arifsae.com-Pada tulisan pertama
saya, telah dibahas mengenai kisah sejarah Pancasila dari inspirasi ketika Bung
Karno diasingkan di Ende hingga disahkannya ketika sidang PPKI yang pertama. Tulisan
ini bisa kalian baca DISINI.
Buku Kisah Pancasila |
Kali ini, tulisan ini
akan menyambung dari tulisan pertama, yaitu dari proklamasi hingga saat ini. Kisah
yang tentunya tak mulus, penuh dengan perjuangan dan pengorbanan. Pancasila mencari
roh nya yang sejati. Mari kita lanjutkan kisah Pancasila dari masa Revolusi.
Masa Revolusi hingga RIS
Setelah disahkan
sebagai ideologi dasar negara pada 18 Agustus 1945, Pancasila tak serta merta
punya tempat nyaman di negara yang baru berdiri itu. Justru periode cobaan
terberat ada pada tahun-tahun pertama republik ini berdiri. Terpenting ketika
kehendak Belanda yang mau memuaskan dahaga untuk menguasai Indonesia. Ibarat
anak kecil, langkah kaki Indonesia ini masih tertatih-tatih untuk mengurus
segala aspek kehidupannya.
Disisi lain, proklamasi
Indonesia, menurut Belanda hanya ulah segelintir ekstrimis, dan bukan kehendak
seluruh rakyat Indonesia. Aksi Belanda ini membuahkan berbagai ancaman senjata yang
terjadi dimana-mana (Pertempuran di Surabaya, Ambarawa, Medan, dan lainnya),
perundingan diplomasi pun dilakukan (perundingan Linggarjati, Renville, KMB) sampai
pemrontakan dari dalam negeri (PKI di Madiun) yang menambah terdesaknya negeri
ini. Pancasila untuk pertama kalinya, diuji eksistensinya.
Diantara cobaan itu,
mungkin yang terberat adalah ketika Agresi Belanda II tahun 1949 dilakukan,
hingga akhirnya berhasil menangkap Sukarno dan Hatta, yang menurut Belanda lenyap sudah negara Indonesia. Untungnya, masih ada PDRI di Sumatra yang dipimpin
oleh Sjafruddin Prawiranegara menyelamatkan nyawa proklamai kita.
Keberhasilan dari perjuangan
Indonesia ditandai dengan penyerahan kedaulatan Indonesia 29 Desember 1949
pasca perundingan KMB. Sejak saat itu, bentuk pemerintahan Indonesia berubah
menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Bagaimana nasib Pancasila?
Versi Proklamasi UUD 1945
“...susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat berdasarkan kepada Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Permusyawaratan / Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.”
Versi RIS 29 Desember 1949-17 Agustus 1950
“Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu Piagama Negara yang berbentuk republik-federasi, berdasarkan pengakuan Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial.”
Sejak disahkannya RIS, dengan otomatis ideologi dan UUD juga harus diganti, dan Pancasila pun sedikit mengalami perubahan meski dengan substansi yang sama.
Masa Parlementer
Dalam prosesnya, RIS
tidak bertahan lama. Kurang dari 7 Bulan, RIS dibubarkan dan kembali lagi
menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semangat yang terkandung dalam
Pancasila belum tumbuh secara maksimal. Hal ini lebih dikarenakan Indonesia
memilih sistem Parlementer dalam pemerintahan, dan meninggalkan sistem
Presidensil yang dipilih ketika proklamasi dikumandangkan.
Pancasila kala itu tak
seperti saat ini, karena sejak kembali menjadi NKRI, UUD yang digunakan bukan
lagi UUD 1945 namun menggunakan UUDS 1950. Otomatis pembukaan UUDS 50 pun
berbeda dengan UUD 45, yang berarti merubah juga [sedikit] isi Pancasila. Coba bandingkan
isi UUDS 50 dengan UUD 45 dibawah ini,
“Maka demi ini kami
menyusun kemerdekaan kami itu dalam bentuk suatu piagam Negara yang berbentuk republik-kesatuan,
berdasarkan Ke-Tuhanan yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan
dan Keadilan Sosial, untuk Mewujudkan Kebahagiaan Kesejahteraan, Perdamaian dan
Kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia Merdeka yang berdaulat
sempurna.”
