hidup
saja, harus menempuh 2,5 jam perjalanan dari rumah ke kota terdekat. Pengalaman
menjadi guru yang benar-benar dalam keterbatasan baik sarana, prasarana,
fasilias, dan lingkungan. Ditambah lagi, selain menjadi guru, juga ditugasi sebagai
Pengelola (semacam kepala sekolah mini), Bendahara BOS, dan Operator Dapodik.
Bahkan, ada tugas tambahan dari Konsulat Jenderal RI Kota Kinabalu untuk
membantu mengurus dokumen pekerja sawit WNI, seperti membuat Buku Nikah, Akta
Lahir, Passport hingga melayani mereka yang ingin mengambil kesetaraan Paket A,
B, C. Dalam satu waktu, pekerjaan itu saling
bersahutan yang terkadang datang secara bersamaan. Namun, dengan kerja keras
dan disipilin, saya bisa menyelesaikan tugas tanpa halangan berarti.
Di Sabah, menulis
tetap jadi tradisi. Selama 2 tahun bertugas, saya berhasil menulis 9 buku, 2
jurnal ilmiah, 1 artikel majalah, 6 opini koran dan 6 kompetesi nasional yang
saya menangkan. Salah satu karya yang berasal dari blog dan sudah diterbitkan
menjadi 2 jilid buku adalah Catatan Harian selama di Sabah. Hingga pada 22
Oktober 2019, karena keuletan menulis ini, saya dianugerahi Rekor Indonesia
oleh MURI sebagai, “Guru yang Selama di
Luar Negeri Menulis Catatan Harian di Blog Tanpa Henti Terlama.” Rekor
individu ini merupakan prestasi tersendiri. Untuk anak-anak, saya membimbing
mereka memenangi kompetisi AKPRES 2018 sebagai Juara 1 kategori badminton dan
membantu guru lokal/pamong [yang membantu sekolah dari WNI] sebagai Juara 1
pada lomba Inovasi Pembelajaran Guru Pamong se-Sabah dan Sarawak 2018. Untuk teman-teman
guru lain, saya memotori berdirinya komunitas group Guru Sandakan Menulis (GSM)
guna mendorong mereka menulis buku. Sudah beberapa guru yang berhasil melahirkan
karya pertamanya.
Dalam
kepanitaan, menjadi panitia Jambore Anak Indonesia di Malaysia (JAIM) ke-4 dan
ke-5 di Hutan Taliwas, Lahad Datu dan panitia Pekan Siaga Anak Indonesia di
Malaysia (PESONA) ke-2 di Sandakan. Paling berkesan adalah pernah menjadi Ketua
Kelompok Penyelenggaraan Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPS-LN) pada Pemilihan
Umum Serentak 2019 di Distrik Sandakan. Pengalaman ini sangat mengesankan
karena masuk ke “lobang tikus” di segala penjuru wilayah Sandakan yang di situ
ada warga Indonesia nya. Untuk ke lokasi saja, penuh dengan rintangan yang tak
ringan, seperti jalanan yang menantang, naik turun bukit curam, dan tidak ada
aspal, semua itu menambah pengalaman yang sangat luar biasa. Perjuangan ini
tentu saja bertujuan untuk menampung aspirasi, meski satu suara, hak konstitusi
WNI dalam menentukan pemimpinnya.
Dari semua
prestasi terbesar selama bertugas mengajar anak-anak Indonesia di Perkebunan
Sawit adalah, memberikan kenikmatan pendidikan yang sesungguhnya. Dengan cara
memulangkan mereka untuk melanjutkan sekolah ke Indonesia dengan mendaftarkan beasiaswa
Sabah Bridge. Dengan status “ilegal”, saya harus mengurus semua dokumen mereka
sebagai syarat wajib imigrasi. Di masa akhir penugasan, saya berhasil
mengantarkan mereka mendapatkan beasiswa itu, dan sekarang sudah berada di
berbagai pelosok wilayah Indonesia. Rumah mereka yang sebenarnya.
Untuk
mengakhiri, saya kutip pesan Colin Powell,
seorang Jendral militer Amerika Serikat, bahwa, “Tidak ada rahasia menuju keberhasilan. Keberhasilan diraih dari
persiapan, kerja keras, dan belajar dari kegagalan.” Saat ini, kerja
keras akan terus berlanjut untuk mewujudkan cita-cita yang lama tertunda:
menyelesaikan Program Doktoral, dengan dukungan Beasiswa Unggulan 2020. Semoga
ilmu saya tetap bisa bermanfaat untuk diri pribadi, orang-orang sekitar dan
dunia pendidikan pada umumnya, karena ilmu yang bermanfaat adalah amal jariyah
tak terputus. Tidak ada yang mustahil di dunia ini, selama kita mau berusaha
dan berdoa. Sesuai dengan pesan orang tua, “Kalau sudah bertekad, lakukan.
Bismillah. Asal benar-benar serius. Akan ada jalan.” Aamiin… Saya yakini
doa orang tua, karena saya adalah generasi unggulan kebanggan bangsa Indonesia.