Keluarga Besar SMA Negeri 2 Purbalingga di Dieng |
Ketika saya ditawari untuk ikut, tentu dengan mantap jiwa dan raga saya sanggupi. Bagaimana tidak mau, sudah gratis diberi uang saku pula (meski ga banyak, tapi alhamdullilah;)
Agenda untuk berlibur ke Dieng dijadwalkan pada tanggal 21 Mei 2017. Tanggal ini dipilih karena memang bertepatan dengan kegiatan sebelum Ujian Akhir Tahun dan sebelum menjalankan ibadah puasa di Bulan suci Ramadhan. Kegiatan ujian dan bulan puasa ini pasti akan menguras energi dan hati.
Kegiatan ke Dieng
sebenarnya baru saja saya jelajahi bersama teman-teman blogger (sekitar bulan September
2016, artikelnya bisa dilihat disini). Kali ini suasana dan kondisi yang jelas
berbeda akan segera menyapa. Namun kondisi yang pasti sama adalah, sama-sama
tidak mengeluarkan biaya;)
***
Rencana keberangkatan awalnya dijadwalkan pukul 23.30. Saya yang rumahnya agak jauh, sengaja berangkat lebih
awal. Sekita pukul 8 malam, saya sudah sampai disekolah. Bukan semangat untuk
pergi ke Dieng, tapi saya sudah janjian dengan anak-anak untuk mengumpulkan
deadline pengumpulan film sosiodrama tentang sejarah desa. Ketika menunggu
pemberangkatan dan pengumpulan tugas, saya mencoba untuk browsing internet.
Sesuatu yang membuat kegiatan menunggu tidak membosankan.
Namun, lagi-lagi WIB
alias Waktu Indonesia Berubah. Mulur 1 jam, keberangkatan sendiri dimulai jam 12.30 malam. Kondisi
perjalanan pun tak saya rasa, karena sedang mati rasa, alias bertemu dengan
mimpi.
Perjalanan ke Dieng membutuhkan waktu sekitar 3 jam. Tergantung kelancaran perjalanan dan kecepatan kendaraan. Kami sampai ditujuan sekitar jam 03.30 pagi diparkiran Bus. Tidak langusng naik, karena kami turun ditempat parkiran. Tempat
pertama yang akan saya jelajahi adalah keindahan sinar matahari di Sikunir.
Mencari Golden Sunrise
Ternyata tidak semudah itu, untuk mendapatkan keindahan karya Tuhan ini harus ditempuh dengan jalan kaki. Belum lagi, udara dingin yang menusuk kedalam pori-pori. Perjalanan kaki ini sekitar 30 menit, itu dari parkiran kepintu masuk, belum ke puncaknya.
Karena dinginnya udara,
kami sepakat untuk menghangatkan badan dengan makan mendo panas, meski tak
terasa karena saking dinginnya udara. Setelah adzan Subuh berkumandang, kami
berangkat menuju kepuncak, sekitar 900 Meter. Tidak main-main, jalananya
menanjak keatas, dan dipastikan, kaki-kaki ini akan sangat bekerja keras.
Sampai dipuncak, ternyata bukan kami saja yang memburu Golden Sunrise ini, tapi dari berbagai daerah dan penjuru pelosok negeri ini. Apalagi, golden sunrise di Sikunir ini adalah yang terindah dan terbaik se-Asia Tenggara. Karena hanya di Sikunir kita bisa melihat warna jingga keemasan dilangit fajar saat menyinari gunung-gunung tinggi yang berselimut kabut ini.
Harapan besar bagi kami untuk bisa melihat maha karya besar Tuhan ini, setelah menunggu hingga matahari terbit, ternyata sinarnya tak tampak karena kuatnya kabut asap. Saya terus menunggu, tapi ternyata kecantikannya bersembunyi dibalik kabut malu-malu. Pasrah dan lelah bercampur mesra, foto yang didapat juga seadanya. Yang penting kami sudah pernah disini, menjejakan kaki menikmati dinginya udara pagi.
Sampai dipuncak, ternyata bukan kami saja yang memburu Golden Sunrise ini, tapi dari berbagai daerah dan penjuru pelosok negeri ini. Apalagi, golden sunrise di Sikunir ini adalah yang terindah dan terbaik se-Asia Tenggara. Karena hanya di Sikunir kita bisa melihat warna jingga keemasan dilangit fajar saat menyinari gunung-gunung tinggi yang berselimut kabut ini.