Dalam proses setelah
menjadi NKRI-pun kelihatanya tak berjalan sesuai keinginan Bung Karno. Buktinya
tahun 1951 Bung Karno mengajak untuk kembali kepada semangat Pancasila, tapi
tak serta merta didengar oleh para Perdana Menteri yang memerintah. Ketika sistem
Parlementer diadopsi oleh Indonesia, konsekuensi “pertikaian” antar partai bisa
saling menjatuhkan dan menimbulkan mosi tidak percaya. Ini tentunya
mengakibatkan kerja setiap kabinet tak berjalan secara maksimal.
Pemilihan umum pertama
1955 pun tak bisa diharapkan banyak. Cita-cita pembentukan DPR yang dipilih
oleh rakyat dan anggota Dewan Konstituante yang bertugas untuk membuat UUD dan
menggantikan UUDS 1950 pun tak ada hasilnya. Seperti isi pidato Presiden
Sukarno pada tanggal 10 November 1956 ketika akan membuka sidang pertama Dewan
Konstituante, beliau menyatakan:
“Kita bukan tidak
memiliki Konstitusi, malah dengan konstitusi yang berlaku sekarang, kita sudah
memiliki tiga konstitusi...Tapi semua konstitusi itu..adalah bersifat
sementara. Dan semua konstitusi itu bukanlah hasil permusyawartan antara
anggota-anggota konstituante yang dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilihan
umum yang bebas dan rahasia. Karena semua negara hukum yang demokratis,
menghendaki sebagai syarat mutlak sebuah konstitusi yang dibuat oleh rakyat
sendiri...”
Bung Karno ingin UUD
nantinya merupakan cerminan dari seluruh rakyat Indonesia dengan perwakilannya.
Namun, kenyataanya perdebatan semakin sengit didalam perumusan itu. Kaum
Nasionalis ingin tetap menggunakan Pancasila sebagai dasar negara, disisi lain
kaum Islam menuntut untuk digunakannya dasar negara berlandaskan agama Islam.
Kaum Islam menuntut
untuk dikembalikannya 7 kata yang hilang, karena 7 kata itulah yang disepakati
ketika “Piagam Jakarta” disahkan pada 22 Juni 1945. Pertentangan inilah yang
tidak bisa menemui titik temu. Disisi lain, ketidak jelasan kabinet ini justru
berimbas pada kehidupan ekonomi yang sulit dan politik kebangsaan yang tak
stabil.
Desakan masyarakat
semakin kencang untuk kembali kepada UUD 1945. Presiden Sukarno lantas
menyampaikan amanat itu kepada Dewan Konstituante pada 22 April 1959 untuk
kembali ke UUD 1945. Untuk menindak lanjuti, pada 30 Mei 1959 Dewan Kontituante
melakukan pemungutan suara. Hasilnya 269 setuju dan 199 tidak setuju kembali
kepada UUD 45. Namun karena anggota tidak memenuhi Kuorum maka tak membuahkan
kesepakatan.
Melihat keadaan yang
semakin tak menentu dan tak ada hasil Dewan Konstituante yang sudah bekerja
selama 4 tahun yang belum menghasilkan UUD, maka sejak tanggal 5 Juli 1959,
Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden, yang berisi (1) membubarkan Dewan
Konstituante; (2) Kembali ke UUD 1945, (3) dan pembentukan MPRS. Demikianlah,
Pancasila akhirnya kembali kepada jatidirinya.
Masa Demokrasi Terpimpin
Memasuki era 1960-an,
Presiden Sukarno dengan demokrasi terpimpinnya sering menyuarakan untuk kembali
kepada UUD 1945 dengan semangat “Revolusi belum Selesai”. Dibawah kepemimpinan
Presiden Sukarno, Indonesia memasuki masa mencari jalan langsung dibawah
Pemimpin Besar Revolusi.
Saat itu, menurut Bung
Karno, Pancasila masih menjadi pemanis bibir saja dan tak ada isi yang mengakar
didaada. Praktis selama masa jabatanya, Bung Karno selalu mengingatkan lewat
pidato-pidato kharismatiknya, bahwa kita harus kembali dan menjiwai Pancasila
secara sejati.
Akan tetapi, sebelum
gagasan Bung Karno tentang Pancasila belum sempat terrealisasi, pertentangan
politik era 1960-an semakin memanas. Pemberian ruang kepada PKI menjadikan
posisi Pancasila terrongrong. Hingga puncaknya, terjadilah poristiwa Gerakan 30
September 1965. Peristiwa penculikan yang akhirnya melahirkan beberapa kekerasan
didaerah yang berujung bergantinya pucuk pimpinan.
