arifsae.com-Pancasila, sampai saat ini masih menjadi dasar negara yang menjadi landasan kita dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Jiwa Pancasila akhir-akhir ini nampaknya dibutuhkan kehadirannya, ditengah-tengah masyarakat yang mulai menjamur dan tumbuh subur paham-paham tentang kepentingan satu golongan tertentu.
Kita (me)lupa(kan), betapa istimewanya nilai-nilai yang terkandung didalamnya ditengah realita masyarakat Indonesia yang sangat beragam ini. Kita membutuhkannya, bersama-sama, menjaga dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dibalik maknanya. Apakah kita sudah tau? Bagaimana kisah sejarah Pancasila? tulisan ini merupakan rekfleksi dari kisah sejarah Pancasila. Mari kita mulai kisah ini dari Ende.
Ende, Inspirasi Lahirnya Pancasila
Ende berada di Flores, Nusa Tenggara Timur. Tahun 1934, Ir. Sukarno (selanjutnya akan digunakan nama Bung Karno) lagi-lagi menerima konsekuensi dalam memperjuangkan Indonesia Merdeka, yaitu penjara dan pengasingan. Pengasingan ini hal biasa bagi mereka yang mau menentang pemerintah Kolonial Belanda saat itu.
Bung Karno, dibuang ke Ende karena diberikan hukuman "istimewa" oleh Gubernur Jendral atas dasar exorbitante rechten, yaitu hak khusus untuk melakukan interneering (pengasingan ditanah kolonial) atau externeering (pembuangan keluar wilayah). Bung Karno mendapat hukuman yang pertama.
Pemberian hukuman "istimewa" ini dikarenakan Bung Karno berjuang dalam Partindo sejak 25 April 1931, yang sebelumnya juga sudah ditahan di Penjara Sukamiskin, Bandung selama 2 tahun (itupun sebenarnya dihukum 4 tahun, namun karena pledoi-nya yang terkenal, Indonesia Menggugat, akhirnya hukuman dijalani hanya 2 tahun). Akibat dari perjuangannya di Partindo, Bung Karno akhirnya diasingkan sejak 23 Desember 1933.
4 tahun lamannya, Bung Karno menghabiskan waktunya disini untuk bersosialisasi dengan masyarakat yang masyoritas beragama Katholik. Penduduknya pun hanya 5.000 orang, sangat berbeda dengan Jawa yang meyediakan berbagai "menu" perjuangan. Disini Bung Karno hanya ditemani istrinya (Inggit Gunarsih) anak angkat (Ratna Djuami) dan mertuanya (Ibu Amsi), bahkan nama terakhir meninggal disana tahun 1935.
Kebosanan yang dirasakan pasti mempengaruhi kehidupan Bung Karno kala itu, hanya mengurus kebon, berbincang dengan keluarga dan tentunya membaca, itulah kegiatan Bung Karno sehari-hari. Hingga suatu saat, Bung Karno terus berjuang dengan caranya sendiri, yaitu dengan membentuk sebuah kelompok Teater, namanya Kalimoetoe Toneel Club.
Bung Karno sendiri yang menulis naskah dan menyutradarainya. Setidaknya ada 13 naskah yang tercipta, tentunya dengan tetap "menyusupi" nilai-nilai nasionailsme dan semangat kebangsaan bagi masyarakat Ende. Bersamaan dengan itu, karena tempat yang paling memungkinkan untuk mengadakan pertunjukan adalah gedung Societeit Katholik.
Gedung yang dimiliki umat Katolik ini disewa oleh Bung Karno. Sehingga secara tidak langsung Bung Karno sering berinteraksi dengan para pastor, terutama dengan teman baiknya kala itu, Pastor Geradus Henricus Huijtink, SDV. Pertemananya dengan Pastor Huijtink membuat Bung Karno bisa merefleksikan kehidupan ditengah kebhinekaan.
Gedung yang dimiliki umat Katolik ini disewa oleh Bung Karno. Sehingga secara tidak langsung Bung Karno sering berinteraksi dengan para pastor, terutama dengan teman baiknya kala itu, Pastor Geradus Henricus Huijtink, SDV. Pertemananya dengan Pastor Huijtink membuat Bung Karno bisa merefleksikan kehidupan ditengah kebhinekaan.