Harapan besar bagi kami untuk bisa melihat maha karya besar Tuhan ini, setelah menunggu hingga matahari terbit, ternyata sinarnya tak tampak karena kuatnya kabut asap. Saya terus menunggu, tapi ternyata kecantikannya bersembunyi dibalik kabut malu-malu. Pasrah dan lelah bercampur mesra, foto yang didapat juga seadanya. Yang penting kami sudah pernah disini, menjejakan kaki menikmati dinginya udara pagi.
Turun menjadi pilihan
terbaik. Kami turun dan menyusuri jalanan tajam ini, hingga menjumpai Pak Agus
dan Mas Bagi sedang asik ngopi. Mereka memang tak naik, akhirnya pilihan yang
tepat adalah ngopi bareng. Sampai turun sekitar pukul 06.00. Pak Agus dan Mas
Bagi dengan gagahnya memamerkan kalau sudah mandi. Saya? Mungkin lain kali,
udara dinginnya terlalu tak bersahabat.
Perjalanan Menuju ke Parkiran (dok Pribadi) |
Untuk menuju ke parkiran bus, kami harus berjalan mengitari hamparan danau kecil. Perjalanan ke parkiran sendiri lumayan jauh, sekitar 20 menit dengan jalan kaki. Tapi hitung-hitung jalan sehat, kalau kita mau ojek, sebetulnya tersedia dengan harga sekitar 10.000-15.000.
Setelah dirasa sudah kumpul semua, kami menuju ketampat sarapan. Namun tempat sarapan ini tak biasa, karena ditempat terbuka dan di sebuah perataran candi.
Candi Terbesar di Dieng: Bima
Setelah dirasa sudah kumpul semua, kami menuju ketampat sarapan. Namun tempat sarapan ini tak biasa, karena ditempat terbuka dan di sebuah perataran candi.
Candi Terbesar di Dieng: Bima
Perjalanan dari Sikunir
ke Candi Bima tak lama. Kami yang lelah karena baru naik ke Sikunir sebenarnya
ingin memejamkan mata sekejap saja. Namun, jangankan memejamkan mata, membersihkan badan pun tak bisa, jarak
yang membuat itu tak terlaksana. Iya, jaraknya sangat dekat.
Candi Bima (dok Pribadi) |
Suasana yang mempesona.
Udara dingin ditemani sinar mentari pagi, dan dilatari sebuah candi. Candi
Bima sendiri merupakan salah satu candi terbesar di kawasan Dieng. Perbedaan bentuk Candi
Bima dengan candi-candi di Dieng lainnya juga terlihat, perbedaan seperti memiliki arca kudu
disetiap sisi dindingnya. Namun saat ini arca-arca itu dalam keadaan kosong,
karena ada yang beberapa dimusiumkan ada juga yang dicuri orang.
Setelah selesai sarapan,
kami sempatkan untuk berfoto ria bersama sanak saudara di SMANDA. Dengan
berlatar cerahnya langit, kami beraksi untuk mengabadikan momen ini.
Ketika perut kenyang,
foto sudah terselesaikan, kami semua berangkat menuju ketempat wisata
melanjutkan perjalanan, yaitu sebuah kawah, kawah Sikidang namanya.
Menarinya Kawah Sikidang
Selesai makan sekitar pukul 08.00. Ketika sinar hangat mulai menyelimuti kulit, kami harus rela naik bus lagi untuk melanjutkan perjalanan. Kali ini perjalanan menuju sebuah kawah yang diberi nama Kawah Sikidang. Diberi nama Kawah Sikidang karena aktifitas dari kawah ini seperti meloncat-loncat bak hewan Kijang.
Menarinya Kawah Sikidang
Selesai makan sekitar pukul 08.00. Ketika sinar hangat mulai menyelimuti kulit, kami harus rela naik bus lagi untuk melanjutkan perjalanan. Kali ini perjalanan menuju sebuah kawah yang diberi nama Kawah Sikidang. Diberi nama Kawah Sikidang karena aktifitas dari kawah ini seperti meloncat-loncat bak hewan Kijang.