Pancasila masa itu
kembali diuji untuk tegak berdiri sebagai ideologi negara, sejak saat itu, satu
hari setelah peristiwa itu diperingati sebagai hari kesaktian Pancasila.
Masa Orde Baru
Tahun 1968, Presiden
Soeharto menjadi pemimpin negara Indonesia yang baru. Pola kepemimpinan pun
berbeda dengan Bung Karno. Semangatnya ingin menjadikan pemerintahanya menjadi
Demokrasi Pancasila, ini dibuktikan dengan keluarnya Instruksi Presiden No. 12
tahun 1968 yang menjadi panduan dalam mengucapkan Pancasila sebagai dasar
negara. Isinya pun seperti apa yang kita kenal sekarang.
10 tahun berikutnya,
tepatnya 22 maret 1978, rumusan Pancasila itu ditetapkan secara resmi melalui
TAP MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(Ekaprasetia Pancakarsa atau P4). Setiap butir Pancasila dijabarkan menjadi 36
butir pedoman praktis dalam kehidupan sehari-hari.
Pada masa Orde Baru
ini, aktivitas penataran P4 diwajibkan kepada semua warga negara dari jenjang
sekolah menengah sampai perguruan tinggi. Lebih luas lagi, sertifikat dari
hasil P4 ini menjadi syarat jika ingin bekerja dilingkungan pemerintah.
Pemerintah saat itu
menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal bagi semua organisasi dan harus mengakui
Pancasila sebagai pemersatu bangsa. Tujuaanya adalah membentuk apa yang
dimaksud dengan “Manusia Pancasila”.
Hingga tahun 1998,
seiring lengsernya Presiden Soeharto dari kursi kekuasaan, MPR membuat TAP MPR
XVIII/MPR/1988 yang mencabut TAP MPR sebelumnya. Sehingga dengan dikeluarkannya
TAP MPR yang baru, maka mencabut semua konsep tentang Ekaprasetia Pancakarsa.
Pencabutan ini didasarkan karena Pancasila tidak menjadi dasar negara yang
mengatur kehidupan bernegara, tetapi lebih diarahkan untuk mengatur pula semua
urusan pribadi seseorang warga negara.
Pancasila Masa Kini
Era-Reformasi diawali
dengan lengsernya Presiden Soeharto yang sudah berkuasa 30 tahun lebih. Sekali lagi,
Pancasila diera ini mendapatkan kesempatan untuk menemukan jiwa aslinya yang
lama hilang, yaitu sebagai dasar negara merdeka yang hendak melenyapkan
penjajah [versi baru] dari bumi Indonesia. Pemaknaan ini dicoba terus menerus
dari presiden-presiden era reformasi, namun sekali lagi, Pancasila nampaknya
belum menemukan jatidirinya yang sebenarnya.
Saat ini, Presiden
Jokowi juga berusaha mengembalikan Pancasila sebagai dasar negara sesuai dengan
ajaran Bung Karno tentang “Trisakti”, yaitu berdikari secara ekonomi, politik,
dan berkepribadian dalam berkebudayaan. Untuk menerjemahkan semangat ini, era kepemimpinan
Presiden Jokowi dimaknai dengan agenda prioritas yang berjumlah sembilan, yaitu
“Nawacita.”
Pada poin terakhir ke-9,
yaitu memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia. Poin
ini yang kembali mencuatkan pentingnya sebuah kebhinekaan dan menjunjung tinggi
keberagaman.
Tugas semakin berat
diemban oleh pemerintahan saat ini. Dengan dikobarkannya semangat Pancasila
seperti yang aslinya, yaitu tertanam di bumi Indonesia merdeka, dalam aliran
darah perjuangan melawan kolonialisme [versi baru], ditaman sarinya
keberagamaan budaya bangsa. Pancasila adalah dasar mengapa kita semua bisa ada
disini sebagai sebuah bangsa Indoenesia.
Demikianlah sekilas tentang kisah sejarah Pancasila, apabila ada kekurangan silahkan memberikan masukan dikomentar. Mohon maaf apabila ada yang kurang berkenan. Sumber Foto dan isi artikel adalah dari buku "Kisah Pancasila". Sekian...