Suatu saat, Pastor Huijtink ketika berbincang santai ditemani secangkir kopi menanyakan kepada Bung Karno, "dimana tempat orang Flores yang mayoritas Katholik didalam negara yang mayoritas muslim ini?" Bung Karno merenung beberapa saat mendengar pertanyaan itu.
Bung Karno sering menghabiskan waktu untuk merenung dibawah sebuah Pohon Sukun dengan cabang 5 buah yang menghadap ke pantai Laut Sewu. Perlahan-perlahan dari perenungan itu, terbesit dasar negara yang disebutnya kala itu sebagai "lima butir mutiara". Bung Karno tidak menciptakan sendiri Pancasaila, dia menggali, merenungkan segala perjuangan rakyat untuk menuju kemerdekaan.
Setelah 4 tahun di Ende, tahun 1938 pemerintah Kolonial Belanda mencium gerakan Bung Karno yang tetap bisa berjuang dengan caranya sendiri, sehingga memutuskan untuk memindahkan pengasingan Bung Karno ke Bengkulu. Tepat pada 18 Oktober 1938, Bung Karno sekeluarga meninggalkan Ende menuju Bengkulu. Disinilah, landasan kebangsaan terbesit, yang justru tak didapatkannya di Pulau Jawa. Suatu fondasi yang akan menjadi dasar negara Indonesia dikemudian hari, Pancasila.
Kelahiran Pancasila di Sidang BPUPKI
Ketika Jepang menggantikan "kolonialisme" Belanda di Indonesa, serta-merta perlakuakuan kepada pemimpin perjuangan berbeda. Saat pendudukan Jepang, para pemimpin perjuangan diajak untuk bekerjasama, meski dibalik kerjasama itu Jepang menginginakan sesuatu kepada Indonesia, yaitu membantu Jepang pada Perang Asia Timur Raya.
Para pemimpin pergerakan pun tak mau rugi, mereka mengambil keuntungan untuk Indonesia Merdeka dikemudian hari. Tahun 1944, Jepang sudah mulai terdesak, PM Jepang Jendral Kunikai Kaiso mengumumkan pada tanggal 7 September 1944 bahwa Jepang akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia, maka didirikanlah BPUPKI pada tanggal 29 April 1945 dengan tugas menyusun rancangan Uundang-Undang Dasar.
Maka diadakanlah sidang untuk menentukan dasar negara di Gedung Chuo Sangi In (dulu ketika masa Kolonial Belanda gedung ini bernama Volksraad) dan saat ini diberi nama Gedung Pancasila yang terletak di Komplek Kementerian Luar Negeri. Digedung inilah diadakan sidang I, 28 Mei-1 Juni 1945 dan 10-17 Juli 1945. Ada 3 tokoh yang berkesempatan untuk menyampaikan ide-nya sebagai dasar negara, Mr. Muhammad Yamin, Dr. Supomo dan Ir. Sukarno.
Kesempatan pertama, Mr. Muhammad Yamin yang mendapat kesempatan pada 29 Mei 1945 pukul 11.00. Beliau memberikan konsep dasar sebagai berikut:
1. Peri Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ketuhanan
4. Peri Kerakyaan
5. Kesahteraan Rakyat
Yamin tidak memberikan nama prinsip itu. Tapi beliau memberikan penjelasan panjang lebar tentang kelimannya. Termasuk penjelasannya mengenai Indonesia Merdeka yang merupakan kelanjutan kemaharajaan Sriwijaya dan Majapahit. Apabila Sriwijaya merupakan "Negera Indonesia pertama", dan Majapahit merupakan "Negara Indonesia kedua", maka Indonesia merdekanya nanti adalah "Negara Indonesia ketiga".
Kelima prinsip yang diajukan Yamin bukan Pancasila. Walaupun ada ide Pancasila didalamnya, namun Yamin tidak bicara mengenai Persatuan Indonesia dan Keadilan Sosial. Pokok isinya hanya berkutat pada bentuk negara, wilayah negara dan warga negara.