Kawah-Kawah Kecil (dok Pribadi) |
Sampai di Kawah Sikidang sekitar pukul 08.15, memang tidak lama dari Candi Bima, karena jaraknya memang tidak terlalu
jauh. Ketika memasuki area parkir, kita akan disuguhi tulisan-tulisan Kawah
Sikidang yang besar dengan latar belakang Kawah. Dipintu masuk kita akan
disambut penjual yang menawarkan dagangannya dengan ramah, tentunya dengan
harga yang murah.
Banyak area spot selfie disini, ada yang gratis tapi ada juga
yang berbayar. Tinggal pilih sesuai selera kita. Disamping itu, tersedia telor
yang direbus dari kawah langsung. Saya sempat mencicipi meski gratis dari Pak Anis, dan setelah dimakan ternyata memang rasanya
sedikit berbeda.
Setelah puas menikmati keindahan kawah, kami akhirnya melanjutkan perjalanan berikutnya. Perjalanan berikutnya menuju sebuah tempat dimana kita bisa melihat Dieng hanya dengan duduk belaka.
Melihat Seluruh Dieng di DPT
Setelah puas menikmati keindahan kawah, kami akhirnya melanjutkan perjalanan berikutnya. Perjalanan berikutnya menuju sebuah tempat dimana kita bisa melihat Dieng hanya dengan duduk belaka.
Melihat Seluruh Dieng di DPT
Tujuan selanjutnya
adalah sebuah tempat yang khusus untuk mengetahui kisah tentang Dieng dengan
hanya duduk manis, namanya Dieng Plateau Theater (DPT). Bangunan ini diresmikan
langsung oleh Presiden ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2006.
Pintu Masuk ke DPT |
Menonton di DPT (dok Pribadi) |
Bermacam Warna di Telaga Warna
Perjalanan menuju ke Telaga Warna juga dekat. Jam sudah menunjukan pukul 10.30 ketika sampai di Telaga Warna. Telaga warna ini sagat rindang, asri dan sejuk karena masih banyak pohon-pohon besar dimana-mana. Ketika kita memasuki pintu masuk, pemandangan danau langsung menyambut. Warna Hijau bercampur dengan putih kekuningan jelas terlihat. Inilah yang membuat Telaga Warna menjadi unik.
Perubahan warna itu
sendiri tergantung dari sudut pandang kita, juga karena efek sinar matahari
sehingga terjadi pembiasan warna-warna yang indah di permukaan. Langsung saja
saya memposisikan foto, karena ada beberapa pohon yang tumbang sengaja
dibiarkan, cocok untuk dijadikan tempat sandaran ketika ingin berfoto ria.
Tidak hanya pemandangan
telaga saja, tapi ada pilihan wisata lain di Telaga Warna, yaitu beberapa
gua-gua yang dipercaya mistisnya. Saya harus berjalan sebentar untuk
mencapainya, tapi tenang saja, hamparan indah telaga tidak akan membuat kita
bosan ketika berjalan. Disepanjang jalan juga ada jajanan dan hiburan, salah-satunya badut.
Setelah kita berjalan,
sampailah pada pemandangan gua-gua itu, ada Gua Sumur Eyang Kumalasari, Gua
Pengantin, Gua Jaran Resi Kendaliseto dan yang paling menyedot perhatian adalah
Gua Semar. Ada juru kunci khusus untuk memasuki Gua Semar ini, konon para petinggi
negara pada masa lalu juga pernah kesini dan bermeditasi. Bahkan pada hari-hari
tertentu, umat Hindhu di Bali sengaja datang kesini untuk mengadakan ritual keagamaan.
Sayang saya tidak bisa masuk ke Gua Semar, karena ada yang sedang bermediasi
sehingga dikunci.
Banyak teman-teman yang
tidak ikut ke gua-gua ini, mereka lebih senang duduk-duduk sambil memandang
danau dengan iringan musik. Setelah selesai jelajah gua-gua, kami melanjutkan
perjalanan ke lokasi terakhir di sekitar Dieng, yaitu komplek Candi Deng.