Kesempatan kedua, Dr. Soepomo pada 31 Mei 1945 mengutarakan ide nya. Soepomo ingin pola kehidupan kebangsaan berdasarkan pada corak kehidupan di masyarakat Indonesia. Beliau tidak setuju dengan "kebudayaan Barat", karena budaya Barat berpegang pada prinsip individualisme, hal ini menyebabkan rakyat akan saling menjatuhkan. Inti dari isi ide Soepomo adalah:
1. Persatuan
2. Kekeluargaan
3. Keseimbangan Lahir dan Batin
4. Musyawarah
5. Keadilan Rakyat
Soepomo menginginkan negara "totaliter" seperti Jepang dengan kaisarnya. Keinginannya meniadakan perbedaan antar golongan pada satu kepemimpinan seperti raja-raja Jawa, maka dia menolak demokrasi yang tergantung pada asas perseorangan.
Sopomo ingin kepala negara mempunyai sifat sebagai "Ratu Adil", karena memang beliau adalah ahli hukum adat Jawa, jadi ide-idenya sangat tercerminkan dari kebudayaan Jawa.
Pandangannya mengenai dasar negara terlalu menekankan pada persatuan dan kurangnya memberikan pertimbangan pada aspek-aspek lain dari peri kehidupan masyarakat Indonesia. Beliau menginginkan adanya dasar negara yang mencerminkan keadaan nyata masyarakat Indonesia, tetapi tidak berhasil merumuskan dasar negara yang betul-betul memayungi keanekaragaman praktik kehidupan masyarakat seluruh wilayah di Indonesia.
Kesempatan ketiga, Ir. Sukarno pada 1 Juni 1945. Sidang yang dilakukan pada hari Jumat ini dimulai dengan pertanyaan oleh Bung Karno, "apa itu kemerdekaan?" apa yang dimaksud dengan kata "merdeka"?
"Kemerdekaan itu layaknya Jembatan emas", kata Bung Karno. Beliau mengibaratkan kemerdekaan sebagai sebuah pernikahan. Ada orang yang takut menikah, ada orang menunggu punya rumah bertingkat, tempat tidur mewah, baru berani menikah. Ada juga yang mau menikah kalau sudah punyai 4 kursi, satu tempat tidur, dan satu dipan. Ada juga yang lebih berani, yaitu Kaum Marhaen, rakyat kecil yang hanya punyai satu gubug dan satu periuk ternyata berani menikah. Tidak ada yang bisa menjamin siapa yang bakal lebih bahagia; si kaya yang peragu atau si miskin yang berani? demikian pula kemerdekaan.
Persoalannya, lanjut Bung Karno, "Kita berani merdeka atau tidak? Kalau menunggu kekayaan terkumpul, mungkin baru 50 tahun kemudian baru merdeka. Kalau mesti menunggu masyarakat Indonesia terdidik, mungkin baru 100 tahun baru merdeka. Permasalahannnya sederhana saja, kita mau merdeka atau tidak? Itu saja."
Hanya dengan merdeka, kita bisa mengusahakan jalan keluar dari masalah-masalah dengan mendirikan pemerintahan yang mandiri. Bung Karno berseru, "Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita! Didalam kemerdekaan itulah kita memerdekakan bangsa kita! Untuk itu, rebutlah dulu jembatan emas menuju masa depan itu."
Setelah itu, barulah Bung Karno memberikan pandangannya mengenai dasar negara yang berjumlah 5 pikiran pokok, kelima poin itulah yang diberi nama Pancasila. Inilah 5 sila yang disampaikan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945.
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme atau peri Kemanusiaan
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan
Inilah intisari dari praktek kehidupan Indonesia melawan penjajah dalam mengusahakan kemerdekaan. Penomoran itu tidak mencerminkan peringkat atau prioritas. Namun kelima sila itu merupakan satu kesatuan yang saling mengisi dan melengkapi.
Dari lima sila itu, Bung Karno menawarkan apabila ingin lebih diringkas lagi dengan nama Trisila. Asas kebangsaan dan internasionalisme digabung menjadi "sosio-nasionalisme". Asas mufakat dan kesejahteraan sosial dapat diringkas menjadi "sosio-demokrasi". Dan satu lagi adalah "Ketuhanan yang menhormati satu sama lain".
Bung Karno menawarkan Trisila itu apabila mau diringkas lagi, yang menjadi "Ekasila", yaitu satu pokok sila: Gotong Royong. Jadi intisari dari Pancasila sebenarnya adalah gotong royong. Inilah cikal bakal lahirnya Pancasila. Namun pertanyaanya, mengapa berbeda dengan Pancasila yang sekarang?
Transformasi Pancasila
Isi Pancasila berbeda karena dalam persidangan 29 Mei-1 Juni 1945 belum menemukan titik temu. Maka dibentuklah sebuah panita kecil yang berjumlah 9 orang, atau Panitia Sembilan. Tugas panitia ini menyelesaikan dasar negara yang akan menjadi Pembuakaan UUD 1945. Ketua dari panitia ini adalah Bung Karno sendiri.
Pada tanggal 22 Juni 1945 tercapailah kesepakatan diantara sembilan orang itu mengenai dasar negara. Kesepakatan inilah yang kemudian disebut sebagai "Piagam Jakarta", yang merupakan rancangan awal dari pembukaan UUD 1945. Isi awal dari Piagam Jakarta sebagai berikut:
- Ketuhanan, dengan Kewajiban Menjalankan Syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya;
- Kemanusiaan yang Adil dan Beradab;
- Persatuan Indonesia;
- Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan;
- Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Demikianlah, Pancasila lahir dengan dinamikanya, meski lahir berbeda dengan usulan awal, dan Piagam Jakarta. Dan berbeda pula dengan isi saat ini, karena harus harus mengilangkan 7 kata "Kewajiban Menjalankan Syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya".
Penghilangan 7 kata ini memuncak setelah munculnya pandangan bahwa apabila rumusan 7 kata itu tetap disahkan, maka sebagian besar Indonesia Timur akan memisahkan diri. Melihat situasi memanas, Mohamad Hatta meminta Kasman Singodimedjo untuk membujuk Ki Bagus Hadikusumo yang sangat kukuh untuk mempertahankan rumusan tersebut. Maka setelah berbicara dengan Kasman, akhirnya hati Ki Bagus pun luluh. Beliau berbesar hati mengesampingkan kepentingan golongan demi mengedepankan persatuan nasional.
Sehingga, ketika sidang PPKI, tepat sehari setelah merdeka pada 17 Agustus 1945, tercapailah kesepakatan dengan musyawarah mufakat untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara.
Penghilangan 7 kata ini memuncak setelah munculnya pandangan bahwa apabila rumusan 7 kata itu tetap disahkan, maka sebagian besar Indonesia Timur akan memisahkan diri. Melihat situasi memanas, Mohamad Hatta meminta Kasman Singodimedjo untuk membujuk Ki Bagus Hadikusumo yang sangat kukuh untuk mempertahankan rumusan tersebut. Maka setelah berbicara dengan Kasman, akhirnya hati Ki Bagus pun luluh. Beliau berbesar hati mengesampingkan kepentingan golongan demi mengedepankan persatuan nasional.
Sehingga, ketika sidang PPKI, tepat sehari setelah merdeka pada 17 Agustus 1945, tercapailah kesepakatan dengan musyawarah mufakat untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara.
Untuk periode inspirasi hingga proklamasi sudah secara sengkat saya uraikan. Kelanjutan kisah sejarah Pancasila akan dilanjutkan ketika mengalami zaman revolusi, RIS, Demokrasi Parlementer dan Terpimpin hingga Saat Orde Baru sampai reforormasi akan dibahas selanjutnya. Kelanjutan artikel ini bisa dilihat DISINI...
Sumber:
Foto dan Tulisan artikel ini bersal dari Buku Kisah Pancasila yang disusun oleh Direktorat Sejarah, Terbit tahun 2017.