Candi Terganteng: Arjuna
Rasa lelah sudah tak
terasa, ingin rasanya memejamkan mata sebentar saja. Tapi lagi-lagi, lokasi
dari Telaga Warna ke Candi Dieng tak jauh. Hanya butuh sekitar 15 menit, saya
sampai di Candi Dieng sekitar pukul 11.45. Sebetulnya waktunya untuk sholat Dhuhur, tapi kami
sempatkan dulu untuk menjelajah Candi Dieng atau yang mempunyai nama asli Komplek Candi Arjuna.
Komplek Candi Arjuna ini
merupakan komplek candi tertua di Jawa yang dibangun pada masa Mataram Kuno.
Keindahan candi bisa terlihat dari Candi Arjuna, Srikandi, Puntadewa, dan
Candi Sambadra. Disebelah Barat ada Candi Semar, selain itu Candi-candi lain
yang ada disekitarnya masih banyak, seperti Candi Gatotkaca, Setyaki, dan
Dwarawati.
Tidak lama memang,
karena harus melanjutkan perjalanan. Tapi sebelum berangkat menuju kelokasi lainnya, kami foto-foto
terlebih dulu. Tepat jam 1, kami melanjutkan ke lokasi berikutnya, bukan di
Deing lagi. Tapi turun kebawah kaki pegunungan Dieng, yaitu ke sebuah danau terluas di Wonosobo, Danau Menjer.
Danau Luas yang
(sedikit) tak Terurus: Menjer
Untuk menuju Danau Menjer, jarak tempuh yang harus dilalui lumayan jauh, sekitar 1 jam perjalanan. Cukup untuk menutup mata sejenak. Jalan menuju ke Danau Menjer sedikit berliku dan sempit. Danau yang terbentuk secara alami ini tidak hanya dijadikan wisata, tapi juga dijadikan PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air). Nama PLTA ini adalah ini PLTA Garung.
Untuk menuju Danau Menjer, jarak tempuh yang harus dilalui lumayan jauh, sekitar 1 jam perjalanan. Cukup untuk menutup mata sejenak. Jalan menuju ke Danau Menjer sedikit berliku dan sempit. Danau yang terbentuk secara alami ini tidak hanya dijadikan wisata, tapi juga dijadikan PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air). Nama PLTA ini adalah ini PLTA Garung.
Pintu Masuk Telaga Menjer (dok Pribadi) |
Saya sendiri baru dengar
dan lihat Danau Menjer, papan nama yang jarang ditemui juga jadi penyebab
sepinya tempat ini. Padahal untuk ke Dieng, dari arah Wonosobo tempat ini
terlewati karena satu jalur.
Pemandangan yang asri
dan indah bisa kita nikmati dengan naik perahu. Kami sempatkan untuk naik.
Tarif yang dikenakan cukup murah, hanya 15.000, kita sudah bisa diajak keliling seluruh danau yang luasnya sekitar 70 Ha dengan kedalaman 45 m ini. Sebuah
bentangan alam yang indah dengan panorama bukit-ukit kecil yang mengitarinya.
Membeli oleh-oleh: Habis
Di lokasi terakhir ini,
kami sampai pukul 15.00-an. Disana juga ada dangdut yang sedang pentas. Ada
beberapa orang yang sedang joged dan nyawer. Saya hanya bisa melihat ambil duduk manis.
Setelah kumpul semua,
kami mempersiapkan diri untuk pulang. Tapi sebelumnya, kami makan dan membeli
oleh-oleh terlebih dahulu. Perjalanan pulang dilalui dengan candaan dan nyanyian. Banyak ibu
bapak yang karokean, atau hanya sekedar bercanda. Sampai di SMA Negeri 2
Purbalingga pukul 19.30. Kami lalui hari ini dengan sebuah kenangan yang
akan menghampiri pada waktunya;(
Kami juga mengucapkan terimakasih kepada Lensa Wisata Tour yang menemani perjalanan ini. Kru-krunya juga ramah dan fasilitasnya juga mantap. Biro wisata ini juga yang mengantarkan kami ke Bali bulan April silam. Artikelnya bisa dilihat DISINI.
Pusat Oleh-oleh (dok Pribadi) |
Hanya catatan perjalanan kecil, kesalahan murni dari penulis. Mohon maaf apabila ada kata yang tidak berkenan.